Latar Belakang. Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dua suku kata yaitu demos berarti rakyat dan kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa. Dengan demikian istilah demokrasi diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat. Demokrasi yang pertama yang dikenal ialah demokrasi langsung, dimana keseluruhan warganegara dengan nyata ikut serta dalam permusyawaratan untuk menentukan kebijaksanaan umum atau undang-undang. Pada masa Yunani Kuno di mana negara adalah polis atau negara-kota (city-state) sistem demokrasinya merupakan demokrasi langsung. Yaitu suatu pemerintahan dimana pengambilan keputusan dilakukan oleh rakyat secara langsung dengan prinsip suara mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi langsung Yunani dapat dilaksanakan secara efektif, karena berlangsung dalam kondisi sederhana, wilayahnya terbatas (negara terdiri dari kota dan daerah di sekitarnya) dan penduduk dalam satu polis (negara-kota) pada masa itu sekitar 300.000 jiwa. Kelemahan dari Demokrasi Langsung ini ialah tidak semua rakyat dapat ikut serta dalam pemerintahan karena di dalamnya terdapat kelompok para budak yang tidak punya hak suara dalam ecclesia. Dalam sistem demokrasi ini yang punya hak suara hanyalah warga negara resmi tidak termasuk para hamba sahaya, budak belian maupun para pedagang asing. Ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku bagi sebagian kecil penduduk yaitu warga negara resmi sedangkan bagi mayoritas dari penduduk yaitu para hamba sahaya, budak belian dan pedagang asing ketentuan demokrasi tidak berlaku. Menurut Bonger[3], demokrasi bukanlah suatu bentuk pemerintahan yang timbul dengan sendirinya, tetapi tumbuh dan berkembang seperti semua lembaga-lembaga masyarakat, maksudnya secara evolusi. Oleh karena itu Mac Iver menyatakan bahwa apa yang disebut sebagai demokrasi langsung dari polis (negara kota) itu, bukanlah demokrasi sama sekali, tetapi oligarkhi yang disamaratakan, dimana suatu kelas warga kota yang memerintah bersama-sama melakukan hak-hak dan mendapatkan keuntungan daripada penguasa politik. Dalam perkembangannya, Demokrasi Langsung makin sulit untuk dipraktekkan, karena wilayah negara terbentuk semakin luas dengan jumlah penduduk yang begitu besar, dan urusan-urusan pemerintah semakin kompleks, sehingga tidak mungkin semua orang dapat berperan sebagai penyelenggara negara. Demokrasi tidak langsung merupakan sifat yang hakiki daripada demokrasi modern dan cara paling sederhana untuk mengklasifikasikan demokrasi adalah menurut bentuk dan luasnya asas perwakilan. Asas perwakilan inilah mendasari lembaga legislatif. Pada zaman modern ini boleh dikatakan semua negara menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi. Walaupun demikian, pelaksanaan demokrasi itu sendiri tidak sama di semua negara, baik mengenai lembaga-lembaga atau cara-caranya yang dipakai untuk melaksanakan ide, atau mengenai keadaan kultural serta historis yang mempengaruhi istilah, ide dan praktek demokrasi itu sendiri. Dalam mempersoalkan demokrasi sebagai bentuk negara, Jitta[4] dalam bukunya Kusnardi, membedakan demokrasi menurut bentuk dan isinya. Ia menyebutkan method of decision making apabila demokrasi itu dilihat dari segi bentuknya dan pemerintahannya dilakukan oleh orang banyak, demokrasi seperti ini disebut demokrasi formal. Kemudian ia menyebutkan contents of decision made apabila demokrasi dilihat dari isinya, dan demokrasi yang diselenggarakan guna kepentingan orang banyak demokrasi itu disebut demokrasi materiil. Sejalan dengan uraian diatas tentang demokrasi, Bonger juga menyatakan bahwa demokrasi itu jangan dilihat dari segi bentuknya saja tetapi juga semangat anggota-anggotanya. Maksudnya anggota-anggotanya merasakan bahwa demokrasi itu diselenggarakan untuk para anggotanya sehingga ia merumuskan pengertian demokrasi itu sebagai suatu bentuk pemerintahan dari kolektivitas yang memerintah diri sendiri, dalam hal mana sebagian besar anggota-anggotanya ambil bagian baik langsung maupun tidak langsung dimana terjamin kebebasan dan persamaan. Dewasa ini hampir semua negara di dunia menyatakan dirinya adalah negara yang demokratis. Begitupula halnya dengan semua pihak penyelenggara pemerintahan di berbagai belahan dunia ini menyatakan pihaknya sangat demokratis. Walaupun dalam prakteknya rezim pemerintah yang mengaku dirinya demokratis seringkali melakukan pelanggaran terhadap hak-hak warga negaranya, dalam berbagai bentuk seperti pelarangan, penangkapan dan lain lain yang tidak berdasarkan hukum. Istilah demokrasi nampaknya sudah merupakan sekedar suatu ungkapan yang pengertian dan kriterianya dapat disesuaikan dengan kehendak dan selera masing-masing. Hal ini mengundang pertanyaan mengenai kriteria dan ukuran-ukuran yang bisa dipergunakan untuk menilai demokrasi dan penyelenggaraannya secara obyektif. Demokrasi masih menjadi isu yang penting dalam kehidupan politik di berbagai negara dunia, yang dipergunakan sebagai ukuran untuk menilai praktek penyelenggaran suatu rezim pemerintahan dan sebagai gagasan yang harus diwujudkan dalam kehidupan suatu negara. Sistem politik yang tidak sesuai dengan demokrasi dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan tidak akan mungkin membawa kemajuan bagi warganya. Di era globalisasi ini demokrasi telah menjadi norma dunia dan sangat sulit untuk menolaknya, apabila tidak mau terkucil dari pergaulan internasional. Oleh karena itu diperlukan pemahaman mengenai konsep-konsep dasar demokrasi, pengertian dan perkembangan demokrasi, dan penyelenggaraan demokrasi di Indonesia. PENGERTIAN DEMOKRASI A. Konsep Demokrasi Demokrasi pada masa sekarang ini dianggap sebagai indikator perkembangan politik suatu negara. Konsep demokrasi sebagai “kedaulatan rakyat” bertumpu pada prinsip bahwa rakyat secara keseluruhan dipandang sebagai pemegang kedaulatan politik. Istilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno di Athena (abad ke-6 sampai abad ke-3 SM), yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana hak-hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan mayoritas. Negara tersebut dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke 18, bersamaan dengan perkembangan sistem ”demokrasi” di banyak negara. Proses pemikiran mengenai sumber legitimasi negara, yaitu kedaulatan rakyat, serta pelembagaannya inilah setelah melalui proses panjang yang kemudian melahirkan konsep demokrasi yang dikenal sekarang. Terlihat bahwa kedaulatan rakyat merupakan argumentasi yang paling dapat diterima dalam gagasan mengenai legitimasi negara. Konsep inilah yang merupakan pemikiran awal mengenai demokrasi yang kemudian berkembang hingga saat ini. Robert A. Dahl menyatakan bahwa demokrasi yang kita kenal sekarang sebenarnya merupakan hasil gabungan dari empat unsur, yaitu: (1) paham demokrasi Yunani, (2) tradisi Republiken, (3) paham pemerintah perwakilan, dan (4) logika kesamaan politik. Yang dimaksudkan Robert A. Dahl sebagai logika kesamaan politik adalah sebuah gagasan yang banyak muncul dilingkungan budaya dan tradisi yang menganggap bahwa semua anggota kelompok atau asosiasi sama saja berhak dan mampu untuk berpartisipasi secara sama dengan rekan rekan-rekannya dalam proses pemerintahan kelompok atau asosiasi itu. Dalam demokrasi kekuasaan politik dianggap sah bila itu merupakan kehendak rakyat. Rakyat mempunyai kewenangan penuh untuk menyetujui atau menolak berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah. Bahkan rakyat juga mempunyai kekuasaan untuk mengawasi semua tindakan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan lembaga-lembaga politik lainnya. Di sisi lain, konsep demokrasi dalam pengertian yang paling mendasar adalah bahwa masyarakat mayoritas, senantiasa dituntut bersikap dan berperilaku menghargai eksistensi masyarakat minoritas, karena bagaimanapun mereka adalah bagian dari keseluruhan. Karena itu masyarakat minortitas tidak dapat diperlakukan secara diskriminatif atau tidak adil. Jadi apabila dalam prakatiknya terdapat perlakuan yang tidak adil terhadap masyarakat minoritas, maka negara yang bersangkutan dianggap belum memenuhi syarat sebagai negara demokrasi. Konsep demokrasi diatas merupakan formulasi yang ideal walaupun dalam praktiknya belum ada satu negara manapun didunia yang secara politik dapat melaksanakannya secara konkrit. Namun demikian sekurang-kurangnya konsep ini dapat digunakan sebagai standar untuk menilai, apakah suatu negara dapat disebut sebagai negara demokrasi atau tidak. B. Prinsip-Prinsip Demokrasi Demokrasi adalah mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara yang bersangkutan. Salah satu pilar demokrasi yang umum dikenal adalah prinsip pembatasaan kekuasaan yang memisahkan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif dengan prinsip saling mengimbangi dan mengawasi (checks and balances). Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya dengan pembatasan kekuasaan dalam suatu negara dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat, juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Prinsip pembatasan kekuasaan (semacam trias politica) menjadi saat penting untuk diperhatikan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah/raja yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbukan pelanggaran terhadap Hak-Hak Asasi Manusia. Demokrasi dapat diartikan sebagai suatu bentuk pemerintahan yang diorganisasikan berdasarkan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, kesamaan politik konsultasi atau dialog dengan rakyat dan berdasarkan pada aturan suara mayoritas. Dalam demokrasi yang bersifat global, terdapat delapan prinsip yang dijadikan pedoman,yaitu: Pertama, partisipasi. Salah satu esensi demokrasi adalah pelibatan serta masyarakat dalam menjalankan dan menentukan proses politik. Kedua, inklusivitas. Demokrasi selalu memandang dan menempatkan individu setara secara politik. Politik akan memberlakukan setiap individu warganegara tanpa mempertimbangkan perbedaan latar belakang ras, etnis, kelas, gender, agama, bahasa maupun identitas lainnya. Demokrasi mendorong pluralitas sekaligus mengelola keragaman tanpa kekerasan. Ketiga, perwakilan. Jalur yang paling rasional adalah menyediakan perangkat perwakilan jika mempertimbangkan keterbatasan waktu dan ruang untuk partisipasi langsung secara absolut dalam proses politik dan kekuasaan (pemerintahan). Keempat, transparancy. Masyarakat adalah basis otorisasi institusi-institusi politik,karena lembaga politik mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Demokrasi memprasyaratkan sejumlah perangkat yang memungkinkan publik mengawal institusi politik. Kelima, akuntabilitas. Akuntabilitas hanya akan mungkin jika lembaga-lembaga negara transparan. Pertanggungjawaban adalah syarat mutlak dalam penyelenggaraan pemerintahan dan merupakan unsur penting dalam demokrasi. Keenam, responsiveness. Demokrasi memungkinkan kelompok-kelompok masyarakat mendapatkan akses langsung kepada lembaga-lembaga politik publik. Di lain pihak lembaga-lembaga politik itu harus siap menangkap dan mengolah tuntutan warga dalam setiap proses pembuatan kebijakan publik secara tepat. Ketujuh, kompetisi/otorisasi. Demokrasi juga merupakan sistem politik yang membuka ruang bagi pertanrungan parpol dalam proses pemilihan umum. Kedelapan, solidaritas. Rezim demokrasi harus bisa bersandar pada dukungan dan niat baik komunitas demokrasi baik personal, publik dan komunitas internasional. Solidaritas dapat menemukan ekspresinya saat sebuah kebijakan publik menjunjung prinsip-prinsip,norma-norma,dan aturan-aturan hukum yang disepakati oleh institusi-institusi multilateral. C. PERKEMBANGAN DEMOKRASI Dalam pandangan Barat, demokrasi dapat dikatakan sebagai tujuan akhir, dan yang terpenting adalah hasilnya melalui suara mayoritas sebagai penentu. Selain itu perkembangan demokrasi Barat menitik beratkan pada aspek politik saja, sedangkan aspek-aspek yang lain seperti ekonomi dan sosial diabaikan. Adapun mengenai aspek ekonomi dengan prinsip kapitalisme yang menekankan pada free fight liberalism menyerahkan semua masalah ekonomi kepada kemauan dan kemampuan individu untuk bersaing diantara sesama. Sehingga dalam ekonomi, rakyat justru harus bergantung kepada individu-individu yang menguasai sektor ini. Masyarakat Barat memandang kepentingan masyarakat akan terwujud dengan mewujudnya kepentingan individu. Dengan demikian kepentingan individulah yang harus dijamin akan terealisasi. Walaupun Barat berusaha memaksakan warna demokrasi pada bangsa-bangsa lain, tampaknya, demokrasi liberal tidak bisa diterima secara utuh oleh setiap bangsa. Menyadari kenyataan itu, para pemikir Barat diantaranya Richard Burwell[5] mencoba melakukan perbaikan dengan memilah demokrasi kedalam dua golongan besar yaitu:
Oleh Sri Soemantri Martosoewignyo pemilahan tersebut ditambah dengan:
Pengelompokan tersebut melahirkan bermacam-macam sebutan terhadap demokrasi, seperti Demokrasi Liberal, Demokrasi Konstitusional, Demokrasi Perwakilan, Demokrasi Sosial, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila dan sebagainya. 1. Demokrasi Liberal Gagasan ini berawal dari kebebasan berpikir yang membuka jalan untuk meluaskan gagasan kebebasan bagi warga negara dibidang politik sebagai bentuk perlawanan terhadap kedudukan raja-raja absolut di Eropa pada masa Abad ke -17 sampai Abad ke-19. Timbullah gagasan bahwa manusia mempunyai hak-hak politik yang tidak boleh diselewengkan oleh Raja, yang menurut pola yang lazim pada masa itu mempunyai kekuasaan tak terbatas. Untuk itu perlu dilakukan pembatasan kekuasaan raja melalui konsep pembagian kekuasan yaitu kekuasaan eksekutif/raja, legislatif dan federatif. Ajaran ini dikemukakan oleh filsuf Inggris John Locke (1632-1704). Dia juga menyatakan bahwa hak-hak politik itu mencakup hak atas hidup, atas kebebasan dan hak untuk mempunyai milik (life, liberty and property). Pemikiran John Locke tersebut kemudian dikembangkan oleh seorang filsuf Perancis Montesquieu (1689 -1755), yang menyatakan penting pemisahan kekuasaan atas tiga aspek yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Ajaran ini kemudian dikenal dengan nama trias politica. Ide-ide bahwa manusia mempunyai hak-hak politik menimbulkan revolusi Perancis pada akhir abad ke 18, serta Revolusi Amerika melawan Inggris. Sebagai akibat dari rangkaian pergolakan tersebut maka pada pada akhir abad ke 19, gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang kongkrit sebagai program dan sistem politik. Demokrasi pada tahap ini semata-mata bersifat politis dan mendasarkan dirinya atas azas-azas kemerdekaan individu, kesamaan hak (equal rights) serta hak pilih untuk semua warga negara (universal suffrage). Bertolak dari keinginan untuk menyelenggarakan hak-hak politik itu secara efektif timbulah gagasan bahwa cara yang terbaik untuk membatasi kekuasaan pemerintah ialah dengan suatu konstitusi, apakah ia bersifat naskah (written constitution) atau tak bersifat naskah (unwritten constitution). Undang-Undang Dasar itu menjamin hak politik dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan, negara sedemikian rupa sehingga kekuasaan ekskutif diimbangi kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga hukum. Aliran pikiran ini disebut Liberalisme dan dirumuskan dalam dalil “The least government is the best government” (yang berarti makin sedikit peran pemerintah makin baik). Dalam pandangan ini negara dianggap sebagai Nachwachterstaat (Negara Penjaga Malam) yang sangat sempit ruang geraknya, tidak hanya di bidang politik, tetapi terutama di bidang ekonomi yang berlaku adalah prinsip “laiissez faire,laisses aller”, yang berarti kalau manusia dibiarkan mengurus kepentingan ekonominya masing-masing, maka dengan sendirinya keadaan ekonomi seluruh negara akan sehat. Negara hanya bersifat pasif, artinya hanya bertindak apabila hak-hak manusia dilanggar atas ketertiban dan keamanan umum terancam.[6] Dalam abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 gagasan mengenai perlunya pembatasan kekuasaan mendapat perumusan yang yuridis. Ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl menggunakan istilah Rechtsstaat, sedangkan ahli hukum Anglo Saxon seperti A.V.Dicey memakai istilah Rule of Law. Sebagai perwujudan dari kehendak Aliran Liberalisme oleh Immanuel Kant dikemukakan rumusan yuridisnya dalam konsep Rechtsstaat awal yang hanya mencakup dua unsur yaitu :
Konsepsi negara hukum tersebut adalah sempit, maka dari itu sering disebut sebagai “Negara Hukum Klasik”. Bahwa rumusan-rumusan ini hanya bersifat yuridis dan hanya menyangkut bidang hukum saja dan itupun dalam batas-batas yang agak sempit–tidaklah mengherankan. Oleh karena rumusan ini merupakan produk dari zaman itu, yang menginginkan negara dan pemerintah tidak campur tangan dalam urusan warga negaranya kecuali dalam hal yang menyangkut kepentingan umum, seperti misalnya bencana alam, hubungan luar negeri dan pertahanan negara. Konsep awal Immanuel Kant tersebut kemudian dikembangkan oleh Julius Stahl dengan menambah dua unsur lagi sehingga menjadi 4 (empat) unsur Rechtsstaat dalam arti klasik yaitu adanya:
Sedangkan unsur-unsur Rule of Law dalam arti klasik dikemukakan oleh A.V.Dicey mencakup hal-hal sebagai berikut:
Menurut Carl J. Friedrich,[8] konstitusionalisme adalah gagasan bahwa “pemerintah merupakan suatu kumpulan aktviitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk kepada beberapa pembatasan yang dimaksud untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalah gunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah” (a set of activities organized and operated on behalf of the people but subyect to a series of restraints which attempt to ensure the power which is needed for such governance is not abused by those who are called upon to do the governing). Di dalam gagasan konstitusionalisme, konstitusi atau undang-undang dasar tidak hanya merupakan dokumen yang menggambarkan pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga kenegaraan yang dapat dirubah atau diganti kalau hubungan kekuasaan, sudah berubah. Tetapi dalam gagasan konstitusionalisme undang-undang dasar dipandang sebagai suatu lembaga yang mempunyai fungsi khusus yaitu menentukan dan membatasi kekuasaan pemerintah di satu pihak dan di pihak lain menjamin hak-hak azasi dari warga negaranya. Undang-Undang Dasar dianggap sebagai perwujudan dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah,sesuai dengan prinsip “Government by laws, not by men”. 2. Demokrasi Konstitusional dan Rule of Law. Dalam abad ke-20 terutama sesudah berakhirnya Perang Dunia ke II telah terjadi perubahan-perubahan politik, sosial dan ekonomi yang sangat besar. Gagasan bahwa pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan warga negara baik di bidang sosial maupun ekonomi lambat laun berubah menjadi gagasan pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dan karena itu harus aktif mengatur kehidupan ekonomi dan sosial. Dewasa ini, sistem demokrasi tidak bisa diidentifikasikan sebagai sebuah sistem politik semata. Pada masa kini demokrasi dianggap harus mencakup dimensi ekonomi dengan suatu sistem yang menguasai kekuatan-kekuatan ekonomi dan yang berusaha memperkecil perbedaan sosial dan ekonomi, terutama perbedaan-perbedaan yang timbul dari distribusi kekayaan yang tidak merata. Negara semacam ini dinamakan welfare state (negara kesejahteraan) atau social service state (negara yang memberi pelayanan kepada masyarakat). Pada dewasa ini negara-negara modern mengatur soal-soal pajak, upah minimum, pensiun, pendidikan umum, asuransi, mencegah atau mengurangi pengangguran dan kemiskinan serta timbulnya perusahaan-perusahaan raksasa (perlu undang-undang anti trust),dan mengatur ekonomi sedemikian rupa sehingga tidak terganggu oleh depresi dan krisis ekonomi. Karena itu pemerintah dewasa ini mempunyai kecenderungan untuk memperluas aktivitasnya.[9] Sejalan dengan kecenderungan itu, maka perumusan yuridis mengenai negara hukum klassik pada abad ke 19 juga mendapat peninjauan kembali agar sesuai dengan tuntutan zaman. International Commission of Jurist suatu organisasi ahli hukum international dalam konferensinya di Bangkok pada tahun 1965, memperluas konsep mengenai Rule of Law dan menekankan apa yang dinamakannya,”the dynamic aspect of the Rule of in the modern age”. Dikemukakan bahwa syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah Rule of Law ialah:
Konferensi memandang bahwa di samping hak-hak politik juga hak-hak sosial dan ekonomi warga negara harus diakui dan dipelihara dalam arti bahwa harus dibentuk standard-standard dasar sosial dan ekonomi. Penyelesaian dari soal kelaparan, kemiskinan dan pengangguran merupakan syarat agar Rule of Law dapat berjalan dengan baik. Pemerintah mempunyai tugas untuk mengadakan pembangunan ekonomi, sedangkan nasionalisasi dan landreform sering perlu dilakukan, dan tidak bertentangan dengan Rule of Law. Untuk bisa menyelenggarakan ini perlu ada kekuasaan administratif yang cukup kuat. Demokrasi harus mampu menjawab mengenai pemenuhan kebutuhan manusia, yang berupa pekerjaan, penghidupan yang layak, jaminan sosial, dan jaminan keamanan dari tindak kekerasan. Demokrasi harus mampu pula menanggulangi kapitalisme yang jahat, dengan mensejahterakan masyarakat. Demokrasi harus mampu menjawab metode penyeimbangan antara kelompok kaya dan dan masyarakat miskin. Demokrasi harus mampu pula menjawab bagaimana memajukan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan manusia lewat pendidikan. Dan tentu masih sangat banyak pertanyaan yang harus bisa dijawab oleh demokrasi. Diakui bahwa, terutama bagi negara-negara baru, agar dapat mencapai keuntungan-keuntungan ekonomi dan sosial bagi individu, beberapa tindakan campur tangan dalam hak-hak individu menjadi tak terlelakkan lagi. Hanya saja, campur tangan semacam itu tidak boleh lebih dari yang semestinya diperlukan dan harus tunduk pada jaminan-jaminan yang diberikan oleh Rule of Law. 3. Demokrasi Perwakilan International Commission of Jurist di dalam konferensi itu merumuskan pula bahwa sistem politik yang demokratis adalah “suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggungjawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas. Ini dinamakan “demokrasi berdasarkan perwakilan” (representative demoracy). Dalam kerangka itu Henry B. Mayo[10] menyatakan demokrasi adalah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Pandangannya itu menonjolkan azas-azas demokrasi sebagai sistem politik, disamping itu demokrasi dianggap tidak hanya merupakan suatu bentuk negara ataupun sistem pemerintahan tetapi juga suatu gaya hidup serta tata masyarakat tertentu, yang mengandung unsur-unsur moril. Henry B.Mayo juga telah mencoba untuk merinci nilai-nilai tersebut dengan catatan bahwa tidak setiap masyarakat demokratis menganut semua nilai yang ada dalam rinciannya tersebut, bergantung kepada perkembangan sejarah serta budaya politik masing-masing bangsa dan negara . Adapun nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut:
Untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi perlu diselenggarakan beberapa lembaga sebagai berikut:
Sejalan dengan prinsip tersebut ada unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam peyelenggaraan demokrasi. Terkait dengan unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam demokrasi, Usep Ranawijaya menyatakan bahwa sistem demokrasi dalam negara harus dilembagakan melalui kaidah hukum, yang meliputi[11]:
Demokrasi mengandung arti kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat dan berkaitan erat dengan sistem pengambilan keputusan. Oleh karena itu dalam demokrasi ada unsur-unsur yang harus dipenuhi yaitu unsur kekuasaan mayoritas, suara rakyat, pemilihan bebas dan tanggung jawab.[12] Dalam kaitan itu Lyman Tower Sargent mengemukakan lima elemen kunci yang harus dipenuhi oleh negara demokrasi yaitu[13]:
Pendapat Lyman Tower Sargent tersebut didukung oleh Robert Dahl yang menyatakan bahwa terdapat 5 kriteria untuk mengenali proses pemerintahan sebuah agar dapat memenuhi suatu persyaratan sebagai proses demokrasi, yaitu agar semua anggota memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam berbagai keputusan kebijakan asosiasi:
Sistem demokrasi mencerminkan mekanisme politik yang dianggap bisa menjamin adanya pemerintah yang tanggap terhadap kepentingan dan kehendak warganya. Untuk itu rakyat harus diberi kesempatan merumuskan kepentingan, memberitahu kan kehendaknya kepada warga negara dan kepada pemerintah melalui tindakan individual maupun kolektif, dan mengusahakan agar kepentingan itu dipertimbang kan secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah. Kesempatan bagi rakyat hanya mungkin tersedia kalau lembaga-lembaga dalam masyarakat menjamin adanya delapan kondisi yang sesuai dengan kriteria negara demokrasi. Dalam kaitan itu Robert A. Dahl mengajukan hal-hal sebagai berikut[14] :
KONSEPSI DAN PENYELENGGARAAN DEMOKRASI DI INDONESIA Ditinjau dari periodesasi penyelenggaraan demokrasi di Indonesia dapat kiranya dibagi dalam 4 periode, yaitu:
Penyelenggaraan Demokrasi Parlementer (1949-1959) Sistem pemerintahan Indonesia menurut ketentuan UUD 1945 sebetulnya bersifat presidensiil, dalam arti bahwa para menteri tidak bertanggungjawab kepada badan legislatif, tetapi hanya bertindak sebagai pembantu presiden. Terhadap Pasal 17 ayat (1) ini R. Wiyono memberi tafsiran bahwa perkataan “dibantu” adalah dalam arti memberi bantuan kepada jabatan atasan dalam memimpin atau membimbing kebijaksananaan negara. Berhubung para menteri itu hanya membantu Presiden saja, maka tidaklah perlu disusun suatu kabinet atau Dewan Menteri yang terlepas dari kedudukan Presiden seperti halnya di dalam sistem Kabinet Parlementer dan karenanya tidak perlu disusun suatu bentuk politik bersama untuk secara bulat menghadapi DPR”. Terkait penafsiran terhadap ketentuan Pasal 17 UUD 1945, Prof Soewoto mengemukakan perubahan konstitusi melalui interpretasi sebagai berikut: ”dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia pernah terjadi perubahan sistem kabinet tanpa melakukan perubahan teks konstitusi. Kabinet pertama dibentuk dengan sistem presidensiil, yang berarti menganut pertanggungjawaban menteri kepada Presiden. Presiden berdasarkan ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 memegang kekuasaan besar. Komite Nasional Indonesia Pusat (selanjutnya disingkat KNIP) hanya bertugas untuk membantu Presiden. Sistem pemerintahan demikian oleh pengamat politik dipandang tidak menunjang penyelenggaraan pemerintahan demokratis. Atas usul anggota BPK KNIP sistem pertangungjawaban diubah dengan dalih “tidak ada ketentuan yang tegas dalam UUD 1945 yang melarang sistem pertanggungjawaban kepada parlemen”. Dalih ini adalah hasil interpretasi atau (tafsiran) tehadap sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945. Pertanyaannya adalah mengapa demokrasi liberal atau sistem parlementer muncul dalam ketatanegaraan Indonesia yang UUD/Konstitusinya bersifat presidensiil. Terjadinya hal itu bermula dari dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No X pada16 Oktober 1945, Pengumuman Badan Pekerja KNIP pada 11 November 1945, dan Maklumat Pemerintah pada 14 November 1945, tanggungjawab politik terletak di tangan menteri. Maklumat tersebut memuat keputusan tentang Tugas KNIP menjadi badan legislatif yang bertugas menetap kan GBHN sebelum terbentuknya DPR/MPR Selain adanya perubahan tugas KNIP yang semula hanya sebagai pembantu presiden,juga terjadi perubahan lain yakni perubahan sistem presidensiil ke parlemeter, melalui Maklumat 14 November 1945 setelah mendengar usul BPKNIP. Sebagai implikasi pelaksanaan Maklumat tersebut, sistem presidensiil hanya berlangsung selama tiga bulan hingga akhirnya terbentuk kabinet parlementer Syahrir sebagai Perdana Menteri pada 14 November 1945. Dengan demikian selama masa November 1945 sampai Desember 1949 sistem pemerintahan yang diselenggarakan adalah sistem pemerintahan Parlementer yang berbeda dengan sistem pemerintahan Presidensiil yang ditentukan dalam naskah undang-undang dasar yang berlaku. Konon latar belakang terbentuknya kabinet parlementer dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain sebagai berikut: Pertama, ketidaksetujuan beberapa tokoh pergerakan terhadap pembentukan partai tunggal dengan nama Partai Nasional Indonesia (merupakan keputusan Sidang PPKI). Ide ini menimbulkan banyak pertentangan karena kekuatiran timbulnya fasisme dan totalitarianisme. Sebaliknya kehadiran partai-partai politik dipandang tepat untuk membangun bangsa Indonesia yang baru merdeka. Sebagai tindak lanjutnya dalam bulan November 1945, dikeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X pada 3 November 1945, yang membuka pintu seluas-luasnya bagi partai-partai politik. Maklumat tersebut dikeluarkan setelah mempertimbangkan usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat menetapkan tiga hal. Pertama, pembentukan partai tunggal bertentangan dengan asas demokrasi. Kedua, dianjurkan pembentukan partai-partai politik untuk mudahnya mengukur kekuatan perjuangan. Ketiga, pembentukan partai dan organisasi politik memudahkan pemerintah untuk minta tanggungjawab kepada pemimpin-pemimpin barisan perjuangan. Inilah yang mendasari terbentuknya partai-partai politik yang mewakili berbagai corak dan aliran yang hidup dalam masyarakat. Kedua, perubahan ke sistem parlementer yang liberal semula didorong oleh kelompok muda revolusioner yang merasa kurang setuju dengan kekuasaan negara dibawah pimpinan Presiden Sukarno. Ketiga, untuk memberi kesan kepada dunia internasional bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, bukan negara boneka bikinan Jepang. Penyelenggaraan sistem pemerintahan parlementer ini dilanjutkan berdasarkan Konstitusi RIS yang mulai berlaku pada 14 Desember 1949. Perbedaannya, adalah kalau dulu tidak sesuai dengan UUD 1945, sedangkan sekarang sesuai dengan sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh Konstitusi RIS. Pemberlakuan Konstitusi RIS ini dilatarbelakangi persetujuan Belanda untuk memberikan pengakuan terhadap pemerintah Republik indonesia yang akan menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia melalui pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat. Selanjutnya sistem pemerintahan parlementer ini semakin diperkokoh oleh UUD Sementara yang mulai berlaku semenjak 15 Agustus 1950. Menurut UUDS 1950, badan eksekutif terdiri dari presiden sebagai kepala negara dan para menteri-menteri yang bertanggung jawab secara politik kepada dewan perwakilan rakyat. Pada dasarnya UUD Sementara Tahun 1950 sudah memuat berbagai ketentuan yang tidak hanya mengenai masalah demokrasi politik pada (Pasal 135 dan131), tetapi juga mengenai demokrasi ekonomi (Pasal 37 dan 38), demokrasi sosial (Pasal 36, 39, 41 dan 42), ada juga hak-hak dasar manusia. Namun yang terjadi dalam penyelenggaraannya berbeda, demokrasi politik dipakai sebagai alat dan argumen untuk dapat tumbuhnya oposisi yang destruktif, demokrasi ekonomi bukan untuk membebaskan rakyat dari kemiskinan, malah menyuburkan persaingan bebas, demokrasi sosial pun tidak untuk menciptakan tatanan masyarakat yang bersih dari unsur-unsur feodalisme tetapi justru menutup kemungkinan bagi rakyat untuk dapat menikmati kemerdekaan. Di dalam prakteknya sistem pemerintahan parlementer ini tidak pernah berhasil menciptakan stabilitas politik yang memungkinkan negara untuk membangun. Ketidakstabilan politik dipicu oleh fragmentasi dan pertentangan antara sesama partai politik. Karena adanya fragmentasi partai-partai politik, setiap kabinet berdasarkan koalisi yang berkisar pada satu atau dua partai besar dengan beberapa partai kecil. Koalisi teryata kurang mantap dan partai-partai dalam koalisi tidak segan-segan untuk menarik dukungannya sewaktu-waktu sehingga kabinet seringkali jatuh, karena keretakan dalam koalisi sendiri. Dengan demikian ditimbulkan kesan bahwa partai-partai dalam koalisi kurang dewasa dalam menghadapi tanggungjawab mengenai permasalahan pemerintahan. Di lain pihak partai-partai dalam barisan oposisi tidak mampu untuk berperan sebagai oposisi yang konstruktif yang menyusun program-program alternatif, tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif dan tugas oposisi. Itu tampak pada masa pemerintahan kabinet-kabinet sebelum Pemilu 1955, yang tidak dapat bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan.Keadaan seperti ini menghambat perkembangan ekonomi dan politik, karena pemerintah tidak mendapat kesempatan untuk melaksanakan programnya. Begitu pula halnya dengan praktik perpolitikan setelah Pemilu 1955, meskipun DPR yang terbentuk merupakan hasil pemilihan umum, tetapi menyangkut kekuasaan yang diemban oleh lembaga tersebut tidak terjadi perbedaan, karena masih merupakan kelanjutan dari pemerintahan demokrasi liberal yang dianut sebelumnya. Tidak kurang dari itu, adalah hasil pemilihan umum pada 1955 yang bukan saja tidak berhasil membawa stabilitas yang diharapkan, malahan tidak dapat menghindarkan perpecahan antara pusat dengan beberapa daerah yang ditandai dengan adanya pemberontakan diberbagai daerah. Berdasarkan teori dan praktek di banyak negara, sistem pemerintahan dengan banyak partai, seringkali melahirkan kekuasaan eksekutif yang tidak stabil. Praktek tatanegara Indonesia sejak berlakunya Konstitusi RIS 1949 sampai berlakunya UUD Sementara 1950, sistem pemerintahan parlementer dengan multi partai terus dipertahankan. Oleh karena itu perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia saat itu mengalami masa suram. Sebab hanya disibukkan sekitar soal jatuh bangun Kabinet. Namun patut di catat bahwa dalam masa sistem pemerintahan parlementer dari 15 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959, inilah untuk pertama kalinya pemilihan umum dilangsungkan di Indonesia. Pemerintah berhasil menyelenggarakan Pemilihan Umum dengan sistem multi partai, yang diikuti oleh 28 partai politik dan perorangan. Pemillihan Umum untuk memilih anggota anggota DPR dilakukan pada 29 September 1955 sedangkan Pemilihan Umum untuk memilih anggota Konstituante pada 15 Desember 1955. Hal-hal tersebut ditambah lagi dengan tidak mampunya anggota-anggota partai yang duduk di Konstituante untuk membangun kesepakatan mengenai dasar negara untuk undang-undang dasar yang baru. Kondisi nasional yang seperti itu mendorong Presiden Sukarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden ada 5 Juli 1959, yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945, dengan demikian berakhirlah masa sistem pemerintahan parlementer dengan praktik demokrasi liberal. Berdasarkan pengalaman tersebut dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan sistem pemerintahan parlementer dengan prinsip demokrasi liberal telah gagal. Karena tidak dapat menciptakan kestabilan politik dan pembangunan ekonomi untuk memajukan kesejahteraan masyarakat. Sistem pemerintahan parlementer dengan praktek demokrasi liberal, yang semula tampak sebagai tindakan taktis situasional atau ad-hoc, ternyata berlangsung terus sampai, dinyatakan berlakunya kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Berlangsungnya praktik demokrasi liberal dalam sistem pemerintahan parlementer selama sekitar 14 tahun tersebut juga memiliki implikasi yang sangat luas terutama bagi perjalanan demokrasi di Indonesia. Penyelenggaraan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) Kondisi negara pada masa berlakunya sistem pemerintahan parlementer dengan praktek demokrasi liberal ditandai dengan dengan gonjang-ganjing politik, jatuh bangunnya kabinet yang menciptakan ketidak pastian, timbulnya perpecahan dan pertentangan antara pusat dan daerah. Kebobrokan juga bertambah dengan macetnya roda pemerintahan sehingga mengakibatkan cita-cita kemerdekaan menjadi makin jauh dari kenyataan.[15] Melihat kenyataan itu Bung Karno yang memegang jabatan Presiden sebagai Kepala Negara, memiliki keinginan untuk merombak tata kehidupan negara yang bersandarkan demokrasi liberal yang dianggapnya negatif, dan menggantikannya dengan paham demokrasi yang baru, yaitu demokrasi terpimpin. Kritik terhadap demokrasi liberal itu disampaikan oleh Bung Karno dalam pidatonya pada pembukaan Sidang Konstituante pada tanggal 10 November 1956, yang antara lain diutarakan sebagai berikut: “Apa yang dikatakan oleh liberalisme? “free enterprise dalam politik” dengan “equal opportunity for everybody” kebebasan bertindak dalam politik, dengan kesempatan yang sama buat semua orang”. Akan tetapi, seperti juga dalam lapangan perdagangan, ”jika kesempatan yang sama tidak dibarengi dengan “kemampuan yang sama”, maka golongan yang lemah niscaya akan tertindas oleh golongan yang kuat. Dalam alam penyelenggaraan demokrasi: satu suara bagi tiap warga negara, belum menjamin keadilan di segala lapangan. Dan nyata belum menjamin keadilan dilapangan ekonomi. “Men kan de honger van een bedelar niet stillen door hem omze constitutie in de hand stoppen”. Orang tak dapat menghilangkan rasa lapar dalam perutnya seorang pengemis dengan memberikan kepadanya kita punya kitab konstitusi”, demikianlah Fourrier pernah berkata. Maka atas dasar pertimbangan-pertimbangan inilah saya, persoonlijk, merasa perlu golongan yang lemah mendapat perlindungan daripada golongan yang kuat, atau dengan kata lain:pemakaian demokrasi oleh golongan yang kuat harus dibatasi. Ini berarti, bahwa demokrasi kita untuk sementara haruslah demokrasi yang menjaga jangan ada eksploitasi oleh satu golongan terhadap golongan yang lain. Ini berarti bahwa demokrasi kita untuk sementara haruslah demokrasi terbimbing,demokrasi terpimpin, geleide democratie, yang dus tidak berdiri diatas paham-pahamnya liberalisme”.[16] Untuk mewujudkan konsepsinya tersebut, maka Bung Karno telah menawarkan Konsepsi Presiden kepada Pimpinan partai-partai politik dan para tokoh masyarakat pada 21 Februari 1957 di Istana Merdeka yang pokok-pokok isinya sebagai berikut:
Meskipun tujuan Konsepsi Presiden yang disampaikan di Istana Merdeka pada 21 Februari 1957 bertujuan untuk melahirkan pemerintahan yang stabil dan pulihnya kewibawaan pemerintah yang sedang merosot, tetapi hal tersebut tidak mencapai hasil yang diharapkan. Karena pada saat itu kekuatan politik sedang dipusatkan pada badan Konstituante yang sedang berusaha merumus kan undang-undang dasar yang baru.Rangkaian proses pembahasan di dalam Konstituante yang sudah bersidang hampir tiga tahun sangat alot,membuat situasi negara dalam keadaan mengkuatirkan. Menghadapi situasi negara yang mengkuatirkan tersebut, Bung Karno kembali menawarkan dan menjelaskan apa yang dimaksudkannya dengan demokrasi terpimpin. Kali ini Bung Karno menjelaskannya didepan Sidang Konstituante pada 22 April 1959 dalam pidato berjudul “Res publica, sekali lagi res publica” yang isinya antara lain sebagai berikut:
Namun begitu tetap saja Konstituante bersidang dengan agendanya, untuk menyusun dan menetapkan undang-undang dasar yang baru. Dari segi materi sebenarnya perumusan undang-undang dasar sudah mencapai hasil yang cukup banyak namun belum mencapai kesepakatan dalam hal dasar negara. Mengenai masalah dasar negara, terbelah ke dalam dua kelompok besar yaitu pihak yang menginginkan Pancasila sebagai dasar negara dan pihak yang menginginkan Islam sebagai dasar negara. Kekuatan kedua kelompok tersebut tidak berbeda jauh,sehingga tidak ada yang dapat memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Undang Undang Dasar Sementara Tahun 1950, Pasal 137. Mengamati kondisi ini pemerintah akhirnya mengambil alternatif terakhir yaitu mengajukan usul untuk kembali kepada UUD 1945. Usul tersebut diterima oleh semua pihak, kecuali pihak yang menginginkan Islam sebagai dasar negara meminta agar terlebih dahulu dilakukan perubahan terhadap Pembukaan dan Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 agar di sesuaikan dengan Piagam Jakarta. Usul tersebut kemudian ditolak oleh pihak yang menginginkan Pancasila sebagai dasar negara. Melihat situasi politik dan keamanan negara yang saat itu sudah sangat mengkuatirkan, pemerintah mengatasinya dengan jalan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya antara lain:
Setelah berlakunya kembali UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, mulailah era Demokrasi Terpimpin yang menurut Presiden Sukarno dimaksudkan sebagai upaya mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan nasional yang kuat. Sudah merupakan kesadaran bahwa didalam pengelolaan sistem politik, kestabilan politik merupakan hal yang sangat penting. Stabilitas politik ini yang tidak tercipta dalam masa sistem demokrasi parlementer terbukti kegagalan partai-partai politik dalam mewujudkan stabilitas politik dan pemerintahan, yang bahkan mengalami kemacetan poitik. Dengan berlakunya kembali UUD 1945 yang terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan, berarti Presiden Sukarno menjadi sangat berkuasa. Bukan saja oleh karena ketentuan yang ada di dalam pasal UUD dan Penjelasan, tetapi terutama oleh Aturan Peralihan Pasal IV. Menurut Aturan Peralihan Pasal IV, “Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.” Dalam era Demokrasi Terpimpin, kekuasaan Presiden semakin dominan, sebaliknya peranan partai-partai politik terus menurun. Oleh karena adanya penciutan jumlah partai sebagai akibat dari pemberontakan PRRI/Permesta dan pengurangan jumlah partai politik. Seiring dengan berkurangnya peran partai politik, dan peranan militer ikut meningkat, tidak hanya sebagai kekuatan hankam, tetapi juga peran sosial politik disisi lain pengaruh komunispun semakin berkembang. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi keamanan dalam negeri sebagai akibat dari pemberontakan PRRI/Permesta,gerombolan DI/TII, keadaan SOB, program pembebasan Irian Barat yang belanjut dengan konfontasi dengan Malaysia, kesemua hal ini berakibat semakin dominannya posisi Presiden Soekarno sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata seiring dengan semakin meningkatnya pengaruh dan peranan militer disegala bidang kehidupan. Kekuasaan Presiden yang demikian kuat telah menyebabkan terjadinya pemusatan kekuasaan sehingga mendorong terjadinya penyimpangan terhadap konstitusi. Dalam masa Demokrasi Terpimpin ini terdapat beberapa keputusan yang patut untuk dicermati,diantaranya adalah lahirnya TAP MPRS No III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Presiden Soekarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum dan menggantikanya dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong. Selanjutnya, fungsi konrol dari Dewan dieliminasi sedemikian rupa melalui pengangkatan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadi Menteri. Selain itu ditetapkan UU No 19/1964 yang memberikan wewenang kepada Presiden untuk turut campur tangan dalam kekuasaan yudikatif. Presiden juga memiliki kekuasaan wewenang di bidang legislatif dalam hal anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencapai mufakat melalui terbitnya Peraturan Tata Tertib Peraturan Presiden No 14/1960. Menurut Affan Gaffar, praktik politik Demokrasi Terpimpin setidaknya ditandai oleh beberapa hal penting diantaranya sebagai berikut:
Penyelenggaraan Demokrasi Pancasila (1966-1999) Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surutnya sejak berdirinya Negara Republik Indonesia, ternyata masalah pokok yang dihadapi ialah bagaimana, dalam masyarakat yang beranekaragam yang pola budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi di samping membina suatu kehidupan sosial dan politik yang demokratis. Demokrasi di Indonesia telah tumbuh melalui pergumulan yang panjang, sejak dari demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, kemudian masa demokrasi Pancasila. Beberapa perumusan mengenai demokrasi Pancasila yang dihasilkan dalam berbagai seminar diantaranya Seminar Angkatan Darat II, Agustus 1966 di Bandung antara lain sebagai berikut:
Kemudian adapula berbagai perumusan demokrasi Pancasila salah satu diantarannya adalah hasil Sidang MPR tahun 1983, yang termuat di dalam GBHN 1983. Menurut GBHN dalam Ketetapan MPR-RI No 11/MPR/1983, demokrasi Pancasila adalah demokrasi berdasarkan Pancasila yang meliputi bidang-bidang politik, sosial dan ekonomi, serta dalam penyelesaian masalah-masalah nasional berusaha sejauh mungkin menempuh jalan permusyawaratan untuk mencapai mufakat. Dalam Demokrasi Pancasila, sistem pengorganisasian negara dilakukan oleh rakyat sendiri atau dengan persetujuan rakyat, dimana keluhuran manusia sebagai mahluk Tuhan dalam bidang politik, ekonomi dan sosial-budaya dan pertahanan-keamanan diakui, ditata dan dijamin atas dasar gagasan kenegaraan Pancasila. Demokrasi Pancasila adalah berdasarkan faham kekeluargaan dan kegotong-royongan yang ditujukan kepada kesejahteraan rakyat, yang mengandung unsur-unsur berkesadaran religius dan menolak atheisme; kebenaran, kecintaan berlandaskan pada budi pekerti yang luhur, yang berkepribadian Indonesia; berkesinambungan, dalam arti menuju keseimbangan antara individu dan masyarakat, antara manusia dan Tuhannya lahir dan batin. Dalam Demokrasi Pancasila, kebebasan individu tidak bersifat mutlak, tetapi harus diselaraskan dengan tanggung jawab sosial. Di dalam kebebasan ini harus selalu melekat tanggung jawab terhadap kepentingan umum dan kepentingan bersama. Dalam demokrasi Pancasila, keuniversalan cita-cita demokrasi dipadukan dengan cita hidup bangsa Indonesia, yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan. Dengan demikian, dalam sistem dan mekanisme demokrasi Pancasila tidak akan terjadi ‘dominasi mayoritas’ maupun ‘tirani minoritas’, sebab konsep mayoritas dan minoritas tidak selaras dengan semangat kekeluargaan. Berhubungan dengan itu, Demokrasi Pancasila mengandung aspek-aspek sebagai berikut:
Orde Baru mewarisi suasana kehidupan demokrasi, ekonomi, sosial, budaya, politik, pertahanan dan keamanan yang berantakan/porak poranda. Kondisi ini menyebabkan perlunya tindakan penyelamatan kehidupan bernasyarakat, berbangsa dan bernegara. Stabilitas politik menjadi keharusan untuk menata kembali kehidupan bersama berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara terencana dan bertahap. Sehingga pada saat Jenderal Soeharto menerima kekuasaan pada 1966, ibarat menerima cek kosong (blank cheque) yang besarnya dapat diisi sekehendaknya. Ketika Soeharto dipilih oleh MPRS menjadi Presiden pada 1968, blanko cek tersebut dimanfaatkannya secara maksimal Format pemerintahan Soeharto dibentuk dengan memanfaatkan blanko cek tersebut secara maksimal antara tahun 1968 sampai tahun 1973. Menurut Affan Gaffar[20], langkah-langkah yang ditempuh untuk membentuk format politiknya antara lain:
Pada tahap awal pembangunan Orde Baru, banyak yang menilainya sebagai era baru kebebasan politik. Masa itu di sebut-sebut sebagai bulan madu antara negara dengan masyarakat. Namun keadaan itu tidak berlangsung lama, karena sistem politik Orde Baru mulai berubah. Di dalam memasuki arena pemilihan umum 1971, partai-parati politik mengalami penekanan-penekanan dengan berbagai cara. Setelah Golongan Karya organisasi politik yang dimotori pemerintah, memenangkan pemiihan umum secara mayoritas pada tahun1971, perilaku politik pemerintah mulai menunjuk kan regulasi politik yang ketat. Partai-partai politik mengalami proses pengebirian dan akhirnya dipaksa untuk melakukan fusi pada 1973 sehingga hanya ada 2 partai politik dan satu golongan politik yang diperkenankan ikut dalam pemilihan umum. Kemenangan Golkar yang didukung oleh militer memberikan wewenang yang kuat kepada pemerintah untuk melakukan bebrapa langkah politik seperti birokratisasi, depolitisasi,dan institutusionalisasi. Akibat kebijakan ini peranan pemerintah semakin kuat dan otonom, sedangkan masyarakat semakin terabaikan dari kekuasaan dan formulasi kebijakan. Melalui pengelolaan sistem politik yang hegemonik, secara sistematis pemerintahan Orde Baru berhasil memegang peranan penting dalam proses akumulasi modal serta penataan politik melalui dominasi peran militer, birokrat dan teknokrat sebagai pilar penyangga kekuasaan. Pemerintahan Orde baru secara perlahan juga berhasil mendorong proses transformasi kutural dan ideologis sehingga dapat meredam gejolak-gejolak konflik primordial, penyatuan ideologi dalam masyarakat, institusionalisasi politik sehingga semakin memperkuat rezim Orde Baru. Praktik politik Orde Baru ditandai oleh beberapa hal penting, diantaranya, yaitu:
Konfigurasi kehidupan demokrasi pada masa Orde Baru sebenarnya bersifat paradoks dan ambigu. Dalam tataran konseptual tampaknya Pemerintah Presiden Suharto menyelenggarakan tata pemerintahan yang demokratis. Akan tetapi bila dilihat secara empiris, dalam praktiknya sistem pemerintahan Orde Baru bersifat totaliter yang bertentangan dengan niai-nilai universal demokrasi. Sistem politik yang kuat dan bersifat militeristik telah mampu menopang pembangunan ekonomi dan nation building/state building selama lebih dari 30 tahun. Meskipun demikian model demokrasi Orde baru yang khas mengandung kekuatan sekaligus juga kelemahan dalam efektivitas pemerintahan. Diantara beberapa kekuatan model demokrasi Orde baru adalah : Pertama, konsensus di dalam atau antar lembaga politik relatif menjadi lebih mudah dicapai. Hal ini karena lembaga-lembaga tersebut diis oleh para pelaku politik yang cenderung memiliki keseragaman sikap. Lembaga eksekutif maupun legislatif cenderung tidak memiliki kendala berarti dalam merumuskan berbagai kebijakan politik. Kedua, keseragaman elit politik yang terintegrasi di dalam elemen-elemen negara terjadi dan dalam batas-batas tertentu mempertinggi efektivitas dan mempermudah kelancaran regulasi negara terhadap masyarakat sipil. Ketiga, kesinambungan dan konsistensi kebijakan politik relatif terjamin,mengingat adanya dominasi berkelanjutan dari satu kekuatan politik tertentu. Keempat, mendorong terciptanya pemerintahan yang stabil. Di sisi lain, model demokrasi Orde Baru juga mengandung sejumlah kelemahan. Pertama, model itu menyumbat akses menuju kekuasaan dan formulasi kebijakan politik bagi kekuatan-kekuatan politik populis dan egaliter. Kedua, model ini cenderung tidak akomodatif terhadap pluralitas masyarakat, sebab pluralitas cenderung disederhanakan dan direduksi kedalam keinginan politik tertentu. Ketiga, hakekat mendasar partai politik sebagai wadah artikulasi dan agregasi kepentingan politik masyarakat menjadi kabur, sehingga partai politik muncul dalam wajahnya yang semu. Keempat, model yang bertumpu pada satu kekuatan politik ini cenderung berbahaya karena potensial mengarah pada terbentuknya satu partai otoriter. Penyelenggaran Demokrasi menurut UUD Negara RI Tahun 1945 Orde Baru yang sejak semula berkehendak menciptakan suatu iklim demokrasi yang sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945, justru selama rezim tersebut (1967-1998) telah menampilkan suatu sistem pemerintahan yang otoriter, korup, dan tidak demokratis. Motif pemerintahan yang demikian tentunya tidak sesuai dengan cita-cita negara (staatside) demokrasi yang telah dituangkan oleh the founding fathers ke dalam konstitusi atau UUD 1945. Melihat kenyataan yang telah jauh menyimpang, pada tahun 1998 lahirlah pergulatan untuk reformasi yang dimotori mahasiswa sehingga rezim Orde Baru yang identik dengan penguasa Suharto dapat dipaksa mundur. Perhelatan tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan upaya pembenahan sistem ketatanegaraan Indonesia melalui amandemen UUD 1945 (1998-2002). Tujuan utama reformasi konstitusi yang dilakukan adalah untuk menciptakan suatu iklim pemerintahan yang stabil melalui sistem checks and balances dengan memberdayakan lembaga perwakilan rakyat.[21] Untuk lebih jelasnya tujuan dilakukannya perubahan UUD 1945, yang sesuai dengan tuntutan reformasi adalah:
Salah satu hal yang paling mendasar dalam perubahan UUD 1945 adalah rumusan mengenai kedaulatan rakyat yang dilaksanakan menurut undang-undang dasar dan konsep negara hukum yang dituangkan pada Pasal 1 ayat(1) dan ayat (2). Rumusan ini menegaskan bahwa Indonesia adakah negara demokrasi konstitusional yang sekaligus juga adalah negara hukum. Ketentuan tersebut merupakan penegasan mengenai demokrasi konstitusional yang akan diselengggarakan di Indonesia. Kedaulatan rakyat sebagai prinsip dasar yang dianut dalam UUD 1945 dilakukan sepenuhnya oleh lembaga perwakilan, demokrasi tidak langsung yaitu dengan sistem MPR. Menurut Pasal 1 (ayat) 2 UUD 1945 sebelum perubahan, ”Kedaulatan ada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Menurut konsep sistem MPR ini semua warga negara harus terwakili, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1), ”Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari anggota DPR, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang“. Dalam pelaksanaannya ketentuan tersebut memberi peluang kepada Presiden yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa pembentukan MPR, sehingga secara praktis dapat dikendalikan oleh Presiden. Dengan demikian prinsip kedaulatan rakyat melalui sistem MPR ini telah dijadikan alat oleh Presiden untuk menumpuk kekuasaan, sehingga yang berlaku sebetulnya bukanlah demokrasi tetapi oligarki yang totaliter. Salah satu gagasan awal perlunya perubahan UUD 1945 adalah untuk menghilangkan adanya penumpukan kekuasaan di salah satu lembaga negara, dengan menyelenggarakan prinsip “checks and balances” diantara lembaga-lembaga negara dengan memberdayakan lembaga perwakilan selain lembaga yudikatif dan lembaga negara lainnya. Kehendak perubahan UUD 1945, dilakukan untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang demokratis berlandaskan pada kedaulatan rakyat. Dengan demikian tidak dikenal lagi istilah lembaga tertinggi negara. Halmana dinyatakan dalam perubahan Pasal 1 ayat (2) sebagai berikut: ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Ketentuan ini menegaskan bahwa kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan rakyat,yang pelaksanaannya diatur menurut Undang Undang Dasar, ada yang langsung oleh rakyat ada yang melalui perwakilan. Dengan demikian pengisian berbagai jabatan di lembaga-lembaga yang memegang kekuasaan negara, dilakukan melalui pemiihan umum atau pemilihan. Sebagaimana telah diatur di dalam Pasal-Pasal UUD Negara RI Tahun 1945 Mengamati perjalanan kehidupan demokrasi di Indonesia harus dalam satu rangkaian kesinambungan proses yang saling kait mengait, tidak bisa sepotong sepotong. Kompleks dan rumit, terdiri atas jalinan-jalinan yang kemudian membentuk sistem yang sangat dipengaruhi oleh aktor-aktor utama, baik itu partai-partai politik, presiden,militer dan budaya serta faktor internasional ikut pula membentuk budaya politik Indonesia. Seperti telah disampaikan dibagian terdahulu mengenai penyelenggaraan Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila, maka bangsa Indonesia perlu mengkaji pengalaman-pengalaman tersebut, agar dapat menumbuhkembangkan demokrasi konstitusional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. DAFTAR PUSTAKA Affan Gaffar, Politik Indonesia, Jogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999. Arend Lijphart, Democracies, Patterns of Mayoritarian and Consensus Government in Twenty One Countries,Yale University Press, New Haven and London,1984. Bonger, Masalah-masalah Demokrasi, Jakarta:Yayasan Pembangunan Jakarta,1952. Friedrich Carl J. Constitutuional Gaovernment and Democracy: Theory and Practice in Europe and America. Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Copany,1967. E.C.S.Wade and G.Godfrey Philips, Constitutional Law: AN Outline of the Law and Practice of the Constitution. Including Central and Local Government, the Citizens and the State and the Administrative Law, 7th ed: London; Longmans, 1965. H.A. Prayitno dan Trubus Rahardiansyah, Pendidikan Kadeham, Jakarta, Universitas Trisakti, 2011. Hasan Zaini, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung,1985. Hendarmin Ranadireksa, Visi Politik Amandemen UUD 1945 Menuju Konstitusi Yang Berkedaulatan Rakyat, Pancur Siwuh, Jakarta, 2002. Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, New York, Oxford University Press, 1960. Iman Toto K..et.al, Bung Karno Wacana Konstitusi dan Demokrasi, Kenangan 100 Tahun Bung Karno, Grasindo, Jakarta, 2001. Lyman Tower Sargent, Contemporary Political Ideologies, The Dorsey Press, Chicago,1948. Masykuri Abdillah, Demokrasi dalam Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999 dan 2004. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2005. Moh. Kusnardi, Prof Dr. Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000. Mulyosudarmo, Suwoto, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Kontitusi, Asosiasi Pengajar HTN dan HAN, Jawa Timur dan In-Trans, Malang, 2003. Sekretariat Jenderal MPR-RI: 2003. Sekretariat DPR-GR, Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, Jakarta, 1971. Seminar Angkatan Darat ke II, Garis Garis Besar Kebijaksanaan dan Rencana Pelaksanaan Stabilisasi Politik, Bandung: Seskoad,1966. Sri Soemantri M., Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Departemen Hukum Tata Negara, UNAIR, 2008. Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983. Wiyono, Garis besar pembahasan dan komentar UUD 1945, Alumni, Bandung, 1976. [1] Makalah disampaikan di Johannes Leimena School of Public Leadership, Jakarta, 20 Agustus 2014. [2] Ketua Pusat Studi Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan FH Usakti (2011 – sekarang) [3] Bonger, Masalah-masalah Demokrasi, Jakarta:Yayasan Pembangunan Jakarta, 1952, hlm 23-33. [4] Moh Kusnardi, Prof. Dr. Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000, hlm 176. [5] Sri Soemantri M, Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Departemen Hukum Tata Negara, UNAIR, 2008. hlm 3-4. [6] Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm 55-56 [7] Lihat E.C.S.Wade and G.Godfrey Philips,Constitutional Law: AN Outline of the Law and Practice of the Constitution. Including Central and Local Government,the Citizens and the State and the Administrative Law, 7th ed: London; Longmans, 1965, hlm 50-51 [8]Carl J Friedrich,Constitutional Government and Democracy: Theory and Practice in Europe and America (5 th ed: Weltham, Mass: Blaisdlell Publishing Company, 1967), Bab VII [9] Miriam Budiardjo, Op.cit hlm 59 [10] Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, New York, Oxford Univesity Press, 1960, hlm 218-243. [11] Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm 205. [12] Masykuri Abdillah, Masykuri Abdillah, Demokrasi dalam Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999 dan 2004, hlm 73. [13] Lyman Tower Sargent, Contemporary Political Ideologies, The Dorsey Press, Chicago, 1948, hlm 32- 33. [14] Dalam Arend Lijphart, Democracies,Patterns of Mayoritarian and Consensus Government in Twenty One Countries,Yale University Press, New Haven and London,1984. [15] Hasan Zaini, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung,1985, hlm 322-323 [16] Iman Toto K., et.al, Bung Karno Wacana Konstitusi dan Demokrasi, Kenangan 100 Tahun Bung Karno, Grasindo, Jakarta , 2001, hlm76 [17] Sekretariat DPR-GR, Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, Jakarta, 1971, hlm 205-206. [18] Iman Toto K, Op.Cit, 101-103 [19]Seminar Angkatan Darat ke II,garis garis Besar Kebijaksanaan dan Rencana Pelaksanaan Stabilisasi Politik, Bandung: Seskoad, 1966, hlm 17-18 [20] Affan Gaffar, Politik Indonesia, Jogyakarta, Pustaka Pelajar,199, hlm 131-133 [21] Hendarmin Ranadireksa, Visi Politik Amandemen UUD 1945 Menuju Konstitusi Yang Berkedaulatan Rakyat, Pancur Siwuh, Jakarta, 2002, hlm.105-107. [22] Sekretariat Jenderal MPR-RI: 2003, hlm 15-16 |