Bagaimana jalur masuknya ide-ide pembaharuan dari timur tengah ke indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara geogafis, Indonesia merupakan negara berpenduduk mayoritas Islam terbesar yang terletak sangat jauh dari tempat kelahiran Islam di Arab Saudi. Yang dari sinilah salah satu alasan mengapa pembicaraan mengenai Islam di Indonesia selalu menarik. Dinamika pemikiran dan intelektualisme di negeri ini juga menunjukkan intensitasnya yang cukup tinggi, belum lagi jika melihat banyaknya gerakan keislaman. Semua ini semakin menambah daya tarik Islam Indonesia, di samping, tentu saja, menggambarkan begitu rumit dan kompleksnya membaca persoalan keislaman di negeri ini.

Perkembangan pemikiran keislaman di wilayah Indonesia, bisa dikatakan sebagai “kepanjangan tangan” dari perkembangan pemikiran di negeri asalnya, dan ini merupakan bagian dari rentetan sejarah panjang pertumbuhan Islam itu sendiri. Konon, Islam masuk “Indonesia” sudah dimulai sejak masa awal-awal Islam. Beberapa ‘spekulasi’ teori sejarah mengatakan Islam sudah masuk sejak abad ke-12 atau 13, ada juga yang mengatakan sejak abad ke-9, bahkan ada yang mengatakan sejak abad ke-8. Yang jelas beberapa abad setelahnya dinamika pemikiran Islam dan intelektualisme sudah sedemikian merata.

B. Rumusan Masalah

  1. Bagaimana pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia?
  2. Bagaimana dinamika pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia?
  3. Siapa sajakah tokoh-tokoh pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia?

C. Tujuan Pembahasan

  1. Untuk mengetahui pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia
  2. Untuk mengetahui dinamika pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia
  3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia

Pembaharuan dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yang ditunjukkan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran progresif Kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam, setelah abad ketujuh belas, telah melahirkan kebangkitan Islam dikalangan warga Arab dipinggiran imperium itu. Yang terpenting diantaranya adalah gerakan Wahabi, sebuah gerakan reformasi puritanis (Salafiyyah). Gerakan ini merupakan sarana yang menyiapan jembatan ke arah pembaharuan Islam abad ke-20 yang lebih bersifat intelektual.Katalisator terkenal gerakan pembaharuan ini adalah Jamaluddin Al-Afghani (1897). Ia mengajarkan solidaritas Pan-Islam dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam suasana yang secara ilmiah dimodernisasi.

Pada awal abad ke-20, ide-ide pembaharuan terlihat telah turut mewarnai arus pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Memiliki latar belakang kehidupan sebagian tokoh-tokohnya, sangat mungkin diasumsikan bahwa perkembangan baru Islam di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh ide-ide yang berasal dari luar Indonesia. Seperti misalnya Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), Ahmad Surkati (Al-Irshad), Zamzam (Persis), yang ketiganya sempat menimba ilmu di Mekkah dan melalui media publikasi dan korespondensi mereka berkesempatan untuk dapat berinteraksi dengan arus pemikiran baru Islam dari Mesir. Tokoh lainnya seperti Tjokroaminoto (Sarekat Islam) juga dikenal menggali inspirasi gerakannya dari ide-ide pembaharuan Islam di anak benua India.

Ide-ide pembaharuan Islam dari luar yang masuk ke Indonesia dengan demikian dapat dibaca berlangsung secara berproses setidaknya melalui 3 (tiga) jalur:

  1. Jalur haji dan mukim, yakni tradisi (pemuka) umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji ketika itu bermukim untuk sementara waktu guna menimba dan memperdalam ilmu keagamaan atau pengetahuan lainnya. Sehingga ketika mereka kembali ke tanah air, kualitas keilmuan dan pengamalan keagamaan mereka umumnya semakin meningkat. Ide-ide baru yang mereka peroleh tak jarang kemudian juga mempengaruhi orientasi pemikiran dan dakwah mereka di tanah air.
  2. Jalur publikasi, yakni berupa jurnal atau majalah-majalah yang memuat ide-ide pembaharuan Islam baik dari terbitan Mesir maupun Beirut. Wacana yang disuarakan media tersebut kemudian menarik muslim nusantara untuk mentransliterasikannya ke dalam bahasa lokal, seperti pernah muncul jurnal al-Imam, Neracha dan Tunas Melayu di Singapura. Di Sumatera Barat juga terbit al-Munir yang sebagian materinya disadur K.H. Ahmad Dahlan kedalam bahasa Jawa agar mudah dikonsumsi anggota masyarakat yang hanya menguasai bahasa ini.
  3. Peran mahasiswa yang sempat menimba ilmu di Timur-Tengah. Menurut Achmad Jainuri, para pemimpin gerakan pembaharuan Islam awal di Indonesia hampir merata adalah alumni pendidikan Mekah.

Secara umum kelahiran dan perkembangan pembaharuan Islam di Indonesia merupakan wujud respon terhadap kemunduran Islam sebagai agama karena praktek-praktek penyimpangan, keterbelakangan para pemeluknya dan adanya invansi politik, kultural dan intelektual dari dunia Barat.

Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia tidaklah muncul dalam satu pola dan bentuk yang sama, melainkan memiliki karakter dan orientasi yang beragam. Disini penting dipahami bahwa gerakan nasionalisme Indonesia yang bangkit sekitar awal abad ke-20 diusung sebagiannya oleh tokoh-tokoh modernis muslim tidak hanya melalui kendaraan gerakan yang berdasar atau berafiliasi ideologis pada Islam. Sejarah menunjukkan bahwa Islam ternyata hanya menjadi salah satu alternatif yang mungkin bagi tokoh-tokoh modernis muslim di Indonesia sebagai sumber rujukan teoritis dan instrumental gerakan pembaharuan dan nasionalismenya. Sekalipun demikian, hal ini tidak mengecilkan pengertian adanya keterkaitan antara dimensi penghayatan religius dan artikulasi perjuangan sosial-politik di masyarakat. Dengan kata lain, kesadaran nasional sebagai anak bangsa yang terjajah oleh penguasa asing tampaknya memikat mereka untuk bersama-sama menempatkan prioritas nasional sebagai ujud kepeduliannya.

Dengan kian massifnya kiprah gerakan pembaharuan Islam di Indonesia di tengah-tengah masyarakat, secara umum pada awal abad ke-20 M tersebut, corak gerakan keagamaan Islam di Indonesia dapat dipetakan dengan meminjam sebagai berikut: (1) Tradisionalis-konservatis, yakni mereka yang menolak kecenderungan westernisasi (pembaratan) dengan mengatasnamakan Islam yang secara pemahaman dan pengamalan melestarikan tradisi-tradisi yang bercorak lokal. Pendukung kelompok ini rata-rata dari kalangan ulama, tarekat dan penduduk pedesaan; (2) Reformis-modernis, yakni mereka menegaskan relevansi Islam untuk semua lapangan kehidupan baik privat maupun publik. Islam dipandang memiliki karakter fleksibilitas dalam berinteraksi dengan perkembangan zaman; (3) Radikal-puritan, seraya sepakat dengan klaim fleksibilitas Islam di tengah arus zaman, mereka enggan memakai kecenderungan kaum modernis dalam memanfaatkan ide-ide Barat. Mereka lebih percaya pada penafsiran yang disebutnya sebagai murni Islami. Kelompok ini juga mengkritik pemikiran dan cara-cara implementatif kaum tradisionalis. Sebagai pengayaan, menarik jika tipologi ini dikomparasikan dengan kasus gerakan Islam yang berkembang di Turki.

B. Dinamika Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia

Dinamika itu antara lain nampak dari keterlibatan ulama-ulama nusantara pada jaringan ulama yang berpusat di Haramain (Makkah dan Madinah). Perintis keterlibatan ulama itu antara lain diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Nur al-Din al-Raniri (w. 1068 H/1658 M), Abd al-Rauf al-Sinkili (1024-1105 H/1615-1693 M), Muhammad Yusuf al-Maqassari (1030-1111 H/1629-1699 M), Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M) dan sebagainya. Dari beberapa ‘ulama berpengaruh itu,  bahkan menunjukkan silsilah atau isnad yang hampir tak terputus dengan para ‘ulama Timur-Tengah, khususnya Haramain dan Kairo. Mereka terlibat jaringan keilmuan global dengan agenda pembaharuan pemikiran Islam, dari apa yang disebut mistiko-filosofis menjadi bercorak neo-sufisme.

Lalu pada paruh kedua abad 19, wacana keagamaan nusantara antara lain ditandai dengan semakin mapannya jaringan tersebut. Namun pada masa ini ada perubahan-perubahan signifikan mengenai posisi ulama nusantara di Haramain. Jika pada masa-masa sebelumnya ulama “Jawi” lebih sebagai murid dari ulama Haramain, pada abad 19 mulai muncul ulama-ulama nusantara bertaraf internasional yang menjadi “guru besar” di pusat Islam tersebut. Guru-guru dimaksud pada gilirannya akan melahirkan apa yang disebut koneksi jaringan di Asia Tenggara. Nama-nama yang paling menonjol mengenai hal ini antara lain Nawawi al-Bantani (1230-1314 H/1813-1879 M), Ahmad Khatib al-Sambasi (w. 1875 M), Abd al-Karim al-Bantani, Ahmad Rifa’i Kalisalak (1200-1286 H/1786-1870), Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi, Daud Ibnu Abdullah al-Fatani, Junaid al-Batawi, Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1276-1334 H/1816-1916 M), Syaikh Ahmad Nahrawi al-Banyumasi (w. 1346 H/1928 M), Muhammad Mahfuz al-Tirmasi (1285-1338 H/1842-1929 M), Hasan Musthafa al-Garuti (1268-1348 H/1852-1930 M), Sayyed Muhsin al-Falimbani, Muhammad Yasin al-Padani (1335-1410 H/1917-1990), Abd al-Karim al-Banjari, Ahmad Damanhuri al-Bantani dan sebagainya.

Selanjutnya pada awal abad ke-20, pemikiran Islam di Indonesia digambarkan secara jelas oleh Deliar Noer dalam disertasinya. Secara umum, Deliar Noer melihat adanya dua kecenderungan pemikiran Islam di awal abad ke-20, pertama apa yang ia sebut sebagai “gerakan tradisional,” dan kedua “gerakan modern” yang terdiri dari gerakan sosial di satu sisi dan gerakan politik di sisi yang lain. Kategori pertama diwakili oleh Nahdlatul Ulama (NU) yang berdiri tahun 1926 dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), 1929, sedang yang kedua diwakili oleh Sarekat Islam (SI), 1911 dan Muhammadiyah, 1912.

Secara lebih spesifik, yang disebut Islam tradisional umumnya bertumpu pada padangan dunia, ideologi keagamaan dan praktek keislaman yang diaktualisasikan dengan kepenganutan kepada kalam Asy’ariyah, fikih Syafi’i, dan tasawuf al-Ghazali. Sementara gerakan modern becorak rasional, non-madzhabi, dan menekankan pada kemurnian ajaran Islam yang berumber pada al-Qur’an dan al-Hadits. Beberapa hal ini dilihat sebagai terpengaruh dari pemikian purifikasi Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim di satu sisi dan pemikiran modernisme Muh. Abduh dan Rasyid Ridla di sisi yang lain.

C. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia

Abad ke-19 adalah awal kemunculan ideologi pembaruan Islam yang diserukan oleh Jamaludin Al-afghani dan Muhammad Abduh. Pembaruan Islam yang tumbuh begitu pesat didukung pula dengan berdirinya sekolah-sekolah pembaruan seperti Adabiah (1909), Diniyah Putri (1911), dan Sumatera Thawalib (1915).

  1. Cak Nur (Nurcholis Madjid)

Cak Nur atau biasa di sebut nurcholis madjid dianggap sebagai ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual Muslim terdepan di masanya, terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa. Cak Nur dikenal dengan konsep pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman / ke-bhinneka-an keyakinan di Indonesia. Menurut Cak Nur, keyakinan adalah hak primordial setiap manusia dan keyakinan meyakini keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar. Keyakinan tersebut sangat mungkin berbeda-beda antar manusia satu dengan yang lain, walaupun memeluk agama yang sama.

Hal ini berdasar kepada kemampuan nalar manusia yang berbeda-beda, Cak Nur mendukung konsep kebebasan dalam beragama. Bebas dalam konsep Cak Nur tersebut dimaksudkan sebagai kebebasan dalam menjalankan agama tertentu yang disertai dengan tanggung jawab penuh atas apa yang dipilih. Cak Nur meyakini bahwa manusia sebagai individu yang paripurna, ketika menghadap Tuhan di kehidupan yang akan datang akan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, dan kebebasan dalam memilih adalah konsep yang logis. Manusia akan bertanggung jawab secara pribadi atas apa yang ia lakukan dengan yakin. Apa yang diyakini, itulah yang dipertanggung jawabkan. Maka pahala ataupun dosa akan menjadi imbalan atas apa yang secara yakin ia lakukan.

Sebagai tokoh pembaruan dan cendikiawan Muslim Indonesia, seperti halnya K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Cak Nur sering mengutarakan gagasan-gagasan yang dianggap kontroversial terutama gagasan mengenai pembaruan Islam di Indonesia. Pemikirannya dianggap sebagai sumber pluralisme dan keterbukaan mengenai ajaran Islam terutama setelah berkiprah dalam Yayasan Paramadina dalam mengembangkan ajaran Islam yang moderat.

Namun demikian, ia juga berjasa ketika bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan pada tahun 1998. Cak Nur sering diminta nasihat oleh PresidenSoeharto terutama dalam mengatasi gejolak pasca kerusuhan Mei 1998 di Jakarta setelah Indonesia dilanda krisis hebat yang merupakan imbas krisis 1997. Atas saran Cak Nur, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya untuk menghindari gejolak politik yang lebih parah.

Ide dan Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi dan pluralisme tidak sepenuhnya diterima dengan baik di kalangan masyarakat Islam Indonesia. Terutama di kalangan masyarakat Islam yang menganut paham tekstualis literalis (tradisional dan konservatif) pada sumber ajaran Islam. Mereka menganggap bahwa paham Cak Nur dan Paramadinanya telah menyimpang dari teks-teks Al-Quran dan Al-Sunnah. Gagasan Cak Nur yang paling kontroversial adalah saat dia mengungkapkan gagasan “Islam Yes, Partai Islam No?” yang ditanggapi dengan polemik berkepanjangan sejak dicetuskan tahun 1960-an, sementara dalam waktu yang bersamaan sebagian masyarakat Islam sedang gandrung untuk berjuang mendirikan kembali partai-partai yang berlabelkan Islam. Konsistensi gagasan ini tidak pernah berubah ketika setelah terjadi reformasi dan terbukanya kran untuk membentuk partai yang berlabelkan agama.

K.H. Ahmad Dahlan atau dikenal dengan Kiai Dahlan telah membawa pembaharuan dan membuka kacamata modern Islam di Indonesia sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan lagi secara tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci Al Qur’an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun melantunkan ayat Al Qur’an semata, melainkan dapat memahami makna yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan dalam Al Qur’an itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari kulitnya saja tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya menjadi suatu dogma yang mati.

Di bidang pendidikan, Kiai Dahlan juga mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman itu, yang menurutnya tidak jelas antara jenjang dan metode yang diajarkan lantaran mengutamakan hafalan dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum. Sehingga Kiai Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan umum serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S. met de Qur’an. Sebaliknya, beliau pun memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum. Kiai Dahlan terus mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya, beliau telah banyak mendirikan sekolah, masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu.

Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan.Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan ajaran pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang berlebihan terhadap pusaka-pusaka keratin seperti keris, kereta kuda, dan tombak. Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran ajaran agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme, dan kejawen.

Di bidang Organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari Muhammadiyah ini, sebagai bentuk kesadaran pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk pemuda, Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu – sekarang dikenal dengan nama Pramuka – dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka sekarang.

  1. Syekh Muhammad Jamil Jambek

Sebagai ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera Barat awal abad ke-20, serta sebagai ahli ilmu falak terkemuka. Nama Syekh Muhammad Jamil Jambek lebih dikenal dengan sebutan Syekh Muhammad Jambek. Beliau dilahirkan dari keluarga bangsawan dan juga merupakan keturunan penghulu. Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang kepala nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda. Kiprahnya mampu memberikan warna baru di bidang kegiatan keagamaan di Sumatera Barat. Mengutip Ensiklopedia Islam, Syekh Muhammad Jambek juga dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di muka umum. Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad dalam bahasa Melayu.

Demikian halnya dengan kebiasaan membaca riwayat Isra Mi’raj Nabi Muhammad dari kitab berbahasa Arab. Dia menggantinya dengan tablig yang menceritakan peristiwa tersebut dalam bahasa Melayu, sehingga dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat. Termasuk juga tradisi membaca kitab, digantinya dengan membahas masalah kehidupan sehari-hari. Menurutnya, semua itu dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa saja yang dapat memahaminya. Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih bergiat di aktivitas tablig dan ceramah.

Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah. Syekh Muhammad Jambek kini tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang Panjang, Syekh Muhammad berada di pihak yang menentang tarekat. Dia “berhadapan” dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat.

Kemudian dia menulis buku mengenai kritik terhadap tarekat berjudul Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala yang Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua jilid. Salah satu penjelasan dalam buku itu, yakni tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan India. Syekh Muhammad Jambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam.

Buku lain yang ditulisnya berjudul Memahami Tasawuf dan Tarekat dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan pembaruan pemikiran Islam. Akan tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat istiadat Minangkabau. Tahun 1929, Syekh Muhammad Jambek mendirikan organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat setempat.

Di samping juga untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam terhindar dari bahaya yang dapat merusaknya. Selain itu, dia juga turut menghadiri kongres pertama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau tahun 1939. Yang tak kalah pentingnya dalam perjalanan dakwahnya, pada masa pendudukan Jepang, Syekh Muhammad Jambek mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT) berpusat di Bukittinggi.

Lahir dengan nama Muhammad Rasul di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 10 Februari 1879. Beliau dijuluki sebagai Haji Rasul dan merupakan salah satu ulama terkemuka sekaligus reformis Islam di Indonesia. Beliau juga merupakan pendiri Sumatera Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia.

Abdul Karim Amrullah dilahirkan dari pasangan Syekh Muhammad Amrullah dan Andung Tarawas. Ayahnya, yang juga dikenal sebagai Tuanku Kisai, merupakan syekh dari Tarekat Naqsyabandiyah. Bersama dengan Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah menjadi orang Indonesia pertama yang memperoleh gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar, di Kairo, Mesir. Pada tahun 1894, beliau dikirim oleh ayahnya ke Mekkah untuk menimba ilmu dan berguru pada Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang pada waktu itu menjadi guru dan imam Masjidil Haram. Pada tahun 1925, sepulangnya dari perjalanan ke Jawa, beliau mendirikan cabang Muhammadiyah di Minangkabau, tepatnya di Sungai Batang, kampung halamannya. Salah satu putranya, yaitu Hamka, nama pena dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah, dikenal banyak orang sebagai ulama besar dan sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka. Abdul Karim Amrullah meninggal di Jakarta, 2 Juni 1945 pada usia 66 tahun.

Dari Silsilah Bapak, Kyai Hasyim Asy’ari memiliki nama lengkap Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim atau yang popoler dengan nama Pangeran Benawa bin Abdurrahman yang juga dikena dengan julukan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishak bin Ainul Yakin yang Populer dengan sebutan Sunan Giri. Dari Silsilah Ibu, Akarhanaf dan Khuluk menyebutnya Muhammad Hasyim binti Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir atau juga dikenal dengan nama Mas Karebet bin Lembu Peteng (Prabu Brawijaya VI).

Lahir pada Tanggal 14 Februari 1871. Tempat kelahiran berada di desa Tambakrejo Kecamatan Jombang, tepatnya di pesantren Gedang. Karena berlatar belakang pesantren, kali pertama ia dididik dan dibimbing mendalami ilmu pengetahuan Islam oleh ayahnya sendiri. Kyai Hasyim mendapat bimbingan dari ayahnya mulai masa kanak-kanak hingga umur 15 tahun, ia mengenal dan mendalami Tauhid, Tafsir, Hadits, Bahasa Arab dan bidang kajian keislaman lainnya. Belum puas atas yang didapatkannya mula-mula Kyai hasyim belajar di pesantren Wonokoyo (Probolinggo), lalu di Pesantren Lagitan (Tuban), merasa belum puas, beliau melanjutkan ke pesantren Tenggilis (Surabaya), dan ke pesantren Kademangan (Bangkalan) yang saat itu diasuh oleh Kyai Kholil, selanjutnya ke pesantren Siwilan Panji (Sidoarjo) yang diasuh oleh Kyai Ya’kub. Kyai Kholil dan Kyai Ya’kub merupakan dua tokoh penting yang berkontribusi membentuk kapasitas intelektual Kyai Hasyim.

Atas nasehat Kyai Ya’kub, beliau meninggalkan tanah air untuk berguru pada ulama-ulama terkenal di Makkah sambil menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. Di Makkah, Kyai Hasyim berguru pada Shaykh Ahmad Amin al-Attar, Sayyid Sultan bin Hasyim, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Attas, dan lain-lain. Selain itu , Kyai Hasyim juga menimba pengetahuan dari Shaykh Ahmad Khatib Minankabawi, Shaykh Nawawi al-Bantani dan Shaykh Mahfuz al-Tirmisi yang ketiganya merupakan guru besar di Makkah.

  • Pergerakan Sosial, Dakwah, dan Pendidikan

Gerakan yang lahir di Timur tengah itu telah memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia. Bermula dari pembaruan pemikiran dan pendidikan Islam di Minangkabau, yang disusul oleh pembaruan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia, kebangkitan Islam semakin berkembang membentuk organisasi-organisasi sosial keagamaan, seperti:

  1. 1990 jauh sebelum tahun 1900 sudah berjalan lama perjanjian Surau Jembatan Besi Padang Pajang di bawah asuhan Syekh Abdullah. Dari bibit ini kemudian tumbuhlah Sumatra Thawalib Padang Panjang yang kemudian menjadi pusat pertumbuhan ulama dan Zuama Islam bertebaran diseluruh Indonesia. Disamping Syekh Abdullah, para pemimpin lain gerakan Sumatra Thawalib antara lain kita sebutkan yaitu Syekh Daud Rasyidi (ayah H. M. D. Dt. Palimo Karyo), Syekh A. Lathif Rasyidi (ayah H. Muchtar Luthfi), Syekh H. A. Karim Amrullah (ayah Hamka). Tuanku Muda Abdul Hamid Hakim, Zainuddin Labay el Janusi, Syekh Ibrahim Musa Parabek, dan lain-lain.
  2. 1911 Sarekat Dagang Islam (SDI) berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI)
  3. 1912 Kyai Haji Ahmad Dahlan, salah seorang alumnus al-jami’aiyatul-Khairiyah, mendirikan Muhanus al-Jamai’iyatul dan mendirikan Muhammadiyyah pada tanggal 19 November 1912. Dasar gerakannya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, anti taqlidisme, menentang bid’ah dalam agama mendirikan perguruan, dan mendirikan departemen khusus untuk wanita Muhammadiyyah, yaitu Aisyiah. Para pemimpin dari lingkungan Muhammadiyyah ini antara lain: K. Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, A. R. Sultan Mansur, K. H. Fakih Usman, H. Junus Anis, H. Fachruddin, Prof. Dr. H. M. Kahar Muzakir, Mr. Kasman Singodimejo, dan H. A. R. Fachruddin.
  4. 1914 Syekh Ahmad Surkati al-Anshari, seorang ulama Jam-Iyatul –Kahiriyah, mendirikan Gerakan al-Irsyad, yang dapat menampung gagasannya yang sangat radikal.
  5. 1916 Pada tahun 1916 berdirilah Mahthla’ul Anwar (MA) di Menes, Banten.
  6. 1923 K. H. Zamzam mendirikan Persatuan Islam (Persis) tanggal 12 September 1923 di Bandung. Tujuannya adalah berlakunya hukum-hukum dan ajaran Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Usahanya terutama adalah membasmi bid’ah, khurafat, takhayul, taklid, dan syirik dikalangan umat Islam. Para pemimpin lainnya dikalangan Persatuan Islam antara lain adalah A. Hassan, K. H. Ma’shum, K. H. Moenawwar Chalid, T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, K. H. Imam Ghazali, M. Natsir, K. H. M. Isa Anshary, fachruddin Alkahiri, K. H. E. Abdurrahman, A. Qadir Hasan, Qamaruddin Shaleh, M. Rusjad Nudin, dan lain-lainnya.
  7. 1926 Pada tanggal 31 Januari 1926, Nahdatul Ulama didirikan di Surabaya di bawah pemimpin Syekh Hasyim Asy’ari ’ebagai reaksi terhadap gerakan pembaruan yang dibawa terutama oleh Muhammadiyyah dan lain-lain. Usahanya antara lain adalah mengembangkan dan mengikuti salah satu dari keempat mazhab fiqih. Pada tahun 1952 memisahkan diri dari Masjumi dan sejak itu resmi menjadi Partai Politik Islam.
  8. 1928 Di Sumatra Barat, berdiri Persatuan Tarbiyah Islam yang disingkat Perti pada tahun 1928. Awalnya hanya merupakan persatuan dari sekolah-sekolah agama yang satu nama dan leerplin. Lebih lanjut tumbuh menjadi organisasi sosial pada tanggal 20 Mei 1930. Akhirnya, pada tanggal 22 November 1945, tumbuhlah menjadi Partai Islam “Perti”, Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Para pemimpinnya antara lain adalah Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Syekh Abbas Padang Lawas, H. Siradjuddin Abbas, H. Rusli Abdul Wahid, dan H. Rusli Halil, H. Kuasini Sabil.
  9. 1930 Pada tanggal 30 November 1930, lahirlah al-Jami’iyyatul Washliyah di Medan, berasas Islam dalam hukum fiqih bermazhab Syafi’ii, dalam I’tikad mengikuti pendirian Ahlus-Sunnah Wal-Jama’ah. Para pemimpinnya antara lain: H. Abdurrahman Sjihab, H. Arsjad Thalib Lubis, H. Udin Sjamsuddin, H. Adnan Lubis dan H. Bahrum Djamil.
  10. 1939 Pada tanggal 3 Mei 1939, didirika Persatuan Ulama Seluruh Aceh di Aceh Utara. Usahanya adalah membersihkan agama Islam dari Bid’ah dan Khurafat. Orang yang penting dalam PUSA ini antara lain adalah T. M. Daud Bereueh, T. A. Rahman M. G. D. M. Nur El Ibrahimy, dan T. Ismail Ja’cub.
  11. 1952 Perserikatan Ulama Indonesia (kemudian Perikatan Ummat Islam) di bawah pimpinan K. H. Abdul Halim yang berpusat di Majalengka, Jawa Barat dan Persatuan Ummat Islam Indonesia di bawah pimpinan K. H. Ahmad Sanusi berpusat di Sukabumi, Jawa Barat. Pada tanggal 5 April 1952 beragabung menjadi satu menjadi Persatuan Umat Islam. Usaha PUI ini adalah mengadakan perbaikan-perbaikan dalam hal akidah, ibadah, tarbiyah, kekeluargaan, adat kebiasaan, hubungan umat, Iqtishad’ ekonomi’, sosial, dan semangat gotong royong.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada awal abad ke-20, ide-ide pembaharuan terlihat telah turut mewarnai arus pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Menilik latar belakang kehidupan sebagian tokoh-tokohnya, sangat mungkin diasumsikan bahwa perkembangan baru Islam di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh ide-ide yang berasal dari luar Indonesia.Seperti misalnya: Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), Ahmad Surkati (Al-Irshad), Zamzam (Persis), yang ketiganya sempat menimba ilmu di Mekkah dan melalui media publikasi dan korespondensi mereka berkesempatan untuk dapat berinteraksi dengan arus pemikiran baru Islam dari Mesir. Tokoh lainnya seperti Tjokroaminoto (Sarekat Islam) juga dikenal menggali inspirasi gerakannya dari ide-ide pembaharuan Islam di anak benua India.

Ide-ide pembaharuan Islam dari luar yang masuk ke Indonesia dengan demikian dapat dibaca berlangsung secara berproses setidaknya melalui 3 (tiga) jalur:

  1. Jalur haji dan mukim
  2. Jalur publikasi
  3. Peran mahasiswa yang sempat menimba ilmu di Timur-Tengah

Dinamika pembaharuan pemikiran Islam nampak dari keterlibatan ulama-ulama nusantara pada jaringan ulama yang berpusat di Haramain. Perintis keterlibatan ulama itu antara lain diwakili oleh tokoh-tokoh seperti:

  1. Nur al-Din al-Raniri (w. 1068 H/1658 M)
  2. Abd al-Rauf al-Sinkili (1024-1105 H/1615-1693 M)
  3. Muhammad Yusuf al-Maqassari (1030-1111 H/1629-1699 M)
  4. Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M) dan sebagainya.

Lalu pada paruh kedua abad 19 mulai muncul ulama-ulama nusantara bertaraf internasional yang menjadi “guru besar” di pusat Islam tersebut. Guru-guru dimaksud pada gilirannya akan melahirkan apa yang disebut koneksi jaringan di Asia Tenggara antara lain:

  1. Nawawi al-Bantani (1230-1314 H/1813-1879 M)
  2. Ahmad Khatib al-Sambasi (w. 1875 M)
  3. Abd al-Karim al-Bantani, Ahmad Rifa’i Kalisalak (1200-1286 H/1786-1870)
  4. Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi, Daud Ibnu Abdullah al-Fatani, Junaid al-Batawi, Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1276-1334 H/1816-1916 M)
  5. Syaikh Ahmad Nahrawi al-Banyumasi (w. 1346 H/1928 M)
  6. Muhammad Mahfuz al-Tirmasi (1285-1338 H/1842-1929 M)
  7. Hasan Musthafa al-Garuti (1268-1348 H/1852-1930 M)
  8. Sayyed Muhsin al-Falimbani, Muhammad Yasin al-Padani (1335-1410 H/1917-1990)
  9. Abd al-Karim al-Banjari, Ahmad Damanhuri al-Bantani dan sebagainya.

Selanjutnya pada awal abad ke-20, pemikiran Islam di Indonesia digambarkan secara jelas oleh Deliar Noer dalam disertasinya. Secara umum, Deliar Noer melihat adanya dua kecenderungan pemikiran Islam di awal abad ke-20, yaitu:

diwakili oleh Nahdlatul Ulama (NU) yang berdiri tahun 1926 dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), 1929

diwakili oleh Sarekat Islam (SI), 1911 dan Muhammadiyah, 1912.

DAFTAR PUSTAKA

Yatim, Badri. 2013.Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers

Azra, Azyumardi. 1999.Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana & Kekuasaan. Bandung: Rosdakarya

Noer, Deliar. 1980.Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES

Zuhri, Muhibbin Zuhri. 2010.Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahl Al-Sunnah Wal-Jama’ah. Surabaya: Khalista

Saifudin Anshari, Endang. 2004.Wawasan Islam, Pokok-pokok Pikiran Tentang Paradigma dan Sistem Islam. Jakarta: Gema Insani Press

//aalmuqoddas.blogspot.co.id/2011/06/dinamika-pemikiran-islam-diindonesia.html?m=1

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA