Istilah “Ekaristi” berasal dari bahasa Yunani eucharistia yang berarti puji syukur. Kata eucharistia adalah sebuah kata benda yang berasal dari kata kerja bahasa Yunani eucharistein yang berarti memuji, mengucap syukur. Kata Ekaristi itu sudah digunakan untuk menunjuk seluruh Perayaan Ekaristi pada tiga abad pertama sejarah Gereja, seperti terdapat pada tulisan Didakhe, tulisan Santo Ignatius dari Antiokhia, Yustinus Martir, dan Origenes. Namun, sejak abad IV baik di Gereja Timur maupun di Gereja Barat, istilah Ekaristi mulai menghilang (Martasudjita, 2005:28).
2) Misa
Kata “misa” dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa latin, yaitu missa. Dalam hal ini, kata misa menjadi populer bagi seluruh Perayaan Ekaristi di Gereja Barat sejak abad V-VI, hingga Konsili Vatikan II, bahkan sampai saat sekarang ini. Dalam hal ini, kata misa sebenarnya digunakan untuk menunjuk perayaan-perayaan liturgi lain, doa-doa, unsur-unsur perayaan-perayaan sakramen tobat, bacaan-bacaan, ataupun ibadat harian (Martasudjita, 2005:29).
3) Pemecahan Roti
Pemecahan roti sebenarnya merupakan istilah yang menunjukkan tindakan bapa keluarga Yahudi pada awal perjamuan makan dalam rangka doa syukur singkat sebelum makan. Barangkali istilah pemecahan roti ini, diterapkan untuk menyebut seluruh Perayaan Ekaristi karena pernah ada pandangan jemaat yang sangat menekankan roti dan penerimaan roti ekaristik, atau karena tindakan pemecahan roti tersebut melambangkan kesatuan kita dengan Tuhan dan sesama secara menonjol (Martasudjita, 2005:31).
4) Perjamuan Tuhan (Dominica Cena)
Dalam perkembangan, baik Gereja Barat maupun Gereja Timur, istilah Perjamuan Tuhan hanya digunakan dalam hubungannya dengan malam terakhir, tetapi tidak sebagai istilah Perayaan Ekaristi secara seluruh. Yang menggunakan istilah ini kembali ada para reformator pada abad XVI karena istilah Perjamuan Tuhan ini adalah ungkapan biblis, yaitu dari Paulus (Martasudjita, 2005:32).
b. Ekaristi dalam Gereja Katolik 1) Akar Perayaan Ekaristi Gereja
Ekaristi dirayakan oleh Gereja berdasarkan pengalaman iman Gereja akan Tuhan Yesus Kristus. Ada tiga akar pengalaman pokok yang menjadi pangkal tolak Perayaan Ekaristi Gereja, yaitu perjamuan makan dengan Yesus sebagai tanda kehadiran Kerajaan Allah, perjamuan malam terakhir, dan perjamuan-perjamuan makan dengan Yesus Kristus yang bangkit (Martasudjita, 2005:35). a) Perjamuan makan dengan Yesus sebagai tanda kehadiran Kerajaan Allah
Secara monumental penetapan Ekaristi memang dilakukan oleh Yesus sendiri pada perjamuan malam terakhir. Namun, penetapan Ekaristi oleh Yesus pada perjamuan malam terakhir itu tidak bisa dilepaskan dari seluruh kerangka hidup, karya, dan perutusan Yesus (Martasudjita, 2005:35). Yesus mewartakan Kerajaan Allah melalui sabda dan karya. Tindakan pewartaan dan penghadiran Kerajaan Allah oleh Yesus itu tidak hanya tampak dalam karya penyembuhan berbagai orang sakit, pengusiran setan dan membangkitkan orang mati, tetapi juga dalam perjamuan makan Yesus dengan orang-orang miskin dan berdosa (Mrk 2:16.19).
Penggandaan roti yang dibuat Yesus (Mrk 6:31-44) harus dipahami sebagai kesejajaran dengan peristiwa penganugerahan makanan yaitu manna dari Allah kepada umat-Nya di padang gurun (Kel 16:1-36) (Martasudjita, 2005:36). Kita sebagai umat manusia, dapat merumuskan bahwa Kerajaan Allah adalah perwujudan dari wafat Yesus, di mana Kerajaan Allah tersebut hadir dalam ketidakmampuan, kekayaan dalam kemiskinan, kasih dalam kesepian
ditinggalkan, kejayaan dalam kehinaan, kepenuhan dalam kekosongan, kehidupan dalam kematian. Perjamuan malam terakhir itu, di mana perjamuan-perjamuan makan lain dan tanda kehadiran Kerajaan Allah terpenuhi, Yesus mengartikan kesatuan hubungan batin-Nya dengan Bapa dan perutusan-Nya sebagai pelaksana dan pengantara Kerajaan Allah (Martasudjita, 2005:36).
b) Perjamuan Malam Terakhir
Perjamuan malam terakhir merupakan peristiwa teramat penting bagi pembahasan Ekaristi Gereja (Martasudjita, 2005:37). Perjamuan malam terakhir bukanlah Perayaan Ekaristi Gereja perdana. Namun, memang harus dikatakan bahwa antara perjamuan malam terakhir dan Perayaan Ekaristi Gereja ada kontinuitas dan sekaligus diskontinuitas. Kontinuitas perjamuan malam terakhir dan Perayaan Ekaristi Gereja, pertama terletak pada kenyataan bahwa Perayaan Ekaristi dilaksanakan oleh Gereja berdasarkan penetapan dan perintah oleh Yesus sendiri melalui sabda-Nya pada saat perjamuan makan terakhir : “Perbuatlah ini guna memperingati Aku!” tentu pada saatnya akan dijelaskan bahwa Perayaan Ekaristi sama sekali bukanlah pengulangan perjamuan malam terakhir, apa lagi pengulangan kurban Kristus di salib. Kontinuitas kedua ada pada tindakan Gereja dalam Perayaan Ekaristi (pada saat Doa Syukur Agung) yang selalu mengenangkan tindakan dan sabda Yesus atas roti dan anggur pada perjamuan malam terakhir (Martasudjita, 2005:37). Bagian DSA yang mengenangkan tindakan dan sabda Yesus atas roti dan anggur pada perjamuan malam terakhir itu biasa disebut kisah insitusi (Martasudjita, 2005:38).
Sedangkan diskontinuitas, mengapa Perayaan Ekaristi tidak sama dengan perjamuan malam terakhir, terletak pada isi dan fungsi perayaan. Isi Perayaan Ekaristi adalah perayaan iman Gereja akan wafat dan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus. Perjamuan malam terakhir lebih berfungsi sebagai perjamuan perpisahan
Yesus dengan murid-murid-Nya (Martasudjita, 2005:38).
c) Perjamuan-perjamuan makan dengan Yesus Kristus yang bangkit
Perjanjian Baru melaporkan adanya perjamuan-perjamuan para murid dengan Yesus Kristus yang bangkit dan kini menampakkan diri. Penampakan Tuhan itu sudah boleh disebut Perayaan Ekaristi dalam Gereja pertama. Tidak boleh dilupakan bahwa baik perjamuan makan dengan Kristus yang bangkit dan menampakkan diri itu maupun Perayaan Ekaristi menunjukkan pada pokok pengalaman iman yang satu dan sama akan kehadiran Tuhan dan kebersamaan dengan-Nya dalam rangka suatu perayaan jemaat pasca-Paskah (Martasudjita, 2005:38-40).
c. Makna Sosial Ekaristi
1) Memahami Tugas Perutusan
Gereja tidak ada dari dan untuk dirinya sendiri. Melainkan Gereja ada karena mendapat tugas perutusan dari Kristus sendiri, di mana Ia mengutus “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (Mat 28:19). Dalam perutusan tersebut, dengan demikian memiliki dimensi kemuridan. Tanda kemuridan yang diberikan oleh Tuhan merupakan panggilan kasih, “Kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jika kalian saling mengasihi” (Yoh 13:35). Oleh karena itu, dapat di lihat, bahwa Gereja ada karena menjalankan tugas perutusan Kristus, perutusan
untuk mewartakan-Nya yang adalah kasih sehingga semua orang mendapatkan keselamatan kasih-Nya. Keselamatan ini nyata ketika semua orang hanya memandang Allah serta berseru kepada-Nya (Krispurwana, 2009:21-24).
Tugas perutusan Gereja, pertama-tama adalah mewartakan Kristus. Tentu dalam hal ini mewartakan Kristus tidak dengan sepotong-potong saja, melainkan Kristus yang seutuhnya, lengkap dengan pengalaman salib dan penderitaan-Nya (Krispurwana, 2009:24).
2) Gereja yang Hidup: Kehadiran Kristus Nyata
Di tengah terpaan krisis serta tantangan perubahan zaman, Gereja harus senatiasa berubah untuk semakin mengarahkan diri kepada Dia yang memanggil dan mengutus, dan sebagai batu penjuru yang menyelamatkan. Dengan mau memurnikan diri, Gereja akan semakin mampu untuk menjadi umat Allah yang senantiasa menegaskan kehendak Allah (discernment) serta Gereja yang melayani. Gereja ada bukan untuk melayani dirinya sendiri, melainkan untuk melayani sesama sebagai wujud melayani Tuhan (Krispurwana, 2009:223).
Para Uskup Asia menyatakan bahwa untuk menjadi murid Kristus dewasa ini berarti melayani kehidupan sehingga dalam komitmennya dalam mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah ditempatkan sebagai konsekuensi dari panggilannya untuk memperjuangkan budaya kehidupan. Dengan demikian, Gereja dipanggil untuk melayani, sebagai hamba Tuhan, dan sebagai hamba bagi kehidupan, yang dalam hal ini pelayanannya diwujudkan dengan mewujudnyatakan panggilan dirinya sebagai sakramen keselamatan Allah, dan tubuh Kristus di dunia (Krispurwana, 2009:223-224).
Krispurwana (2009:226) mengutip kembali pandangan tentang Romo YB. Mangunwijaya menggambarkan wajah Gereja itu walau kecil, namun kokoh dalam prinsip. Karenanya, kepemimpinan dalam Gereja bukan birokrasi pasif menunggu, namun kepemimpinan yang memiliki mobilitas aktif untuk dapat menggerakkan orang.
Dalam hal ini, yang mendasari cara hidup Gereja profetis adalah realitas inkarnasi Tuhan Yesus yang dinyatakan sebagai mewartakan kabar gembira atau kabar baik kepada orang miskin, memberikan pembebasan kepada orang tawanan, dan membebaskan orang tertindas. Atau terungkap kuat dalam Injil Matius ketika berbicara tentang pengadilan terakhir, yakni bahwa apa pun yang tidak kita lakukan untuk orang-orang yang paling hina: miskin, lapar, haus, tertawan, telanjang, tidak kita lakukan untuk Tuhan dan sebaliknya. Kita juga dapat belajar dari ungkapan Kidung Maria dalam Injil Lukas, yang sangat kuat mengatakan bahwa Allah sangat berpihak kepada mereka yang lemah, miskin, tersingkir dan tertindas. Dalam hal ini, realitas inkarnasi dengan demikian adalah realitas inkarnasi Allah yang berpihak (Krispurwana, 2009:231-232).
Selain dari dasar kehadiran, panggilan, serta perutusan Gereja profetis menemukan kekuatan dan motivasi dalam realitas salib. Salib diimani sebagai tindakan solidaritas Allah akan penderitaan umat manusia. Dalam hal ini, penderitaan dihapuskan tidak dengan dominasi dan kekuasaan, melainkan dengan cinta. Salib menjadi simbol cinta dan kepercayaan. Dengan demikian, pastoral pun kemudian berangkat dari realitas mereka yang teraniaya, tertindas, dan menderita. Pastoral ini mendapat acuan dan sumber penderitaan Yesus. Sengsara
Yesus, secara teologis dimengerti sebagai menjalankan kehendak Bapa. Namun, secara historis, kesengsaraan tersebut disebabkan oleh tindakan Yesus yang menyingkapkan, menentang, dan melawan setiap bentuk penindasan dan kuasa ketidakadilan, dengan membela dan memperjuangkan tata kehidupan yang adil bagi mereka yang miskin. Kita dapat melihat bahwa Gereja yang berpangkal pada inkarnasi dan salib Yesus, adalah Gereja yang berpihak kepada korban. Dalam diri para korban, Tuhan hadir dan memanggil kita, umat-Nya untuk melayani-Nya (Krispurwana, 2009:232-234).
3) Spiritualitas Ekaristi
Spiritualitas pada umumnya dimengerti sebagai hubungan pribadi seorang beriman dengan Allah dan perwujudannya dalam sikap hidup: pikiran, perkataan, dan perbuatan. Dalam hal ini, spiritualitas kristiani berpusat pada iman kepada (fides qua) dan iman akan (fides quae) Allah Bapa dalam Yesus Kristus oleh Roh Kudus. Dan oleh karena itu, Allah Bapa dalam Yesus Kristus oleh Roh Kudus sendiri hadir secara nyata dalam Ekaristi. Maka dari itu, spiritualitas Kristiani adalah spiritualitas yang berpusat pada Ekaristi, “bagaikan sumber, mengalir rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh pengudusan manusia dan pemuliaan Allah dalam Kristus, semua karya Gereja lainnya”. Konsili Vatikan II menyebutkan Ekaristi sebagai sumber dan puncak seluruh hidup kristiani. Karena itu, hidup kristiani secara mendasar merupakan hidup dalam Roh, maka tepatlah bila dikatakan bahwa Ekaristi adalah sumber dan puncak spiritualitas kristiani (Prasetyantha, 2008:139-142).
d. Unsur-unsur Perayaan Ekaristi 1) Makna Ekaristi sebagai perayaan
Kata perayaan menerjemahkan kata Latin celebratio yang kata kerjanya : celebrare. Kata celebrare ini memiliki banyak kemungkinan arti, seperti :
merayakan, mengunjungi atau menghadiri dalam jumlah banyak, meramaikan, memenuhi, kerap kali melakukan, memasyurkan, memurni atau memuja (Martasudjita, 2005:105). Dalam pengertian teologis-liturgis kata perayaan mengandung tiga arti, yaitu: segi kebersamaan yaitu sebuah perayaan yang merupakan kegiatan bersama atau sekurang-kurangnya melibatkan lebih dari satu orang. Dalam hal ini dapat di lihat bahwa yang merayakan Ekaristi adalah Kristus dan bersama dengan seluruh Gereja. Itu berarti, seluruh Gereja juga menjadi subyek atau pelaku Parayaan Ekaristi yang sungguh-sungguh, karena Kristus, di dalam Kristus, dan bersama Kristus. Sebagai suatu perayaan seluruh Gereja Perayaan Ekaristi selalu bersifat resmi, umum, eklesial (artinya menghadirkan seluruh Gereja). Dengan demikian, kapan pun dan di mana pun, juga oleh siapa pun dalam arti berapa pun jumlah umatnya (bahkan hanya suatu missa privata), Ekaristi tetap sebuah perayaan seluruh Tubuh Mistik Kristus yang di mana perayaan yang dirayakan oleh Kristus dan seluruh Gereja. segi partisipatif merupakan sebuah perayaan yang selalu menunjukkan makna keterlibatan dan partisipasi dari seluruh hadirin yang berpartisipasi secara aktif dan sadar. Kata aktif menunjukkan keterlibatan yang sepenuhnya dan seutuhnya. Kata sadar
menunjukkan segi pemahaman atau tahu. Orang yang melakukan dengan sadar berarti bahwa orang itu sungguh tahu apa yang ia buat. Oleh karena itu umat
beriman perlu memahami seluruh makna Perayaan Ekaristi, termasuk arti dan simbolnya, dan segi kontekstual menunjukkan makna Ekaristi yang dirayakan menurut situasi dan kondisi aktual dan kontekstual yang setempat. Dalam hal ini, para Bapa Konsili Vatikan II sangat mendorong berbagai penyesuaian liturgi termasuk dengan hakikat semangat liturgi yang sejati dan asli (SC 37) (Martasudjita, 2005:106-108).
Ditinjau dari aspek sosial, makna dari Ekaristi merupakan perjamuan Tuhan, di mana kita umat manusia bertemu dan bersatuan dengan Kristus sendiri yang telah membagikan hidupnya kepada semua orang (Prasetyantha, 2008:155-156). 2) Partisipasi Umat beriman
1) Umat beriman diharapkan berpartisipasi secara sadar dan aktif dalam seluruh Perayaan Ekaristi, sejak persiapan, saat pelaksanaan, dan juga saat pengalaman misteri iman itu dalam kehidupan sehari-hari (SC 14 dan 48) (Martasudjita, 2005:108).
2) Partisipasi sadar dan aktif umat beriman dalam liturgi tersebut dilaksanakan menurut “tingkatan, tugas, serta ke ikut sertaan mereka” (SC 26) (Martasudjita, 2005:109).
3) Selain para petugas terthabis, di antara umat beriman juga dipilih para petugas liturgi yang ambil bagian dalam pelayanan liturgi bagi seluruh umat beriman (Martasudjita, 2005:109).
3) Peran dan Tugas Imam
Para Bapa Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa para imam adalah pembantu dan penasihat para uskup dalam pelayanan dan tugas mengajar,
menguduskan, dan menggembalakan umat Allah (PO 7). Dalam Perayaan Ekaristi, para imam berperan secara khas untuk “membawakan pribadi Kristus” (PO 13) atau bertindak in persona Chisti, tetapi sekalian juga menjadi saksi dan pelayan seluruh Gereja (Martasudjita, 2005:110).
Martasudjita (2005:110) mengutip tentang buku PUMR (Pedoman Umum Misale Romawi) tahun 2000, menyebutkan beberapa hal sebagai tugas dari para imam, yaitu:
1) Memimpin Perayaan Ekaristi adalah tugas utama imam (PO 13). Maka, hendaknya para imam merayakan Ekaristi setiap hari sebab hal itu tidak hanya bagi kehidupan imamat dan rohaninya sendiri tetapi juga demi keselamatan umat (PUMR 19).
2) Dalam Perayaan Ekaristi, imam bertugas untuk membawakan doa-doa pemimpin atau doa-doa presidensial. Doa-doa presidensial itu mencakup pertama-tama dan utama, yaitu Doa Syukur Agung. DSA ini merupakan puncak seluruh ibadat (PUMR 30). Kemudian imam juga bertugas membawakan doa-doa presidensal lainnya, yakni doa pembuka, doa persiapan persembahan, dan doa-doa sesudah komuni. Doa-doa ini disampaikan oleh imam kepada Allah “atas seluruh umat kudus dan semua yang hadir, dan melalui dia Kristus sendiri memimpin himpunan umat” (PUMR 30).
3) Doa-doa presidensial itu harus dibawakan dengan suara lantang dan ucapan yang jelas sehingga dapat ditangkap oleh jemaat. Selama imam membawakan doa-doa presidensial tersebut, tidak diperkenankan adanya doa atau nyanyian atau juga iringan alat musik (PUMR 32).
4) Imam juga memiliki wewenang untuk menyampaikan sejumlah ajakan yang tercantum dalam TPE (PUMR 31). Dalam perumusannya, imam tentu saja boleh menyesuaikan dengan daya tangkap umat. Imam juga diperkenankan memberikan pengantar sangat singkat pada ritus pembuka, sebelum masuk ke liturgi sabda, liturgi Ekaristi, dan sebelum berkat pengutusan pada ritus penutup.
5) Imam harus juga mendoakan doa-doa pribadi dalam hati pada bagian-bagian tertentu, seperti doa sebelum pemakluman Injil, doa pada persiapan persembahan, dan doa-doa sebelum serta sesudah komuni (PUMR 33).
4) Tata Gerak dan Sikap Tubuh
Martasudjita (2005:111) mengutip kembali tentang buku PUMR tahun 2000 menyampaikan pedoman tata gerak dan sikap tubuh para petugas liturgi dan seluruh umat beriman. Seluruh tata gerak dan sikap tubuh harus dilaksanakan menurut 3 patokan ini, yaitu:
1) Tata gerak dan sikap tubuh memancarkan keindahan dan sekaligus kesederhanaan yang anggun dari Perayaan Ekaristi.
2) Tata gerak dan sikap tubuh itu mengungkapkan dengan baik pemahaman yang tepat dan penuh atas aneka bagian perayaannya.
3) Tata gerak dan sikap tubuh itu membuat bisa sungguh berpartisipasi secara aktif.
Martasudjita (2005:112) mengutip kembali tentang buku PUMR menganjurkan agar setiap umat berdiri saat ritus pembuka, yakni dari awal nyanyian pembuka sampai ritus pembuka (dari awal nyanyian pembuka sampai
dengan doa pembuka selesai, saat bait pengantar Injil, Injil, syahadat, dan doa umat (PUMR 43)). Lalu PUMR menyarankan umat duduk selama baca-bacaan sebelum Injil dan selama Mazmur Tanggapan, selama homili, selama persiapan persembahan, dan selama saat hening sesudah komuni. Pada DSA umat dianjurkan untuk berdiri, namun juga bisa berlutut pada saat memasuki kisah dan kata-kata institusi atau berlutut sejak sesudah kudus sampai DSA berakhir (Martasudjita, 2005:112).
5) Saat Hening
Dalam situasi dan praktek di berbagai tempat banyak sekali yang masih kurang memberikan perhatian pada keheningan di sekitar Perayaan Ekaristi. Hal ini bisa kita lihat saat para petugas sedang mempersiapkan diri, suasana di sakristi malah justru gaduh dan ribut; ketika Perayaan Ekaristi belum dimulai, ada sekelompok umat yang berbisik-bisik dan bercanda di dalam gereja, ada juga umat yang asyik bermain HP dan lupa menonaktifkannya selama Perayaan Ekaristi berlangsung (Martasudjita, 2005:113).
Makna saat hening dalam Misa Kudus tidaklah sama. Saat hening sebelum pernyataan tobat ialah untuk mawas diri dan merenungkan kasih Allah dan tanggapan kita yang tidak sesuai melalui dosa dan kesalahan kita. Saat hening sebelum doa pembuka adalah untuk menyampaikan ujud doa pribadi masing-masing dan nantinya akan disatukan dalam doa pembuka oleh imam. Saat hening sesudah bacaan dan homili ialah untuk merenungkan Sabda Allah. Saat hening sesudah komuni dimaksudkan untuk bersyukur, memuji Tuhan, dan menyerukan
doa permohonan pribadi kepada Tuhan dalam komuni itu (Martasudjita, 2005:113).
6) Makna Nyanyian
Musik mempunyai tempat dan kedudukan yang sangat amat penting dalam liturgi. Konstitusi Liturgi Sacrosantum Concilium memberikan satu bab tersendiri untuk membicarakan soal musik (bab VI: SC 112-121) (Martasudjita, 2005:113). Dari dokumen tersebut, ada 3 poin mengenai tempat dan makna musik liturgi, yaitu:
1) Musik merupakan bagian liturgi sendiri. Artinya, musik bukan sesuatu yang bersifat iringan belaka, atau sekedar tambahan atau sarana untuk memeriahkan saja, malainkan “bagian liturgi meriah yang penting atau integral” (SC 112). 2) Musik memperjelas misteri Kristus. Sebab, musik liturgi menjadi sarana untuk
memuliakan Allah dan mengkuduskan umat beriman (SC 112). Melalui syair dan melodinya, umat dibantu untuk mendalami misteri Kristus dan juga menghayati kehadiran Kristus dalam Misa tersebut.
3) Musik dapat ikut membantu umat dalam berpartisipasi secara aktif dalam Perayaan Ekaristi. Apabila para Bapa Konsili Vatikan II meminta partisipasi umat secara sadar dan aktif (SC 14), musik liturgi dapat menjadi bagian dari bentuk partisipasi tersebut. Melalui musik, kesatuan umat ikut dibentuk dan dikembangkan.
D. Rangkuman
Devosi Kepada Bunda Maria merupakan bentuk kebaktian atau penghormatan kepada Bunda Maria. Di mana devosi ini dilakukan secara berturut-turut, pada hari yang sama dan pada jam yang sama pula. Seperti halnya yang dilakukan oleh umat Stasi St. Theresia Klampok Paroki St. Antonius Banjarnegara. Mereka melakukan devosi secara rutin agar permohonan mereka dikabulkan. Dalam devosi yang dilakukan oleh umat Stasi St. Theresia Klampok Paroki St. Antonius Banjarnegara ini, dapat memberikan contoh kepada semua umat beriman agar jangan menjauhkan diri dengan menikmati hal-hal duniawi saja, melainkan harus mendekatkan diri kepada Tuhan. Seiring berjalannya waktu, devosi ini juga membuat umat Stasi St. Theresia Klampok Paroki St. Antonius Banjarnegara semakin rajin untuk mengikuti Perayaan Ekaristi setiap Minggunya. Umat Stasi St. Theresia Klampok Paroki St. Antonius Banjarnegara melambangkan devosi dengan sebuah lemper. Di mana, lemper tersebut dapat mempersatukan semua umat dan semakin mendekatkan diri kepada Tuhan dengan mengikuti Perayaan Ekaristi.
BAB III
PENGARUH DEVOSI KEPADA BUNDA MARIA TERHADAP MINAT MENGIKUTI PERAYAAN EKARISTI
Dalam bab ini, akan dibahas tentang metodologi penelitian tentang Devosi kepada Bunda Maria dan minat mengikuti Perayaan Ekaristi di Stasi St. Theresia Klampok Paroki St. Antonius Banjar-Negara. Metodologi penelitian yang akan dipaparkan dalam bab ini, yaitu: Tujuan Penelitian, Metode Penelitian, Tempat dan Waktu Penelitian, Responden Penelitian, Instrumen Penelitian, dan Variabel Penelitian.
A. Gambaran Umum Paroki St. Antonius Banjarnegara dan Stasi St. Theresia Klampok
1. Gambaran Umum Paroki St. Antonius Banjarnegara
Gereja Katolik St. Antonius Banjarnegara terletak dijantung kota Kabupaten
Daerah Tingkat II Banjarnegara di wilayah ex-Karesidenan Banyumas Propinsi Jawa
Tengah. Gedung gereja lama berada di Jalan Pemuda 47 yang sekarang digunakan
sebagai Aula GIRI TIRTA dan Pastoran. Sedangkan gedung gereja yang baru terletak di
Jalan Mayjend DI Panjaitan No. 36 Banjarnegara. Letak bangunan gereja baru di jalan
yang menghubungkan berbagai kota di Jawa Tengah. Arah timur ke barat
menghubungkan kota-kota
Magelang-Secang-Temanggung-Parakan-Wonosobo-Banjarnegara-Purbalingga-Purwokerto. Sedangkan arah utara ke selatan
menghubungkan kota-kota Pekalongan-Karangkobar-Banjarnegara-Kebumen. Sebelum
tahun 1997, Paroki Santo Antonius Banjarnegara masih merupakan stasi terbesar di
Berdasarkan arsip di Pastoran Wonosobo dan beberapa nara sumber yang dianggap
cukup lama berdomisili di Banjarnegara, meskipun kurang lengkap, dapatlah disusun
sejarah perkembangan Stasi Banjarnegara. Sebelum Jaman Jepang, di Banjarnegara
sudah ada Pastor tetap yang bertempat tinggal di rumah sewa di Jalan Stasiun, dan juga
sudah ada Komunitas Darah Mulia yang tinggal di kampung Parakan Canggah, yaitu di
depan Taman Makam Pahlawan Sureng Yudha yang sekarang. Mereka membuka
Sekolah Dasar di depan gereja lama, yang saat ini berlokasi di gedung DPR. Dulu,