Orang yang ingkar janji suatu perikatan yang telah diadakan diwajibkan

Terimakasih atas pertanyaan Anda.

CV dan Alat Kelengkapannya

Untuk menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu kami akan menjelaskan mengenai Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennotschaap) dan alat kelengkapannya. Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 17 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma, dan Persekutuan Perdata:

Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennotschaap) yang selanjutnya disebut CV adalah persekutuan yang didirikan oleh satu atau lebih sekutu komanditer dengan satu atau lebih sekutu komplementer, untuk menjalankan usaha secara terus menerus.

Di dalam CV terdapat dua alat kelengkapan, yaitu persero yang bertanggung jawab secara tanggung renteng (persero aktif/persero komplementer) dan persero yang memberikan modal (persero pasif/persero komanditer). Persero aktif/persero komplementer bertanggung jawab untuk melakukan tindakan pengurusan atau bekerja di dalam CV, sedangkan persero pasif/persero komanditer dilarang terlibat dalam aktivitas bisnis perseroan.

Hal tersebut diatur secara tegas di dalam Pasal 17 dan Pasal 20 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (”KUHD”) sebagai berikut:

Pasal 17 KUHD

Tiap-tiap persero kecuali yang tidak diperkenankan, mempunyai wewenang untuk bertindak, mengeluarkan dan menerima uang atas nama perseroan, dan mengikat perseroan kepada pihak ketiga, dan pihak ketiga kepada perseroan. Tindakan-tindakan yang tidak bersangkutan dengan perseroan, atau yang bagi para persero menurut perjanjian tidak berwenang untuk mengadakannya, tidak dimasukkan dalam ketentuan ini.”

Pasal 20 KUHD

Dengan tidak mengurangi kekecualian yang terdapat dalam pasal 30 alinea kedua, maka nama persero komanditer tidak boleh digunakan dalam firma. Persero ini tidak boleh melakukan tindakan pengurusan atau bekerja dalam perusahaan perseroan tersebut, biar berdasarkan pemberian kuasa sekalipun. Ia tidak ikut memikul kerugian lebih daripada jumlah uang yang telah dimasukkannya dalam perseroan atau yang harus dimasukkannya, tanpa diwajibkan untuk mengembalikan keuntungan yang telah dinikmatinya.

Berdasarkan ketentuan dalam KUHD di atas dapat diketahui bahwa hanya persero aktif/persero komplementer yang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk mewakili CV dalam mengadakan perjanjian dengan pihak lain.

Baca juga: Haruskah Membubarkan CV Jika Ingin Mengubahnya Menjadi PT?

Syarat Sah Perjanjian

Lebih lanjut, untuk mengetahui sah atau tidaknya suatu perjanjian yang ditandatangani oleh orang yang bukan lagi berkedudukan sebagai persero aktif, terlebih dahulu kita perlu memahami syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) sebagai berikut:

Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;

  1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

  3. suatu pokok persoalan tertentu;

  4. suatu sebab yang tidak terlarang.

Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena mengenai orang atau subjeknya yang mengadakan perjanjian. Apabila syarat subjektif dilanggar, maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan (voidable). Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dimintakan pembatalan. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Apabila syarat objektif dilanggar, maka perjanjian itu batal demi hukum (null and void). Artinya, sejak semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada.

Analisis Kasus

Terkait dengan pertanyaan yang Anda ajukan, terdapat dua kemungkinan.

Pertama, apabila kedua pihak yang menandatangani perjanjian sama-sama telah mengetahui bahwa orang tersebut tidak lagi berkedudukan sebagai persero aktif dalam CV dan tidak diberikan kuasa oleh CV, namun para pihak tetap bersedia mengadakan perjanjian, maka perjanjian antara CV dan perusahaan tersebut melanggar syarat sah perjanjian yang kedua dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu kecakapan.

Pada dasarnya setiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu.[1] Sebaliknya mengenai ketidakcakapan subjek hukum dalam mengadakan perjanjian, I Ketut Oka Setiawan dalam bukunya Hukum Perikatan (hal. 66) membedakannya menjadi:

  1. Ketidakcakapan untuk bertindak (handeling onbekwaamheid), yaitu orang-orang yang sama sekali tidak dapat membuat suatu perbuatan hukum yang sah. Orang-orang ini disebutkan dalam Pasal 1330 KUH Perdata.

  2. Ketidakberwenangan untuk bertindak (handeling onbevoegheid), yaitu orang yang tidak dapat membuat suatu perbuatan hukum tertentu dengan sah.

Lebih lanjut, Abdulkadir Muhammad dalam bukunya Hukum Perikatan (hal. 93) menyatakan bahwa kecakapan untuk membuat suatu perjanjian harus dimaknai juga sebagai kewenangan untuk membuat perjanjian. Seseorang dikatakan memiliki kewenangan apabila ia mendapatkan kuasa dari pihak ketiga untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, dalam hal ini membuat perjanjian. Dikatakan tidak ada kewenangan apabila ia tidak mendapat kuasa untuk itu. Akibat hukum ketidakcakapan/ketidakwenangan membuat perjanjian ialah bahwa perjanjian yang telah dibuat dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim (voidable).

In casu, orang yang mewakili CV tidak lagi berkedudukan sebagai persero aktif dan tidak mendapatkan kuasa dari CV untuk mengadakan suatu perikatan hukum dengan pihak ketiga, maka orang tersebut menurut hemat kami dapat dikatakan tidak memiliki kewenangan. Akibatnya, perjanjian antara CV dan perusahaan tersebut melanggar syarat sah perjanjian yang kedua yaitu “kecakapan”. Sebagaimana dijelaskan oleh Abdulkadir Muhammad dalam bukunya yang telah kami kutip di atas, akibat hukum ketidakcakapan/ketidakwenangan adalah perjanjian yang telah dibuat dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim (voidable).

Kedua, apabila pihak yang mewakili CV melakukan tipu muslihat sehingga pihak perusahaan tidak menyadari dan tidak dapat mengetahui bahwa orang tersebut tidak lagi berkedudukan sebagai persero aktif dalam CV, maka perjanjian tersebut melanggar syarat sah perjanjian yang pertama yaitu kesepakatan.

Sepakat berarti bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu setuju atau seiya-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Sepakat dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa kata sepakat tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan maupun penipuan. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1321 KUH Perdata sebagai berikut:

Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.

Mengenai penipuan (bedrog), Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian (hal. 23) menjelaskan penipuan terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawan memberikan perizinannya.

Penipuan diatur dalam Pasal 1328 KUH Perdata yang berbunyi:

Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikirakira, melainkan harus dibuktikan.

Apabila orang yang mewakili CV tersebut tidak beriktikad baik menyampaikan kedudukan nya kepada pihak perusahaan dan justru berpura-pura berperan sebagai persero aktif CV, maka perbuatan tersebut tergolong sebagai penipuan (bedrog). Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1321 KUH Perdata di atas, penipuan mengakibatkan kesepakatan menjadi tidak sah.

Sebagai akibat hukum dari dilanggarnya syarat sah perjanjian berupa ”kesepakatan”, maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan (voidable). Jika pembatalan tidak dimintakan oleh pihak yang berkepentingan, maka perjanjian tersebut tetap berlaku.

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

Baca juga: Apakah Perubahan Tanda Tangan Membatalkan Perjanjian?

Dasar Hukum:

Referensi:

  1. Abdulkadir Muhamad. Hukum Perikatan. Bandung: Alumni, 1982;

  2. I Ketut Oka Setiawan. Hukum Perikatan. Jakarta: Sinar Grafika, 2015;

  3. Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Intermasa, 1984.

[1] Pasal 1329 KUH Perdata

Hidup di tengah banyak teman adalah salah satu hal yang kita dambakan. Kita bisa saling berbagi dan menikmati keseharian atau bersenang-senang bersama, serta saling percaya satu dengan lainnya. Ketika teman kita kesulitan atau membutuhkan bantuan, biasanya kita akan sedia membantu karena kita sudah mengenalnya dengan baik. Namun tidak jarang juga kita menemukan teman yang kita percaya dan bantu, ternyata melakukan hal yang tidak menyenangkan yaitu tidak menepati janjinya atau ingkar janji (wanprestasi).

Kami mempunyai sebuah contoh kasus:

A mempunyai sebuah usaha dalam bidang tekstil dan Ia mempunyai seorang teman pedagang yang juga berdagang usaha yang sama (selanjutnya disebut B). Suatu hari, karena kondisi pandemi Covid dan B sedang sepi orderan sehingga pendapatan berkurang, padahal Ia perlu membayar uang sewa, akhirnya Ia meminjam sejumlah uang kepada A sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta) dengan janji akan mengembalikan dalam waktu 6 bulan. A menyetujui dan kemudian memberikan pinjaman kepada B.

Namun setelah 6 bulan, kenyataannya B tidak mengembalikan uang. A terus menagih utang, namun B terus mengulur-ulur waktu pembayaran. Berdasarkan hukum, apa yang bisa A lakukan supaya Ia bisa mengaih utang tanpa memutus hubungan dengan B sebagai temannya?

Perjanjian yang dilakukan A dan B merupakan kesepakatan yang harus dilakukan oleh kedua pihak atau bisa disebut juga sebagai hukum diantara A dan B, sebagaimana didasarkan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa:

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Apabila kemudian B melanggar kesepakatan atau “hukum” diantara mereka, maka hal itu secara hukum disebut wanprestasi atau ingkar janji. Dengan adanya wanprestasi, A harus terlebih dahulu melakukan tindakan yaitu memberikan teguran atau peringatan (surat somasi) kepada B, sebagaimana hal tersebut diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata. Dalam surat somasi, A memberitahukan kepada B bahwa B telah lalai terhadap perjanjian pinjam meminjam uang dan belum membayar hingga waktu yang telah ditentukan atau utang telah jatuh tempo. Jika pada kenyataannya B tidak juga melakukan pembayaran, maka A dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan. Pada tahap pengadilan, permasalahan tetap dapat diselesaikan dengan mediasi (musyawarah).

Dalam surat peringatan (surat somasi) maupun mediasi, A dapat memberikan pilihan kepada B untuk melakukan restrukturisasi pembayaran atau melakukan perbaikan jadwal pembayaran dari B sebagai debitur kepada A sebagai kreditur. Dengan memberikan pilihan tersebut, hubungan A dan B tetap baik dan utang yang dimiliki B kepada A dapat diselesaikan dengan win-win solution.

Kantor hukum kami, Misael and Partners, mempunyai pengalaman dalam membantu klien untuk  melakukan penagihan utang dengan mediasi dan Pengadilan. Bilamana Saudara membutuhkan bantuan atau kurang memahami dalam proses hukum, Saudara dapat segera menghubungi kami. Terima kasih.

Sumber:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA