Batasan aurat perempuan di depan laki-laki yang bukan mahramnya adalah

Alhamdulillah.

Pertama:

Aurat wanita di depan mahramnya seperti ayah, saudara lelaki dan anak saudara laki-laki, yaitu seluruh badannya kecuali yang seringkali nampak seperti wajah, rambut, leher, dua lengan dan dua kaki. Allah Ta’ala berfirman:

وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ (سورة النور: 31)

“Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam.” (QS. An-Nur: 31)

Maka Allah memperbolehkan bagi wanita memperlihatkan perhiasannya di depan suami dan mahramnya. Maksud perhiasan adalah tempat-tempatnya, seperti cincin tempatnya dijemari, gelang tempatnya di pergelangan, anting-anting tempatnya di kuping. Dan kalung tempatnya di leher dan dada dan gelang kaki tempatnya di pergelangan kaki.

Abu Bakar Al-Jashas rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan, “Yang tampak kandungan ayat ini adalah memperbolehkan menampakkan perhiasan untuk suami dan orang yang disebutkan bersamanya dari para bapak dan lainnya. Dan diketahui bahwa maksud tempat perhiasan adalah wajah, tangan dan lengan. Kandungan (dalam ayat) itu juga dibolehkan melihat apa yang telah disebutkan dalam ayat ke tempat-tempat ini. Yaitu tempat perhiasan dalam. Karena di awal ayat dikhususkan dibolehkan hiasan luar untuk orang non mahram dan dibolehkan bagi suami dan mahram melihat perhiasan dalam. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Zubair (yang dimaksud adalah seperti) anting-anting, kalung, gelang dan gelang kaki.

Hal itu disamakan antara suami dan orang yang disebutkan bersamanya, sehingga kandungannya berlaku umum, yaitu dibolehkan melihat ke tempat perhiasan untuk mereka yang disebutkan sebagaimana mengandung makna dibolehkan bagi suami.”

Al-Baghawi rahimahullah berkata, “Firman Allah Ta’ala (( ولا يبدين زينتهن   maksudnya jangan nampakkan perhiasan kepada selain mahram. Maksudnya adalah perhiasan tersembunyi, karena perhiasan itu ada dua; yang tersembunyi dan nampak. Yang tersembunyi seperti gelang kaki, pacar di kaki, gelang di pergelangan tangan, dan anting serta kalung. Maka tidak boleh ditampakkan non mahram tidak dibolehkan melihatnya. Maksud dari hiasan adalah tempat hiasan.”

Dalam ‘Kasyaful Qana’, (5/11) dikatakan, “Laki-laki juga dibolehkan melihat wajah, leher, tangan, kaki, kepala dan tumit wanita yang menjadi mahramnya.

Al-Qadi mengomentari berikut ini, “Dibolehkan apa yang biasanya tampak seperti kepala, dua tangan sampai lengan.” Para mahram itu berbeda dari sisi kedekatan dan aman fitnahnya. Oleh karena itu wanita menampakkan kepada ayahnya tidak seperti menampakkan kepada anak suaminya (anak tiri). Qurtubi rahimahullah mengatakan, “Ketika Allah Ta’ala menyebutkan suami, dimulai dari mereka, kemudian diikuti dengan mahram dan disamakan diantara mereka dalam menampakkan perhiasan. Akan tetapi berbeda tingkatannya sesuai dengan apa yang ada pada jiwa seseorang. Tidak diragukan bahwa menampakkan bagi wanita kepada ayah dan saudara lelaki itu lebih terjaga dibandingkan dengan anak suaminya. Dan berbeda tingkatan apa yang dinampakkan bagi mereka. Maka dinampakkan bagi ayah apa yang tidak boleh dinampakkan untuk anak suami. Selesai

Kedua:

Yang telah ditetapkan menurut ulama fikih bahwa aurat wanita dengan wanita lain adalah antara pusar dan lutut. Baik wanita itu ibu, saudari perempuan atau wanita asing. Maka tidak dibolehkan bagi wanita melihat ke saudari perempuan antara pusar dan lutut. Kecuali dalam kondisi terpaksa. Atau keperluan yang sangat seperti pengobatan dan semisalnya.

Hal ini tidak berarti bahwa wanita duduk di antara kalangan wanita terbuka semua badannya kecuali antara pusar dan lutut. Hal ini tidak akan dilakukan kecuali wanita jalanan atau fasik tidak mengenal aturan. Maka tidak layak untuk ditirunya.

Ungkapan ulama fikih ‘Aurat antara pusar dan lutut’ maksud perkataan mereka bukan bahwa ini adalah pakaian wanita yang biasa dipakai. Dan nampak diantara saudari wanita dan teman-temannya. Karena hal ini tidak diterima akal. Dan fitrahpun tidak menganjurkannya. Bahkan pakaiannya bersama saudari perempuan dan wanita sejenisnya hendaknya tertutup dan menyeluruh. Yang menunjukkan rasa malu dan keanggunannya. Tidak diperlihatkan darinya kecuali yang nampak ketika kerja dan membantu. Seperti kepala, leher, dua lengan dan dua kaki. Seperti yang telah kami sebutkan dalam masalah mahram. Lajnah Daimah Lil Ifta’ ada fatwa yang menjelaskan apa yang dibolehkan bagi wanita membukanya di depan mahram dan di depan para wanita. Telah kami nukil dalam jawaban soal no. 34745.

Kami memohon kepada Allah untuk kami dan anda taufik dan ketetapan.

Wallahu a’lam.

Aurat adalah kemaluan dan semua hal yang dapat menimbulkan rasa malu apabila terlihat. Aurat merupakan perhiasan yang wajib ditutupi dari orang-orang yang tidak berhak untuk melihatnya dan atau menikmatinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan kepada kita bahwa,

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ، وَبِأَنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِـهَا اسْتَشْـرَ فَهَا الشَّيْـطَانُ

“Wanita itu adalah aurat, jika ia keluar rumah, maka syaithan akan menghiasinya.” (Hadits shahih. Riwayat Tirmidzi no. 1173, Ibnu Khuzaimah III/95 dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir no. 10115, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma)

Imam al-Mubarakfuri rahimahullah berkata ketika mengomentari hadits di atas, “Dijadikan diri wanita sebagai aurat karena jika wanita muncul maka ia akan merasa malu, sebagaimana ia merasa malu melihat aurat manakala terbuka. Sehingga dikatakan bahwa maknanya wanita itu memiliki aurat.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi III/237 dan Syarah al-Arba’un al-Uswah no. 32)

Karena itu, kita sebagai kaum wanita haruslah menaruh perhatian yang besar terhadap masalah ini. Hanya saja, Allah ta’ala telah memberikan pengecualian mengenai larangan menampakkan aurat kepada beberapa orang yang menjadi mahram kita. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

وَلاَ يُبْـدِيْنَ زِيْنَتَـهُـنَّ إِلاَّ لِبُعُو لَتِهِنَّ أَو ءَابَآ ئِهِنَّ أَو ءَابَآءِ بُعُو لَتِهِنَّ أَو أَبْنَآئِهِنَّ أَو أَبْنَآءِ بُعُو لَتِهِنَّ أَو إِخْوَنِهِنَّ أَو بَنِى إِخْوِنِهِنَّ أَو بَنِى أَخَوَتِهِنَّ أَو نِسَآئِهِنَّ أَو مَا مَلَكَتْ أَيْمَنُهُنَّ أَوِ التَّبِعِيْنَ غَيْرِ أُولِى الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَو الطِّـفْـلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلَى عَوْرَتِ النِّسَآءِ ۖ

“… dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak memiliki keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…” (Qs. An-Nuur: 31)

Kita telah memahami maksud larangan menampakkan perhiasan wanita di depan yang bukan mahramnya, lalu bagaimana maksud dan aplikasi pengecualian ini terhadap orang-orang yang menjadi mahram kita? Adakah batasan aurat yang boleh ditampakkan di depan mahram?

Batasan Aurat (Perhiasan) Wanita yang Boleh Tampak di Depan Mahram

Dari artikel sebelumnya, (Lihatlah Siapa Mahrammu 1, Lihatlah Siapa Mahrammu 2) kita telah mengetahui siapa saja yang termasuk mahram, dan siapa yang tidak termasuk mahram. Dalam surat an-Nuur ayat 31, Allah ta’ala membolehkan mahram melihat bagian-bagian dari perhiasan seorang wanita yang tidak boleh ditampakkan pada laki-laki yang bukan mahram. Hal ini dikarenakan keadaan darurat yang mendorong terjadinya percampur-bauran di antara mereka mengingat adanya hubungan kekerabatan dan amannya mereka (para mahram) dari fitnah. [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/157)]

Secara garis besar, ada dua pendapat ulama yang masyhur (populer) tentang batasan yang boleh dilihat oleh mahram, yaitu:

Pendapat pertama: Mahram boleh melihat seluruh tubuh wanita, kecuali bagian di antara pusar dan lutut, dan inilah pendapat kebanyakan ulama. [Lihat al-Mabsuuth (X/149), al-Majmuu’ Fataawaa Ibn Taimiyah (XVI/140), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/158)]

Pendapat tersebut didasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَإِذَا أَنْكَحَ أَحَدُكُمْ عَبْدَهُ أَو أَجِيرَهُ فَلاَ يَنْظُرَنَّ إِلَى شَيْءٍ مِنْ عَورَتِهِ، فَإِنَّ مَا أَسْفَلَ مِنْ سُرَّتِهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ مِنْ عَوْرَتِهِ .

“Jika salah seorang di antara kalian menikahkan hamba sahaya atau pembantunya, maka jangan sekali-kali ia melihat sedikit pun dari auratnya. Karena apa yang ada di bawah pusar hingga lutut adalah aurat.” [Hadits hasan. Riwayat Ahmad (II/187) dan Abu Dawud (no. 495)]

Meskipun jika dilihat dari matan (redaksi) nya, hadits tersebut ditujukan kepada kaum lelaki, namun hadits tersebut berlaku juga bagi kaum wanita karena kaum wanita adalah saudara sekandung/belahan bagi kaum lelaki. Wanita belahan laki-laki maksudnya adalah masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dalam syariat, termasuk diantaranya adalah batasan aurat, menurut pendapat dia atas.

Diriwayatkan pula dari Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu,

ذَخَلْتُ أَنَا وَأَخُو عَائِشَةَ عَلَى عَائِشَةَ فَسَأَلَهَا أَخُوهَا عَنْ غُسْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَدَعَتْ بِإِنَاءٍ نَحْوًا مِنْ صَاعٍ فَاغْتَسَلَتْ وَأَفَاضَتْ عَلَى رَأْ سِهَا وَبَيْنَنَا وَبَيْنَهَا حِجَابٌ .

“Aku dan saudara ‘Aisyah datang kepada ‘Aisyah, lalu saudaranya itu bertanya kepadanya tentang mandi yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas ‘Aisyah meminta wadah yang berisi satu sha’ (air), kemudian ia mandi dan mengucurkan air di atas kepalanya. Sementara antara kami dan beliau ada tabir.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 251) dan Muslim (no. 320)]

Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Yang nampak dari hadits tersebut adalah bahwa keduanya (yakni Abu Salamah dan saudara ‘Aisyah) melihat apa yang dilakukan oleh ‘Aisyah pada kepala dan bagian atas tubuhnya, dimana itu adalah bagian yang boleh dilihat oleh seorang mahram, dan ‘Aisyah adalah bibinya Abu Salamah karena persusuan, sementara ‘Aisyah meletakkan tabir untuk menutupi bagian bawah tubuhnya, karena bagian tersebut adalah bagian yang tidak boleh dilihat oleh mahram.” [Lihat Fat-hul Baari (I/465)]

Sehingga, kesimpulan dari pendapat pertama adalah mahram boleh melihat seluruh tubuh wanita, kecuali bagian antara pusar hingga lutut.

Pendapat kedua: Seorang mahram hanya boleh melihat anggota tubuh wanita yang biasa nampak, seperti anggota-anggota tubuh yang terkena air wudhu’. [Lihat Sunan al-Baihaqi (no. 9417), al-Inshaaf (VIII/20), al-Mughni (VI/554), al-Majmuu’ Fataawaa Ibn Taimiyah (XVI/140) dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/159)]

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Dahulu kaum lelaki dan wanita pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan wudhu’ secara bersamaan.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 193), Abu Dawud (no. 79), an-Nasa’i (I/57) dan Ibnu Majah (no. 381)]

Hadits di atas difahami sebagai suatu keadaan yang terjadi khusus bagi para istri dan mahram, di mana mahram boleh melihat anggota wudhu’ para wanita. [Lihat Fat-hul Baari (I/465), ‘Aunul Ma’bud (I/147) dan Jaami’ Ahkaamin Nisaa’ (IV/195)]

Kesimpulan dari pendapat kedua adalah bahwa mahram hanya diperbolehkan untuk melihat anggota wudhu’ seorang wanita.

***
artikel muslimah.or.id Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad

Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits