Seloka Bhinneka Tunggal Ika pada masa kerajaan Majapahit menggambarkan

Garuda Pancasila. Foto: radarntt

Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan bangsa Indonesia yang harus diketahui seluruh rakyat Indonesia. Sebagai semboyan negara, kalimat Bhinneka Tunggal Ika tertulis pada pita putih lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila.

Kata Bhinneka Tunggal Ika dikutip dari buku Sutasoma yang dikarang oleh Mpu Tantular. Kata “bhinneka” memiliki arti beraneka ragam atau berbeda-beda, kata “tunggal” berarti satu, dan kata “ika” artinya itu.

Jika digabungkan, secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika berarti “Beraneka Satu Itu” yang bermakna berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Semboyan ini sangat cocok digunakan oleh bangsa Indonesia yang multikultural dengan berbagai keberagaman yang ada.

Apabila bisa memaknai arti Bhinneka Tunggal Ika dengan baik, maka masyarakat Indonesia juga akan memahami bahwa perbedaan bukanlah alasan untuk saling memecah belah, justru itu menjadi lambang persatuan Indonesia.

Sejarah Bhinneka Tunggal Ika

Kalimat Bhinneka Tunggal Ika diambil dari kutipan sebuah kakawin Jawa Kuno yang dikenal dengan Kitab Sutasoma. Kitab ini merupakan kitab karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14.

Diikrarkan oleh Gajah Mada sebagai Patih Kerajaan Majapahit, berikut kutipan kitab tersebut:

Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa,

bhinnêki rakwa ring apan kěna parwanosěn,

mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,

bhinnêka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa

Konon dikatakan bahwa Wujud Buddha dan Siwa itu berbeda.

Mereka memang berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas pandang?

Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua.

Mereka memang berbeda-beda, namun hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua. (Bhineka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa)

Perlu diketahui, bahwa Bhinneka Tunggal Ika sudah hadir sebelum Indonesia merdeka. Pada awalnya, Bhinneka Tunggal Ika dibuat sebagai upaya untuk menjaga toleransi agama Hindu dan Buddha yang pada masa itu masih menjadi mayoritas.

Namun, melihat keberhasilan kalimat ini dalam mempersatukan Nusantara di masa kerajaan Majapahit, akhirnya Mohammad Yamin mengusulkan agar Bhinneka Tunggal Ika dijadikan semboyan bangsa Indonesia.

Ia berpendapat bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam kalimat Bhinneka Tunggal Ika cocok dengan kehidupan bangsa Indonesia yang beragam, mulai dari suku, ras, agama, adat, budaya, dan sebagainya.

Makna Bhinneka Tunggal Ika Bagi Bangsa Indonesia

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Bhinneka Tunggal Ika sangat cocok untuk menggambarkan segala keberagaman di Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika menjadi pengingat bahwa masyarakat Indonesia harus menjaga toleransi di tengah perbedaan yang ada.

Keberadaan Bhinneka Tunggal Ika membuat seluruh masyarakat harus menghormati perbedaan dan menjunjung tinggi persatuan. Dan hal tersebut harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Lihat Foto

Instagram @museum_nasional_indonesia

Kitab Sutasoma yang berada di Museum Nasional Indonesia

KOMPAS.com - Kitab Sutasoma merupakan peninggalan sejarah dalam bentuk karya sastra dikarang oleh Mpu Tantular pada abad ke-14.

Kakawin ini ditulis pada masa keemasan Kerajaan Majapahit, di bawah kekuasaan Prabu Hayam Wuruk.

Diperkirakan Kitab Sutasoma digubah antara tahun 1365 dan 1389, karena usianya lebih muda dari Kitab Negarakertagama yang selesai ditulis pada 1365.

Kitab Sutasoma bercerita mengenai Pangeran Sutasoma. Di dalamnya juga mengajarkan toleransi beragama, khususnya antara Hindu dan Buddha.

Kakawin inilah yang menjadi sumber inspirasi dirumuskannya semboyan negara, Bhinneka Tunggal Ika.

Kakawin Sutasoma ditulis menggunakan aksara Bali dalam bahasa Jawa Kuno, dengan bahan naskah terbuat dari daun lontar.

Kitab berukuran 40,5 x 3,5 cm itu berisi 1.210 bait dalam 148 pupuh.

Baca juga: Kitab Negarakertagama: Sejarah, Isi, dan Maknanya

Rangkuman isi

Kitab Sutasoma berisi kisah upaya Sutasoma sebagai titisan Sang Hyang Buddha untuk menegakkan dharma.

Sutasoma adalah putra Prabu Mahaketu dari Kerajaan Astina yang lebih menyukai memperdalam ajaran Buddha Mahayana daripada harus menggantikan ayahnya menjadi raja.

Maka pada suatu malam, Sutasoma pergi ke hutan untuk melakukan semedi di sebuah candi dan mendapat anugerah.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA