Bagaimana cara mengubah situasi dan kondisi kekerasan menjadi lebih baik brainly

tirto.id - Kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas di Indonesia tidak juga kunjung berakhir. Tidak hanya terus berulang, kasus-kasus ini juga jarang terselesaikan dengan baik. Terakhir, kasus kekerasan ini terjadi di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (8/8/2020).

Tindak kekerasan dan penyerangan di Solo tersebut dilakukan oleh sekelompok orang pada upacara Midodareni yang diselenggarakan di kediaman almarhum Segaf Al-Jufri, Jl. Cempaka No. 81, Kp. Mertodranan, Pasar Kliwon, Kota Surakarta, pada Sabtu, (8/8/2020).

Sekelompok orang tersebut melakukan penyerangan, merusak sejumlah mobil dan memukul beberapa anggota keluarga yang melakukan upacara Midodareni, sembari meneriakan bahwa Syiah bukan Islam dan darahnya halal. Sedikit catatan, Midodareni merupakan tradisi yang banyak dilakukan oleh masyarakat Jawa untuk mempersiapkan hari pernikahan.

Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian Alissa Wahid mengecam tindak kekerasan tersebut. Menurutnya, insiden tersebut menambah catatan buruk kasus intoleransi di Indonesia. Padahal, Presiden RI Joko Widodo pernah menyatakan bahwa tidak ada tempat bagi tindak intoleransi di Indonesia.

Kejadian tersebut memperpanjang daftar tindak diskriminasi dan intoleransi terhadap kelompok minoritas khususnya dalam kerukunan beragama. Pada 2018 lalu, Komnas HAM bersama Litbang Kompas meluncurkan survei berjudul "Survei Penilaian Masyarakat Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di 34 Provinsi".

Hasil survei tersebut memperlihatkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap isu diskriminasi ras dan etnis masih perlu ditingkatkan. Misalnya, sebanyak 81,9 persen responden mengatakan lebih nyaman hidup dalam keturunan keluarga yang sama.

Kemudian, sebanyak 82,7 persen responden mengatakan mereka lebih nyaman hidup dalam lingkungan ras yang sama. Sebanyak 83,1 persen responden juga mengatakan lebih nyaman hidup dengan kelompok etnis yang sama.

Komnas HAM mencatat 101 aduan terkait diskriminasi ras dan etnik sepanjang 2011-2018 dengan aduan tertinggi pada 2016. Jumlah pengaduan terbanyak berasal dari DKI Jakarta dengan 34 aduan.

Baca juga: GUSDURian Desak Polisi Tindak Pelaku Penyerangan Syiah di Solo

Fluktuatif

Kementerian Agama setiap tahun merilis indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB). Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, KUB merupakan keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Indeks tersebut digambarkan dengan angka 0-100. Komponen penilaian yang disorot dalam penilaian ini yaitu kesetaraan, toleransi, dan kerja sama antar umat beragama. Skor indeks KUB nasional mengalami fluktuasi setiap tahunnya, mulai dari 75,35 pada 2015 hingga menjadi 73,83 pada 2019. Angka rerata nasional sempat turun pada 2017-2018 hingga menjadi 70,90 pada 2018.

Saat mengumumkan angka indeks KUB 2018, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Abdurrahman Mas’ud menyebut banyak peristiwa yang terjadi pada periode 2017-2018 yang menguji kerukunan berbangsa dan bernegara.

"Kental terasa di benak kita, isu-isu keagamaan bersinggungan dengan isu-isu politik. Atau, ada juga yang menganggap bahwa ras dan agama telah dibawa menjadi isu politik atau politisasi agama menjelang perhelatan Pileg dan Pilpres serentak pada 17 April 2019" ujar Mas’ud, Senin (25/3/2019).

Mas’ud mencontohkan peristiwa keagamaan yang bersinggungan dengan politik pada periode 2016-2017 yaitu kasus mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), situasi menjelang Pilkada DKI 2017, serta residu politik pada 2018-2019 menjelang Pemilu serentak.

Baca juga: Survei Komnas HAM: Diskriminasi Etnis & Ras Masih Terus Ditolerir

Pada 2019, Kementerian Agama mencatat 18 provinsi mendapatkan skor di bawah rerata nasional 73,83. Tiga provinsi dengan skor terendah yaitu: Jawa Barat 68,5; Sumatera Barat 64,4; dan Aceh 60,2.

Selain terhadap perbedaan agama, tingkat toleransi atau penerimaan terhadap isu lain dapat dilihat dari Social Progress Index yang dirilis oleh Social Progress Imperative. Indeks tersebut dirancang untuk melihat kualitas kemajuan sosial suatu negara melalui tiga variabel penilaian yaitu basic human needs, foundations of wellbeing, dan opportunity dengan skor 0-100.

Variabel opportunity dapat menjadi sorotan ketika melihat tingkat toleransi di Indonesia. Dalam variabel tersebut, terdapat komponen penilaian inclusiveness. Komponen inclusiveness merupakan penilaian tingkat penerimaan masyarakat terhadap seluruh golongan untuk dapat menjadi anggota masyarakat yang berkontribusi tanpa ada pengecualian.

Jika dirinci, komponen inclusiveness terdiri dari beberapa sub komponen penilaian yaitu penerimaan terhadap gay dan lesbian, diskriminasi dan kekerasan terhadap minoritas, kesetaraan kekuatan politik berdasarkan gender, kesetaraan kekuatan politik berdasarkan posisi sosial ekonomi, dan kesetaraan kekuatan politik berdasarkan kelompok sosial.

Pada periode 2015-2019, skor inclusiveness Indonesia pada awalnya menunjukan tren peningkatan pada tiga tahun pertama, kemudian turun dalam dua tahun terakhir.

Pada 2015, skor inclusiveness Indonesia sebesar 38,68 kemudian naik menjadi 40,81 pada 2016 dan 42,03 pada 2017. Skor kemudian turun menjadi 40,77 pada 2018, dan kembali turun pada 2019 menjadi 39,96. Skor pada 2019 tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat 99 dari 149 negara.

Periode 2018-2019 memang merupakan periode yang banyak diisi oleh agenda politik, utamanya menjelang Pemilu 2019. Tidak jarang, sejumlah agenda politik tersebut bersinggungan dengan pemanfaatan isu identitas termasuk ras, agama, dan kelompok minoritas untuk kepentingan politik.

Dalam lima tahun terakhir, tindak intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas memang seolah mendapatkan traksi pada pagelaran politik. Salah satu contoh yang paling kentara boleh jadi tampak pada kasus penistaan agama yang melibatkan calon gubernur DKI Jakarta Basuk Tjahaja Purnama atau Ahok di 2016.

Lebih lanjut, fenomena peningkatan tindak intoleransi dan diskriminasi ini memiliki dampak tidak langsung terhadap situasi demokratisasi di Indonesia. Laporan indeks demokrasi oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan, situasi demokratisasi Indonesia sedikit 'terganggu' dalam lima tahun terakhir. Catatan singkat, EIU menyusun indeks tersebut melalui lima variabel penilaian dengan rentang skor 0-10 terhadap 165 negara.

Berdasarkan laporan EIU, indeks demokrasi Indonesia tercatat mengalami tren menurun sejak 2016, meskipun mengalami kenaikan pada 2019. Indeks demokrasi Indonesia turun menjadi 6,97 dari tahun sebelumnya 7,03. Skor tersebut kembali turun menjadi 6,39 pada 2017 dan stagnan pada tahun berikutnya. Kenaikan skor terjadi pada 2019 menjadi 6,48.

Meskipun Pemilu serentak 2019 telah usai, kasus terkait intoleransi dan diskriminasi yang bersinggungan dengan identitas belum menunjukkan tanda-tanda akan melandai. Terlebih, hingga tulisan ini dimuat, Pemilihan Kepala Daerah (Pikada) serentak di beberapa daerah masih direncanakan akan tetap diselenggarakan di 2020 di tengah situasi pandemi.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan menarik lainnya Hanif Gusman
(tirto.id - hnf/ign)


Penulis: Hanif Gusman
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara

Bagaimana cara mengubah situasi dan kondisi kekerasan menjadi lebih baik brainly
Bagaimana cara mengubah situasi dan kondisi kekerasan menjadi lebih baik brainly

Sumber gambar, SHERA RINDRA ONE BILLION RISING

Keterangan gambar,

Shera Rindra kini aktif melakukan pendampingan terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan.

#TrenSosial: Bertepatan dengan hari antikekerasan terhadap perempuan, Rabu (25/11), BBC Indonesia melalui Facebook mengadakan tanya jawab bersama Shera Rindra, seorang penyintas yang pernah mengalami kekerasan seksual di masa muda.

Bagaimana mengakhiri kekerasan terhadap perempuan? Apa tantangannya? Dan, ketika perempuan dilecehkan, mengapa rok mininya yang disalahkan?

Tanya jawab yang berlangsung hari itu tampaknya tidak hanya menjadi media diskusi tetapi juga menunjukan tantangan besar yang dialami para korban, yaitu kuatnya budaya menyalahkan korban.

Shera mendapat kekerasan verbal dari pengguna media sosial. Beberapa di antara mereka menggunakan kata-kata kasar yang memojokan perempuan - mengatakan bahwa perempuanlah yang seharusnya menjaga pakaian, dan wajar saja perkosaan terjadi karena perempuan menggoda birahi.

Sebagian orang secara frontal menyerang Shera. Alfredo Edo dari akun Facebooknya mengatakan Shera pantas mendapat apa yang dialami dan tidak seharusnya mengeluh, tanpa mengetahui latar belakang kasusnya.

"Kalau enggak mau diperkosa bla bla bla, ya jangan mancing orang buat memperkosa," kata Andhika Putra Dwijayanto.

Melihat komentar-komentar itu, Shera yang pernah dilecehkan secara seksual waktu kecil dan diperkosa pada usia 18 tahun, mengatakan dia hanya bisa "tertawa kepada orang-orang yang suka menghakimi."

"Saya tidak terkejut, sudah menyangka dan sudah menyiapkan mental," katanya. "Untuk para korban kekerasan, siapapun dirimu, kamu tidak salah, kamu tidak sendirian, dan kamu memiliki kekuatan. Banyak orang yang peduli dan sayang sama kamu. Saya yakin kamu bisa melewati ini semua."

Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, kekerasan seksual masih menjadi momok paling mengerikan pada daftar kasus kekerasan terhadap perempuan.

Pada 2014 lalu, dari 3.860 kasus kekerasan pada perempuan di ranah komunitas, sebanyak 2.183 kasus atau 56%-nya adalah kasus kekerasan seksual berupa perkosaan, pencabulan, pelecehan seksual dan paksaan berhubungan badan.

Berikut rangkuman tanya-jawab bersama Shera Rindra:

Bagaimana cara mengubah situasi dan kondisi kekerasan menjadi lebih baik brainly
Bagaimana cara mengubah situasi dan kondisi kekerasan menjadi lebih baik brainly

Sumber gambar, Getty

Keterangan gambar,

Pada 2014 lalu, dari 3.860 kasus kekerasan pada perempuan di ranah komunitas, sebanyak 56%-nya adalah kasus kekerasan seksual berupa perkosaan, pencabulan, pelecehan seksual dan paksaan berhubungan badan.

Lewati Podcast dan lanjutkan membaca

Podcast

Bagaimana cara mengubah situasi dan kondisi kekerasan menjadi lebih baik brainly

Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Sisca Dellia: Bagaimana keadaan Shera saat ini? Apa Shera bisa menerima masa lalunya yang kelam? Dan adakah tips atau pesan dari Sheera untuk semua wanita agar bisa mengantisipasi kejadian yang ia alami?

Shera Rindra: Keadaan saya sekarang baik-baik saja. Iya, saya bisa menerima perkosaan yang terjadi pada saya di masa lalu. Menerimanya adalah bagian dari proses pemulihan dan penguatan diri karena apapun bentuk kekerasan yang dialami, tidak bisa dihapus dari memori. Tipsnya adalah kita semua harus mempelajari apa saja bentuk kekerasan seksual sehingga kita tahu apa yang dialami oleh diri ataupun orang terdekat kita, dan kemudian tahu apa yang harus dilakukan jika mengalaminya. Lalu, peduli juga sadar bahwa isu ini bukannya hanya problem perempuan tetapi isu kekerasan seksual adalah masalah kita bersama (termasuk laki-laki). Semakin banyak orang yang peduli dan sadar untuk tidak melakukan kekerasan, maka angka kekerasan terhadap perempuan dapat berkurang.

Diana Anne: Apa yang harus dilakukan jika ada yang bernasib sama dengan Shera? Apakah ada organisasi yang dapat menampung kasus-kasus seperti Shera ini?

Shera Rindra: Segera cari bantuan dari orang yang dapat dipercaya, lalu cari bantuan ke pendamping sosial (individu/lembaga), dan pendamping hukum, serta kumpulkan bukti-bukti, dan laporkan pada polisi. Ya, ada beberapa organisasi non-profit yang memberikan pelayanan pada korban kekerasan. Misalnya di Jakarta ada Yayasan Pulih untuk konsultasi dan pemulihan diri, lalu ada LBH Apik dan LBH Jakarta yang bisa memberikan pendampingan hukum. Lalu ada juga Komnas Perempuan dan P2TP2A.

Bagaimana cara mengubah situasi dan kondisi kekerasan menjadi lebih baik brainly
Bagaimana cara mengubah situasi dan kondisi kekerasan menjadi lebih baik brainly

Sumber gambar, SHERA RINDRA

Keterangan gambar,

"Menerima adalah bagian dari proses pemulihan," kata Shera.

Ferdin Masel: Apakah Anda sudah bisa mengenali ciri-ciri calon-calon pemerkosa atau tempat-tempat yang harus dijauhi wanita supaya tidak diperkosa?

Shera Rindra: Sayangnya kita tidak bisa mengenali ciri-ciri pemerkosa, karena mereka berpenampilan seperti orang pada umumnya. Dan mayoritas pelaku adalah orang yang berada dalam lingkaran terdekat korban. Untuk tempat juga tidak ada ciri khusus, mayoritas perkosaan terjadi di dalam rumah sendiri dan tempat-tempat yang dianggap 'aman'. Kekerasan seksual bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.

Bagaimana cara mengubah situasi dan kondisi kekerasan menjadi lebih baik brainly
Bagaimana cara mengubah situasi dan kondisi kekerasan menjadi lebih baik brainly

Sumber gambar, p

Keterangan gambar,

Dewan Perwakilan Rakyat telah menetapkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai salah satu RUU usulan DPR, dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2016.

Bary: Kenapa menggunakan pakaian vulgar dan menggoda hawa nafsu kaum lelaki digunakan di tempat umum? Jaga aqidah tentang berpakaian dapat meminimalisir kasus pelecehan apakah Anda pernah mendengar berita wanita bercadar diperkosa? Tentunya tidak kan, kalaupun ada cuman beberapa kasus.

Shera Rindra: Mungkin baiknya lebih banyak cari tahu terlebih dahulu sebelum berasumsi dan mengambil kesimpulan. Banyak sekali perempuan yang berhijab hingga bercadar mengalami kekerasan seksual. Berapapun jumlah kasusnya tetap saja penting dan banyak. Bukan angka yang jadi patokan.

Banyak sekali kasus yang ditutup-tutupi, baik dari korbannya sendiri, keluarganya, hingga negara. Bukan pakaian yang menjadi masalah. Tetapi cara pandang laki-laki (mayoritas) yang melihat perempuan sebagai objek seksual. Tidak semua perempuan berani bersuara dan melaporkan kasusnya, termasuk perempuan yang berhijab dan bercadar, karena orang-orang seperti Andalah yang lebih senang menghakimi korban daripada pelaku, sehingga membuat perempuan lebih memilih bungkam.

Padahal pelaku memiliki pilihan untuk tidak melakukan kekerasan kepada siapapun. Dan banyak loh, laki-laki yang anti kekerasan terhadap perempuan karena itu mereka memilih untuk tidak melakukan kekerasan serta sadar bahwa kekerasan dalam bentuk apapun adalah tindak kejahatan. Jadi apapun alasannya, tidaklah perlu membenarkan kejahatan yang terjadi pada siapapun. Karena siapa saja bisa menjadi korban, siapa saja bisa menjadi pelaku.

Tentunya pernah dengar dong, ya... Kasus-kasus perkosaan yang terjadi pada bayi dan nenek-nenek? Pernah juga dong ya dengar kasus perkosaan insest yang dilakukan oleh ayah kandung, kakek, paman, saudara kandung dll. Apa ini karena pakaian? Ayo, sama-sama mengubah pola pikir dan berpihak pada korban bukan pada pelaku. Jika pola pikir anda tetap seperti itu, tidaklah jauh berbeda dengan cara berpikir pelaku yang membenarkan tindak kejahatannya.

Jetak Angelus: Bagiku itu terjadi bukan karena masalah rok mini, tetapi 'isinya' dan isi dalam hati juga pikiran pelaku. Apa langkah Anda untuk memiminimalkan aksi calon pelaku untuk tidak tertarik melakukannya?

Shera Rindra: Maaf, maksudnya bagaimana dengan 'isinya'? Bahwa memiliki vagina dan payudara itu salah? Disinilah letak masalahnya, ketika tubuh perempuan dijadikan objek seksual, maka tubuhnya hanya dipandang untuk kebutuhan seksual saja dan seakan menjadi hak bagi pelaku untuk melakukan kekerasan pada tubuh perempuan. Soal meminimalisir tindakan pelaku, hanya bisa dilakukan oleh pelaku itu sendiri. Pelaku memiliki pilihan untuk tidak melakukan kekerasan dan menghargai calon korbannya sebagai manusia yang setara dengan dirinya, serta tidak menjadikan calon korban sebagai objek seksual. Korban bisa saja mengatakan TIDAK dan menyiapkan pembelaan diri, entah membekali diri dengan senjata atau ilmu bela diri, tapi bukan ini solusinya.

Lim Yong Kien: Kalau enggak ada hukuman yang bisa membuat pemerkosa jadi takut, perkosaan enggak akan pernah habis. Pertanyaannya kapan ada hukuman yang sangat berat untuk kasus perkosaan?

Shera Rindra: Persoalan hukuman yang berat bagi para pelaku memang masih menjadi problem hingga sekarang. Hal ini terjadi karena instrumen-instrumen hukum dan aparat hukum tidak memakai perspektif korban dan Hak Asasi Manusia. Maka dari itu, perlu ada instrumen yang berpihak pada keadilan korban dan pendidikan bagi aparat hukum serta pemerintahan. Sayangnya, RUU Kekerasan Seksual masih tersendat di DPR RI. Ini butuh dukungan dan dorongan banyak orang agar RUU ini bisa direalisasikan.

Helfinsi Feens: Saya mengerti perasaanmu Shera Rindra. Saya ingat ketika sekolah dulu tanpa punya pilihan lain selain transportasi umum dan pakaian seragam saya longgar dan rok di bawah lutut dan beberapa kali mendapat pelecehan di transportasi umum dan sampai sekarang masih ada kemarahan di dalam dada saya karena saya jadi saya bisa membayangkan bagaimana perasaan yang mengalami pelecehan lebih parah dalam bentuk pemerkosaan.

Shera Rindra: Terima kasih banyak atas dukungannya dan empatinya, serta kesadarannya bahwa masalahnya bukanlah pada pakaian. Salut sama kamu! Terima kasih juga sudah berbagi pengalamanmu. Wajar kamu merasa marah, saya paham perasaanmu. Karena sekecil apapun tindakan kekerasan seksual yang kita terima itu sudah melanggar otoritas atas tubuh kita. Kalau boleh saran, lakukan konsultasi untuk memulihkan kemarahan dan traumamu, agar kedepannya kamu bisa lebih tenang dalam menjalani aktivitas dan hidupmu sehari-hari.

Romy Meow Meow: Bagaimana Anda bisa melewati masa-masa sulit itu? Yang pasti sebagai korban, lebih banyak berujung pada kematian, mati dibunuh si pemerkosa atau sebaliknya mati bunuh diri karena tekanan dan rasa malu mendalam ditambah lingkungan yang lebih menyalahkan perempuan sebagai korban.

Shera Rindra: Saya bisa melewati masa-masa sulit itu dengan melalui proses yang sangat panjang seperti proses pemulihan, penerimaan, dan penguatan diri. Dan saya juga mendapat banyak dukungan dari keluarga serta para sahabat. Yang tidak mendukung dan menghakimi, saya coba ambil sisi positifnya saja dan tidak menggubrisnya. Dalam proses pemulihan itu tentunya penuh dengan tekanan, tidak jarang saya ada keinginan untuk melakukan bunuh diri tapi saya coba untuk selalu ingat, bahwa jika saya bunuh diri maka semua yang sudah saya lalui dan capai dalam hidup akan sia-sia dan merugikan banyak pihak. Selain itu memberikan penguatan pada diri bahwa saya bisa merebut kembali otoritas tubuh serta hidup saya agar tidak berada dalam bayangan trauma, pelaku dan tindakan yang dilakukan olehnya.

Bagaimana cara mengubah situasi dan kondisi kekerasan menjadi lebih baik brainly
Bagaimana cara mengubah situasi dan kondisi kekerasan menjadi lebih baik brainly

Sumber gambar, Getty

Keterangan gambar,

Kekerasan terhadap perempuan menjadi isu dunia. Ini aksi protes menentang kekerasan di India.

Andi Gunawan: Ada sarankah jika kita mengetahui kerabat dekat ternyata seorang pelaku kekerasan? Dan apakah kita berhak melaporkan kasusnya jika korban menolaknya?

Shera Rindra: Yang perlu dilakukan jika ada kerabat dekat yang ternyata seorang pelaku kekerasan adalah berpihak pada kebenaran, coba pelan-pelan ajak bicara apa masalahnya dia dan beritahu bahwa dia membutuhkan bantuan serta harus bertanggungjawab atas perbuatannya. Arahkan ia untuk melakukan konsultasi/konseling pelaku kekerasan. Tapi hal tersebut harus ada kesadaran dan komitmen dari si pelaku. Tidak bisa dipaksakan. Karena perubahan perilaku tidak bisa dicapai jika tidak ada kedua hal tersebut.

Terkait melaporkan kasus tetapi korban tidak menghendakinya, kita harus kembali pada prinsip apa yang terbaik bagi korban. Apa pilihan yang dia buat. Apakah melaporkan kasus tersebut akan baik bagi korban? Bagaimana jika secara mental si korban tidak siap? Ini bisa menimbulkan bentuk trauma tambahan bagi si korban. Yang bisa (dan harus) dilakukan adalah memberikan penguatan dan dukungan pada korban untuk mengambil keputusan, apakah nanti dia melaporkan atau tidak keputusan itu ada pada korban.

Agripta Tambunan: Bagaimana cara Anda menghadapi penghakiman orang-orang di sekitar Anda? Saya saja ngeri melihat komentar-komentar dalam postingan ini.

Shera Rindra: Saya coba untuk tetap bersabar dan melihat dari 'kacamata' mereka. Serta melihat bahwa ini adalah realita yang masih ada dalam masyarakat. Masih banyak orang yang lebih senang menghakimi korban daripada pelaku. Lupa pada masalah sebenarnya yang harus diselesaikan. Yang berarti PR kita masing panjang dalam melakukan penyadaran dan pendidikan tentang anti-kekerasan terhadap perempuan. Dan semoga melalui sesi tanya jawab ini, semakin banyak yang terbuka matanya dan orang-orang seperti kamu juga jumlahnya semakin besar yang berani bersuara mendukung penghentian kekerasan terhadap perempuan dan anak.