Bioteknologi yang dapat meningkatkan produksi pangan adalah nomor

OLEH BUSTANUL ARIFIN

Selama dua dasawarsa terakhir, laju pertumbuhan produktivitas pangan strategis di Indonesia sangat lamban. Pada kurun waktu 14 tahun terakhir (1996-2010), produktivitas beras tumbuh di bawah 1 persen per tahun. Pertumbuhan produktivitas kedelai stagnan, jika tidak dikatakan negatif. Pada dekade 1990-an, produktivitas kedelai mencapai 1,7 ton per hektar, tetapi kini produktivitas kedelai hanya 1,4 ton per hektar. Pertumbuhan produktivitas tebu sangat tidak terpola, kadang tinggi sampai 6,2 ton hablur per hektar, tetapi kadang anjlok sampai di bawah 5,8 ton per hektar. Hanya jagung yang menunjukkan peningkatan produktivitas konsisten hampir dua kali lipat. Fenomena produktivitas tersebut sekaligus menunjukkan inkonsistensi pola dan sistem produksi pangan strategis di Indonesia.

Kapasitas produksi pertanian di Indonesia, selain memang rendah sejak awal, juga mengalami kelelahan sistematis karena pola budidaya, lingkungan tumbuh, dan inefisiensi skala produksi usaha tani. Petani sebagai pelaku utama memiliki keterbatasan dalam mengelola dan memodifikasi lingkungan biofisik dan sosial ekonomi sistem produksi pertanian. Petani sulit sekali untuk mampu memengaruhi lingkungan kebijakan, apalagi untuk mengubah landasan ekonomi makro, yang menentukan tingkat kesejahteraannya. Pada level kapasitas yang sama, pengaturan teknik budidaya, penanggulangan hama dan penyakit, serta pengelolaan air irigasi hanya mampu meningkatkan produksi pertanian sekadarnya. Berbeda halnya jika kapasitas produksinya ditingkatkan, apalagi jika dikombinasikan dengan langkah intensifikasi, produksi pertanian akan melompat berlipat-lipat. Kisah lonjakan produktivitas jagung di atas tidak dapat dilepaskan dari penggunaan dan adopsi benih jagung hibrida. Singkatnya, inovasi dan perubahan teknologi, termasuk pengembangan dan pemanfaatan bioteknologi pertanian, akan mampu meningkatkan kapasitas produksi dan produktivitas pertanian.

Bioteknologi pertanian, meliputi juga produk hibrida dan produk rekayasa genetika, memang diharapkan memberikan lonjakan produksi pangan yang signifikan. Dalam bahasa ekonomi, bioteknologi itu adalah perubahan teknologi yang ”mampu menggeser kurva produksi ke atas” sehingga kapasitas produksinya meningkat. Pada suatu proses yang normal, masyarakat dapat melakukan langkah penyesuaian dan keseimbangan baru sehingga menghasilkan budaya dan kelembagaan baru untuk memanfaatkan atau berinteraksi dengan produk bioteknologi. Fenomena ini mirip dengan fenomena Revolusi Hijau empat dasawarsa lalu atau perubahan teknologi biologi-kimiawi yang mampu melonjakkan produktivitas pangan. Pada waktu itu, hanya sedikit yang mampu menduga bahwa umat manusia dapat terlepas dari Jebakan Malthus (Malthusian Trap) dan minimal mampu bertahan hingga sekarang. Kini, para ilmuwan sedang mengembangkan Revolusi Hijau Generasi Kedua dengan bioteknologi pertanian dan perubahan aransemen kelembagaan yang diperlukan untuk menjawab tantangan zaman yang berubah demikian cepat.

Bioteknologi dengan modifikasi organisme atau rekayasa genetika itu sering juga disebut transgenik karena prosedurnya melibatkan perubahan struktur gen benih dan/atau bagian lain dari tanaman untuk tujuan tertentu, seperti peningkatan produksi dan produktivitas, ketahanan terhadap hama dan penyakit tanaman, perbaikan kandungan protein, serta modifikasi kandungan lemak, kolesterol, dan kualitas nutrisi lainnya. Para ilmuwan Indonesia sebenarnya telah banyak menghasilkan temuan baru varietas pangan unggul walaupun masih pada skala laboratorium dan kebun percobaan sehingga belum mampu disebarluaskan kepada masyarakat luas.

Kabinet Indonesia Bersatu menempuh langkah kebijakan promotif terhadap bioteknologi pertanian karena sejak Indonesia meratifikasi Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati atas Konvensi Keanekaragaman Hayati melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004, pengembangan bioteknologi nyaris berjalan di tempat. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika juga telah memberikan rambu-rambu tegas tentang prinsip kehati-hatian dalam penyebarluasan produk rekayasa genetika. Demikian pula kelembagaan Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika yang dikukuhkan melalui Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2010 seharusnya cukup ampuh untuk memberikan arah bagi perjalanan pengembangan bioteknologi. Di tingkat yang lebih operasional, Indonesia memiliki Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61 Tahun 2011 tentang Pengujian, Pelepasan, dan Penarikan Varietas sebagai penyempurnaan dari Peraturan Menteri Pertanian Nomor 37 Tahun 2006.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 37 Tahun 2006 ini seharusnya mampu menyederhanakan birokrasi perizinan bioteknologi karena analisis mengenai dampak lingkungan, uji penanaman (budidaya), dan uji keamanan pangan terhadap varietas baru dilakukan secara paralel.

Diskusi publik terbuka selama seminggu terakhir sebenarnya lebih esensial dari sekadar persoalan administrasi birokrasi karena masyarakat khawatir terhadap dampak produk rekayasa genetika terhadap kesehatan manusia dan keamanan lingkungan hidup.

Di satu sisi, masyarakat khawatir jika produk rekayasa genetika dikembangkan di Indonesia, tetapi di sisi lain, masyarakat tampak kurang paham karena selama ini mereka telah mengonsumsi produk pangan yang mengalami modifikasi genetika, terutama kedelai impor dari Amerika Serikat.

Demikian pula masyarakat khawatir terhadap dominasi dan hegemoni perusahaan raksasa milik asing yang bermaksud mengembangkan rekayasa genetika di Indonesia. Dalam konteks ini, produk rekayasa genetika dikhawatirkan akan mengurangi kemampuan masyarakat untuk mengakses benih unggul dan bahkan meminggirkan petani atau kearifan lokal yang telah terbangun sedemikian lama.

Sebagai penutup, kinilah saatnya untuk memperbaiki komunikasi, pertukaran informasi dan edukasi yang lebih produktif ke segenap unsur akademisi, pemerintah, pebisnis, dan warga masyarakat dalam pengembangan bioteknologi.

Segenap unsur harus sering berjumpa, berdialog, dan mencari pemahaman apabila titik temu masih sulit diperoleh. Sekali lagi, diskusi terbuka adalah salah satu cara beradab untuk belajar saling menghargai pendapat semua pihak, baik yang mendukung, yang netral, maupun yang menentang pemanfaatan produk bioteknologi pertanian.

Bustanul Arifin Guru Besar Unila, Professorial Fellow InterCAFE dan MB-IPB

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berikutnya

BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.com - Meningkatnya jumlah penduduk ternyata tidak diimbangi dengan meningkatnya produksi tanaman pangan. Produktivitas tanaman pangan cenderung turun sehingga pemerintah perlu segera mencari terobosan teknologi yang mampu meningkatkan produksi.

Pemerintah bisa mulai mengembangkan jenis-jenis tanaman transgenik atau tanaman yang dari benihnya sudah mendapatkan perlakuan bioteknologi tertentu yang memiliki produktivitas tinggi untuk mendukung ketahanan pangan. Demikian terungkap dalam seminar nasional Bioteknologi untuk Pembangunan Pertanian di Universitas Lampung, Selasa (19/5).

Dahri Tanjung, Peneliti sekaligus Sekretaris Eksekutif Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Institut Pertanian Bogor (IPB) pada seminar tersebut mengatakan, di Indonesia ada banyak tanaman yang bisa dikembangkan sebagai komoditas transgenik. Di antaranya jagung, tomat, kentang, kedelai, padi, dan tebu.

Dari penelitian terhadap tanaman jagung transgenik yang sudah ia lakukan, tanaman jagung memiliki nilai ekonomis dan produktivitas tinggi ketika dikembangkan dengan teknologi. Penelitian tersebut dilakukan untuk menjawab tingginya kebutuhan jagung di Indonesia, namun belum diimbangi dengan produksi.

Angka kebutuhan jagung Indonesia meningkat 10-15 persen per tahun. Akan tetapi, kenaikan produksi tidak seimbang dengan kenaikan permintaan. Sebagai gambaran, pada 2007 produksi jagung Indonesia mencapai 13,288 juta ton, namun angka permintaan jagung mencapai 17,194 juta ton. Sedangkan pada 2008 produksi jagung Indonesia tercatat sebanyak 15,860 juta ton dengan permintaan mencapai 18,627 juta ton.

"Kita semakin kesulitan mendapatkan tanaman pangan akibat ketersediaan lahan produktif semakin terbatas sementara laju produktivitas lahan semakin melambat," ujar Dahri.

Menurut Dahri, pengembangan tanaman jagung transgenik sebagai salah satu tanaman pangan bisa menjawab pertanyaan kekurangan produksi tanaman pangan. Dari penelitian yang ia lakukan, dengan menanam jagung hibrida di Lampung, produktivitas jagung per hektar mencapai 5,4 ton. Sedangkan dengan menanam jagung transgenik, produktivitas per hektar mencapai 10,8 ton jagung kering.

"Produktivitas tinggi akan memacu peningkatan pendapatan petani. Biaya produksi membudidayakan kedua jenis jagung itu hampir sama. Namun keuntungan menanam jagung transgenik mencapai tigaempat kali lipat dari jagung hibrida tentu petani akan lebih diuntungkan," ujar Dahri.

Bustanul Arifin, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Unila pada seminar tersebut mengatakan, penerapan bioteknologi dengan menerapkan bibit tanaman transgenik untuk meningkatkan produksi pertanian boleh saja dilakukan. Akan tetapi, sampai saat ini pe nerapan pertanian dengan bibit tersebut masih kontroversial. Pemerintah belum menyetujui pemakaian benih transgenik.

Selain berdampak pada masalah lingkungan, pemerintah juga masih memikirkan dampak pangan yang diproduksi dari bibit yang diperlakukan dengan teknologi. Untuk itu, para peneliti sebaiknya tidak hanya berhenti pada penelitian di laboratorium atau ladang yang terkontrol, namun harus sesegera mungkin ditunjukkan dengan uji adaptif dan uji lapangan di beberapa lokasi.

"Hasil dari pengujian tersebut bisa dipergunakan sebagai pertimbangan kepada pemerintah untuk mulai menerapkan tanaman transgenik," ujar Bustanul Arifin.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berikutnya