Terangkan ciri khas yang dimiliki kebudayaan Bacson-Hoabinh! Jawab: Kebudayaan Bacson-Hoabinh mempunyai ciri khas yaitu penyerpihan pada satu atau dua sisi permukaan batu kali yang berukuran sekitar satu kepalan dan sering seluruh tepiannya menjadi bagian yang tajam. Hasil penyerpihannya itu menunjukkan berbagai bentuk seperti lonjong, segi empat, segitiga, dan beberapa di antaranya ada yang berbentuk berpinggang. Jangan lupa komentar & sarannya Jika ada keluhan silahkan hubungi admin Kunjungi terus: regionalpos.com OK! 😁 Itulah jawaban Terangkan ciri khas yang dimiliki kebudayaan Bacson-Hoabinh! , semoga bisa membantu dalam mengerjakan soal. Jawaban ini telah diperbaharui pada tanggal 2022-04-12 21:52:00 1.A.CIRI-CIRI POKOK BUDAYA BACHON-HOABINH Beberapa ciri pokok budaya Bacson-Hoabinh ini antara lain: Pembuatan alat kelengkapan hidup manusia yang terbuat dari batu. Batu yang dipakai untuk alat umumnya berasal dari batu kerakal sungai. Alat batu ini telah dikerjakan dengan teknik penyerpihan menyeluruh pada satu atau dua sisi batu. Hasil penyerpihan menunjukkan adanya keragaman bentuk. Ada yang berbentuk lonjong, segi empat, segi tiga dan beberapa diantaranya ada yang berbentuk berpinggang. B.PERSEBARAN BUDAYA BACHON-HOABINH Di wilayah Indonesia, alat-alat batu dari kebudayaan Bacson-Hoabinh dapat ditemukan pada daerah Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi sampai ke Papua. Di daerah Sumatera, alat-alat batu sejenis kebudayaan Bacson-Hoabinh ditemukan di Lhokseumawe dan Medan. Benda-benda itu berhasil ditemukan pada bukit-bukit sampah kerang yang berdiameter sampai 100 meter dengan kedalaman 10 meter. Lapisan kerang tersebut diselang-selingi dengan tanah dan abu. Tempat penemuan bukit kerang ini pada daerah dengan ketinggian yang hampir sama dengan permukaan air laut sekarang dan pada kala Holosen daerah tersebut merupakan garis pantai. Namun, ada beberapa tempat penemuan yang pada saat sekarang telah berada di bawah permukaan laut. Tetapi, kebanyakan tempat-tempat penemuan alat-alat dari batu di sepanjang pantai telah terkubur di bawah endapan tanah, sebagai akibat terjadinya proses pengendapan yang berlangsung selama beberapa millennium yang baru. Banyak benda-benda peralatan budaya dari batu yang berhasil dikumpulkan oleh para ahli dari bukit sampah kerang di Sumatera. Sebagian besar dari peralatan yang berhasil ditemukan berupa alat-alat batu yang diserpih pada satu sisi dengan lonjong atau bulat lonjong. Pada daerah Jawa, alat-alat kebudayaan batu sejenis dengan kebudayaan Bacson-Hoabinh berhasil ditemukan di daerah Lembah Sungai Bengawan Solo. Penemuan alat-alat dari batu ini dilakukan ketika penggalian untuk menemukan fosil-fosil [tulang belulang] manusia purba. Peralatan batu yang berhasil ditemukan memiliki usia jauh lebih tua dari peralatan batu yang ditemukan pada bukit-bukit sampah kerang di Sumatera. Hal ini terlihat dari cara pembuatannya. Peralatan batu yang berhasil ditemukan di daerah Lembah Sungai Bengawan Solo [Jawa] dibuat dengan cara sangat sederhana dan belum diserpih atau diasah. Dimana batu kali yang dibelah langsung digunakannya dengan cara menggenggam. Bahkan menurut Von Koenigswald [1935-1941], peralatan dari batu itu digunakan oleh manusia purba di Indonesia sejenis Pithecanthropus erectus. Dan juga berdasarkan penelitiannya, peralatan-peralatan dari batu itu berasal dari daerah Hoabinh. Di daerah Cabbenge [Sulawesi Selatan] berhasil ditemukan alat-alat batu yang berasal dari kala Pleistosen dan Holosen. Penggalian dalam upaya untuk menemukan alat- alat dari batu juga dilakukan di daerah pedalaman sekitar Maros. Sehingga dari beberapa tempat penggalian, berhasil menemukan alat-alat dari batu termasuk alat serpih berpunggung dan mikrolit yang dikenal dengan Toalian. Alat-alat batu Toalian diperkirakan berasal dari 7000 tahun lalu. Perkembangan peralatan dari batu dari daerah Maros ini diperkirakan kemunculannya bertumpang tindih dengan munculnya tembikar di kawasan itu. Di samping daerah-daerah tersebut di atas, peralatan batu kebudayaan Bacson-Hoabinh juga berhasil ditemukan pada daerah-daerah seperti daerah pedalaman Semenanjung Minahasa [Sulawesi Utara], Flores, Maluku Utara dan daerah-daerah lain di Indonesia. 2.A. CARA MEMBUAT ALAT DARI PERUNGGU Munculnya kepandaian mempergunakan bahan logam, tentu dikuti dengan kemahiran teknologi yang disebut perundagian, karena logam tidak dapat dipukul-pukul atau dipecah seperti batu untuk mendapatkan alat yang dikehendaki, melainkan harus dilebur terlebih dahulu baru kemudian dicetak. Teknik pembuatan alat-alat perunggu pada zaman prasejarah terdiri dari 2 cara yaitu:
B.SAMPAH DAPUR Kyokkenmoddinger Suatu corak istimewa dari zaman Mesolitikum Indonesia ialah adanya peninggalan-peninggalan yang disebut dalam bahasa Denmark "kyokkenmoddinger". [kyokken = dapur, modding = sampah, jadi kyokkenmoddinger artinya sampah dapur]. Sampah dapur tersebut dapat ditemukan di sepanjang pantai Sumatra Timur Laut, di antara Langsa [Aceh] - Medan; yaitu berupa bukit atau tumpukan kerang dan siput yang tinggi dan panjang yang telah menjadi fosil. Bekas-bekas itu menunjukkan telah adanya penduduk pantai yang tinggal dalam rumah-rumah bertonggak. Hidupnya terutama dari siput dan kerang. Siput-siput itu dipatahkan ujungnya, kemudian dihisap isinya dari bagian kepalanya. Kulit-kulit siput dan kerang itu dibuang selama waktu yang bertahun-tahun, mungkin ratusan atau ribuan tahun, akhirnya menjelmakan bukit kerang yang hingga beberapa meter tingginya dan luasnya [ada yang sampai tujuh meter]. Bukit-bukit itulah yang dinamakan kyokkenmoddinger. Dari hasil penyelidikan Dr. P. V. Van Stein Callenfels [pelopor ilmu pra sejarah Indonesia dan biasa dikenal sebagai "bapak prasejarah Indonesia"] tahun 1925, dapat diketahui bahwa bukit-bukit kerang dan siput tersebut adalah bekas sisa-sisa makanan dari masyarakat yang hidup di tepi pantai. Di tempat yang sama ditemukan pula jenis kapak genggam [chooper] yang diberi nama pebble [kapak Sumatra] yang berbeda dengan kapak genggam zaman Paleolitikum [chopper]. Pebble ini dibuat dari batu kali yang dipecah atau dibelah. Sisi luarnya yang memang sudah halus dibiarkan, sedangkan sisi dalamnya [tempat belah] dikerjakan lebih lanjut, sesuai dengan keperluannya. Di samping itu juga terdapat kapak pendek [hanche courte]. Bentuknya kira-kira setengah lingkaran dan seperti kapak genggam juga, dibuatnya dengan memukuli dan memecahkan batu, serta tidak diasah. Sisi tajamnya terdapat pada sisi yang lengkung. Sumber: Sejarah Kebudayaan Indonesia Kecuali kapak-kapak tersebut, dari bukit kerang juga ditemukan batu penggiling [pipisan] dan landasannya. Pipisan ini rupanya tidak hanya untuk menggiling makanan, tetapi juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah sebagaimana ternyata terlihat dari bekas-bekasnya. Untuk apa cat merah dipergunakan, belum dapat dinyatakan dengan pasti. Mungkin sekali pemakaiannya berhubungan dengan keagamaan, yakni dengan ilmu sihir [merah adalah warna darah]. Maka cat merah diulaskan pada badan, sebagaimana masih menjadi kebiasaan berbagai suku bangsa, mempunyai maksud agar tambah kekuatannya dan tambah tenaganya. Pendukung kebudayaan kyokkenmoddinger ialah ras Papua Melanesia. 3.KEBUDAYAAN INDIA MEMPENGARUHI INDONESIA
Setelah kebudayaan tulis seni sastrapun mulai
berkembang dengan pesat. 2. PEMERINTAHAN Sebelum kedatangan bangsa India, bangsa Indonesia telah mengenal sistem pemerintahan tetapi masih secara sederhana yaitu semacam pemerintahan di suatu desa atau daerah tertentu dimana rakyat mengangkat seorang pemimpin atau kepala suku. Orang yang dipilih sebagai pemimpin biasanya adalah orang yang senior, arif, berwibawa, dapat membimbing serta memiliki kelebihan tertentu , termasuk dalam bidang ekonomi maupun dalam hal kekuatan gaib atau kesaktian. 3. SOSIAL Kehidupan sosial masyarakat di Indonesia mengikuti perkembangan zaman yang ada. Hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia menerima dengan terbuka unsur-unsur yang datang dari luar, tetapi perkembangannya selalu disesuaikan dengan tradisi bangsa Indonesia sendiri. Masuknya pengaruh India di Indonesia menyebabkan mulai adanya penerapan hukuman terhadap para pelanggar peraturan atau undang-undang juga diberlakukan. Hukum dan Peraturan menunjukkan bahwa suatu masyarakat itu sudah teratur dan rapi. Kehidupan sosial masyarakat Indonesia juga tampak pada sistem gotong-royong. 4. KEPERCAYAAN Sebelum pengaruh India berkembang di Indonesia, masyarakat telah mengenal dan memiliki kepercayaan, yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang dan benda-benda besar [animisme dan dinamisme]. Ketika agama dan kebudayaan Hindu-Budha tumbuh dan berkembang, bangsa Indonesia mulai menganut agama Hindu-Budha meskipun unsur kepercayaan asli tetap hidup sehingga kepercayaan agama Hindu-Budha bercampur dengan unsur penyembahan roh nenek moyang. Hal ini tampak pada fungsi candi di Indonesia. HASIL KEBUDAYAAN MESOLITHIKUM
— A. Kebudayaan Pebble [Pebble Culture] — Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian ± 7 meter dan sudah membatu atau menjadi fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan disepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper [kapak genggam Palaeolithikum]. — Pebble [kapak genggam Sumatera = Sumateralith] Tahun 1925, Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya menemukan kapak genggam. Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble/kapak genggam Sumatra [Sumatralith] sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu dipulau Sumatra. Bahan-bahan untuk membuat kapak tersebut berasal batu kali yang dipecah-pecah. 4.PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN BACSON-HOABINH DAN KEBUDAYAAN DONGSON TERHADAP PERADABAN MASYARAKAT INDONESIA
A. Penyebaran Kebudayaan Bacson-Hoabinh ke Indonesia Penyebaran kebudayaan Bacson-Hoabinh bersamaan dengan perpindahan ras Papua Melanesoid ke Indonesia melalui jalan barat dan jalan timur [utara]. Mereka datang di Nusantara dengan perahu bercadik dan tinggal di pantai timur Sumatra dan Jawa, namun mereka terdesak oleh ras Melayu yang datang kemudian. Akhirnya, mereka menyingkir ke wilayah Indonesia Timur dan dikenal sebagai ras Papua yang pada masa itu sedang berlangsung budaya Mesolitikum sehingga pendukung budaya Mesolitikum adalah Papua Melanesoid. Ras Papua ini hidup dan tinggal di gua-gua [abris sous roche] dan meninggalkan bukit-bukit kerang atau sampah dapur [kjokkenmoddinger]. Ras Papua Melanesoid sampai di Nusantara pada zaman Holosen. Saat itu keadaan bumi kita sudah layak dihuni sehingga menjadi tempat yang nyaman bagi kehidupan manusia. Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian 7 meter dan sudah membatu/menjadi fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan di sepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. VanStein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper [kapak genggam Palaeolithikum]. Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera [Sumatralith] sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di pulau Sumatera. Bahan untuk membuat kapak tersebut berasal dari batu kali yang dipecah-pecah. Selain pebble yang ditemukan dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan sejenis kapak tetapi bentuknya pendek [setengah lingkaran] yang disebut dengan Hache Courte atau kapak pendek. Kapak ini cara penggunaannya dengan menggenggam. Di samping kapak-kapak yang ditemukan dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan pipisan [batu-batu penggiling beserta landasannya]. Batu pipisan selain dipergunakan untuk menggiling makanan juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah, bahan cat merah yang dihaluskan berasal dari tanah merah. Mengenai fungsi dari pemakaian cat merah tidak diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan bahwa cat merah dipergunakan untuk keperluan keagamaan atau untuk ilmu sihir. Kecuali hasil-hasil kebudayaan, di dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan fosil manusia yang berupa tulang belulang, pecahan tengkorak dan gigi, meskipun tulang-tulang tersebut tidak memberikan gambaran yang utuh/lengkap, tetapi dari hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa manusia yang hidup pada masa Mesolithikum adalah jenis Homo Sapiens. Manusia pendukung Mesolithikum adalah Papua Melanosoide. Abris Sous Roche adalah goa-goa yang yang dijadikan tempat tinggal manusia purba pada zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan binatang buas. Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche dilakukan oleh Dr. Van Stein Callenfels tahun 1928-1931 di goaLawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur. Alat-alat yang ditemukan pada goa tersebut antara lain alat-alat dari batu seperti ujung panah, flakes, batu pipisan, kapak yang sudah diasah yang berasal dari zaman Mesolithikum, serta alat-alat dari tulang dan tanduk rusa. Di antara alat-alat kehidupan yang ditemukan ternyata yang paling banyak adalah alat dari tulang sehingga oleh para arkeolog disebut sebagai Sampung Bone Culture/kebudayaan tulang dari Sampung. Karena goa di Sampung tidak ditemukan Pebble ataupun kapak pendek yang merupakan inti dari kebudayaan Mesolithikum. Selain di Sampung, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Besuki dan Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian terhadap goa di Besuki dan Bojonegoro ini dilakukan oleh Van Heekeren. Di Sulawesi Selatan juga banyak ditemukan Abris Sous Roche terutama di daerah Lomoncong yaitu goa Leang Patae yang di dalamnya ditemukan flakes, ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi dan pebble. Di goa tersebut didiami oleh suku Toala, sehingga oleh tokoh peneliti Fritz Sarasindan Paul Sarasin, suku Toala yang sampai sekarang masih ada dianggap sebagai keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman prasejarah.Untuk itu kebudayaan Abris Sous Roche di Lomoncong disebut kebudayaan Toala. Kebudayaan Toala tersebut merupakan kebudayaan Mesolithikum yang berlangsung sekitar tahun 3000 sampai 1000 SM. Selain di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Timor dan Rote. Penelitian terhadap goa tersebutdilakukan oleh Alfred Buhler yang di dalamnya ditemukan flakes dan ujungmata panah yang terbuat dari batu indah. Ras Papua Melanesoid hidup masih setengah menetap, berburu, dan bercocok tanam sederhana. Mereka hidup di gua dan ada yang di bukit sampah. Manusia yang hidup di zaman budaya Mesolitikum sudah mengenal kesenian, seperti lukisan mirip babi hutan yang ditemukan di Gua Leang-Leang [Sulawesi]. Lukisan tersebut memuat gambar binatang dan cap telapak tangan. Mayat dikubur dalam gua atau bukit kerang dengan sikap jongkok, beberapa bagian mayat diolesi dengan cat merah. Merah adalah warna darah, tanda hidup. Mayat diolesi warna merah dengan maksud agar dapat mengembalikan kehidupannya sehingga dapat berdialog. Kecuali alat batu, juga ditemukan sisa-sisa tulang dan gigi-gigi binatang seperti gajah, badak, beruang, dan rusa. Jadi, selain mengumpulkan binatang kerang, mereka pun memburu binatang-binatang besar. Menurut C.F. Gorman dalam bukunya The Hoabinhian and after : Subsistance patterns in South East Asia during the latest Pleistocene and Early Recent Periods [1971] menyatakan bahwa penemuan alat-alat dari batu paling banyak ditemukan dalam penggalian di pegunungan batu kapur di daerah Vietnam bagian utara, yaitu di daerah Bacson pegunungan Hoabinh. Di samping alat-alat dari batu yang berhasil ditemukan, juga ditemukan alat-alat serpih, batu giling dari berbagai ukuran, alat-alat dari tulang dan sisa tulang belulang manusia yang dikubur dalam posisi terlipat serta ditaburi zat warna merah. Sementara itu, di daerah Vietnam ditemukan tempat-tempat pembuatan alat-alat batu, sejenis alat batu dari kebudayaan Bacson-Hoabinh. Bahkan di Gua Xom Trai [dalam buku Pham Ly Huong ; Radiocarbon Dates of The Hoabinh Culture in Vietnam, 1994] ditemukan alat-alat batu yang sudah diasah pada sisi yang tajam. Alat-alat batu dari Goa Xom Trai tersebut diperkirakan berasal dari 18.000 tahun yang lalu, kemudian dalam perkembangannya alat-alat dari batu atau yang dikenal dengan kebudayaan Bacson-Hoabinh tersebar dan berhasil ditemukan hampir di seluruh daerah Asia Tenggara, baik darat maupun kepulauan, termasuk wilayah Indonesia. Di wilayah Indonesia, alat-alat batu dari kebudayaan Bacson-Hoabinh dapat ditemukan pada daerah Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi sampai ke Papua. Di daerah Sumatera, alat-alat batu sejenis kebudayaan Bacson-Hoabinh ditemukan di Lhokseumawe dan Medan. Benda-benda itu berhasil ditemukan pada bukit-bukit sampah kerang yang berdiameter sampai 100 meter dengan kedalaman 10 meter. Lapisan kerang tersebut diselang-selingi dengan tanah dan abu. Tempat penemuan bukit kerang ini pada daerah dengan ketinggian yang hampir sama dengan permukaan air laut sekarang dan pada kala Holosen daerah tersebut merupakan garis pantai. Namun, ada beberapa tempat penemuan yang pada saat sekarang telah berada di bawah permukaan laut. Tetapi, kebanyakan tempat-tempat penemuan alat-alat dari batu di sepanjang pantai telah terkubur di bawah endapan tanah, sebagai akibat terjadinya proses pengendapan yang berlangsung selama beberapa millennium yang baru. Banyak benda-benda peralatan budaya dari batu yang berhasil dikumpulkan oleh para ahli dari bukit sampah kerang di Sumatera. Sebagian besar dari peralatan yang berhasil ditemukan berupa alat-alat batu yang diserpih pada satu sisi dengan lonjong atau bulat lonjong. Pada daerah Jawa, alat-alat kebudayaan batu sejenis dengan kebudayaan Bacson-Hoabinh berhasil ditemukan di daerah Lembah Sungai Bengawan Solo. Penemuan alat-alat dari batu ini dilakukan ketika penggalian untuk menemukan fosil-fosil [tulang belulang] manusia purba. Peralatan batu yang berhasil ditemukan memiliki usia jauh lebih tua dari peralatan batu yang ditemukan pada bukit-bukit sampah kerang di Sumatera. Hal ini terlihat dari cara pembuatannya. Peralatan batu yang berhasil ditemukan di daerah Lembah Sungai Bengawan Solo [Jawa] dibuat dengan cara sangat sederhana dan belum diserpih atau diasah. Dimana batu kali yang dibelah langsung digunakannya dengan cara menggenggam. Bahkan menurut Von Koenigswald [1935-1941], peralatan dari batu itu digunakan oleh manusia purba di Indonesia sejenis Pithecanthropus erectus. Dan juga berdasarkan penelitiannya, peralatan-peralatan dari batu itu berasal dari daerah Hoabinh. Di daerah Cabbenge [Sulawesi Selatan] berhasil ditemukan alat-alat batu yang berasal dari kala Pleistosen dan Holosen. Penggalian dalam upaya untuk menemukan alat- alat dari batu juga dilakukan di daerah pedalaman sekitar Maros. Sehingga dari beberapa tempat penggalian, berhasil menemukan alat-alat dari batu termasuk alat serpih berpunggung dan mikrolit yang dikenal dengan Toalian. Alat-alat batu Toalian diperkirakan berasal dari 7000 tahun lalu. Perkembangan peralatan dari batu dari daerah Maros ini diperkirakan kemunculannya bertumpang tindih dengan munculnya tembikar di kawasan itu. Di samping daerah-daerah tersebut di atas, peralatan batu kebudayaan Bacson-Hoabinh juga berhasil ditemukan pada daerah-daerah seperti daerah pedalaman Semenanjung Minahasa [Sulawesi Utara], Flores, Maluku Utara dan daerah-daerah lain di Indonesia. c. Hasil-hasil Kebudayaan Bacson-Hoabinh di Indonesia:
Flakes mempunyai fungsi sebagai alat untuk menguliti hewan buruannya, mengiris daging atau memotong umbi-umbian. Jadi fungsinya seperti pisau pada masa sekarang. Selain ditemukan di Sangiran flakes ditemukan di daerah-daerah lain seperti Pacitan, Gombong, Parigi, Jampang Kulon, Ngandong [Jawa], Lahat [Sumatera], Batturing [Sumbawa], Cabbenge [Sulawesi],Wangka, Soa, Mangeruda [Flores].
Pengaruh Kebudayaan Bacson-Hoabinh pada Kebudayaan Indonesia Pengaruh budaya Bacson-Hoabinh terhadap perkembangan budaya masyarakat awal kepulauan Indonesia merupakan suatu budaya besar yang memiliki situs-situs temuan diseluruh daratan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pengaruh utama budaya Hoabihn terhadap perkembangan budaya masyarakat awal kepulauan Indonesia adalah berkaitan dengan tradisi pembuatan alat terbuat dari batu. Beberapa ciri pokok budaya Bacson-Hoabinh ini antara lain: Pembuatan alat kelengkapan hidup manusia yang terbuat dari batu. Batu yang dipakai untuk alat umumnya berasal dari batu kerakal sungai. Alat batu ini telah dikerjakan dengan teknik penyerpihan menyeluruh pada satu atau dua sisi batu. Hasil penyerpihan menunjukkan adanya keragaman bentuk. Ada yang berbentuk lonjong, segi empat, segi tiga dan beberapa diantaranya ada yang berbentuk berpinggang. Pengaruh budaya Hoabihn di Kepulauan Indonesia sebagian besar terdapat di daerah Sumatra. Hal ini lebih dikarenakan letaknya yang lebih dekat dengan tempat asal budaya ini. Situs-situs Hoabihn di Sumatra secara khusus banyak ditemukan di daerah pedalaman pantai Timur Laut Sumatra, tepatnya sekitar 130 km antara Lhokseumawe dan Medan. Sebagian besar alat batu yang ditemukan adalah alat batu kerakal yang diserpih pada satu sisi dengan bentuk lonjong atau bulat telur. Dibandingkan dengan budaya Hoabihn yang sesungguhnya, pembuatan alat batu yang ditemukan di Sumatra ini dibuat dengan teknologi lebih sederhana. Ditinjau dari segi perekonomiannya, pendukung budaya Hoabihn lebih menekankan pada aktivitas perburuan dan mengumpulkan makanan di daerah sekitar pantai.1. Kebudayaan Dongson
b. Perkembangan Kebudayaan Dongson ke Indonesia Kebudayaan Dongson mulai berkembang di Indochina pada masa peralihan dari periode Mesolitik dan Neolitik yang kemudian periode Megalitik. Pengaruh kebudayaan Dongson ini juga berkembang menuju Indonesia yang kemudian dikenal sebagai masa kebudayaan Perunggu sekitar 1000 SM sampai 1 SM. Penemuan benda-benda dari kebudayaan Dong Son sangat penting karena benda-benda logam yang ditemukan di wilayah Indonesia umumnya bercorak Dong Son, dan bukan mendapat pengaruh budaya logam dari India maupun Cina. Budaya perunggu bergaya Dong Son tersebar luas di wilayah Asia Tenggara dan kepulauan Indonesia. Hal ini terlihat dari kesamaan corak hiasan dan bahan-bahan yang dipergunakannya. Misalnya nekara, menunjukkan pengaruh yang sangat kuat. Nekara dari tipe Heger 1 memiliki kesamaan dengan nekara yang paling bagus dan tertua di Vietnam. Benda-benda perunggu lainnya yang berhasil ditemukan di daerah Dong Son serta beberapa kuburan seperti daerah Vie Khe, Lang Cha, Lang Var. Satu nekara yang ditemukan yang besar berisi 96 mata bajak perunggu bercorang. Dari penemuan itu terdapat alat-alat dari besi, meskipun jumlahnya sangat sedikit. Dari penemuan benda-benda budaya Dong Son itu, diketahui cara pembuatannya dengan menggunakan teknik cetak lilin hilang yaitu dengan membuat bentuk benda dari lilin, kemudian lilin itu di balut dengan tanah liat dan dibakar hingga terdapat lubang pada tanah liat tersebut. Budaya Dong Son sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan budaya perunggu di Indonesia. Bahkan tidak kurang dari 56 nekara yang berhasil ditemukan di beberapa wilayah Indonesia dan terbanyak nekara ditemukan di Sumatera, Jawa, Maluku Selatan. Nekara yang penting ditemukan di wilayah Indonesia dari pulau Sangeang dekat Sumbawa yang berisi hiasan gambar orang yang menyerupai pakaian dinasti Han. Hiasan seperti itu diperkirakan belum dikenal oleh penduduk pulau tempat nekara tersebut ditemukan. Heine Goldem meneliti nekara yang ditemukan dan menyatakan bahwa nekara yang ditemukan di daerah Sangeang diperkirakan diceak di daerah funan yang telah terpengaruh oleh budaya india pada 250 SM. Pengamatan menarik dari Berner Kempres menunjukkan bahwa semua nekara yang ditemukan di Bali memliki 4 patung katak pada bagian pukulnya. Selain itu pola-pola hiasan nekara tersebut tidak begitu terpadu antara gambar satu dengan yang lainnya. Berners kempers memberikan gambaran cara nekara tipe heger I di cetak secara utuh. Awalnya lembaran lilin ditempelkan pada inti tanah liat [menyerupai bentuk nekara dan berfungsi sebagai cetakan bagian dalam], lalu di hias dengan cap-cap dari tanah liat atau batu yang berpola hias perahu dan iring-iringan manusia. Untuk menambah hiasan yang lebih naturalistik, seperti gambar rumah, lembaran lilin tadi langsung ditambah goresan gambar yang dikehendakinya. Kemudian lembaran lilin yang telah di hias itu ditutup dengan tanah liat yang barfungsi sebagai cetakan bagian luar, setelah terlebih dahulu diberi paku-paku penjaga jarak. Setelah itu di bakar dan lilin meleleh keluar rongga yang di tinggalkan lilin tersebut diisi dengan cairan logam. Selain nekara, di wilayah Indonesia juga ditemukan benda-benda perunggu lainnya seperti patung-patung, peralatan rumah tangga, peralatan bertani maupun perhiasan-perhiasan.
c.
Kesenian Kebudayaan Dongson
d.
Agama dan Kepercayaan Kebudayaan Dongson e. Peninggalan Kebudayaan Dongson
Nekara adalah benda yang terbuat dari perunggu berbentuk seperti dandang yang terlungkup atau semacam kerumbung yang berpinggang pada bagian tengah nya dan bagian atasnya tertutup. Di bagian dinding nekar terdapat berrbagai hiasan, seperti garis-garis lurusa dan bengkok, pilin-pilin, bintang, rumah, perahu, dan pemandangan-pemandangan seperti lukisan orang berburu dan orang-orang yang sedang melakukan upacara tari. Nekara perunggu banyak di temukan di Bali, Pulau Sengean dekat Sumba, Pulau Selayar, Sumatra, Roti, Leti, Alor [Nusa Tebggara Timur], dan Kepulauan Kei. Bentuk nekara di Indonesia Timur umumnya lebih besar di bandingkan nekara yang di temukan di Indonesia Barat, seperti Jawa dan Sumatra. Orang Alor menyebut jenis nekara yang lebih kecil ukuran nya dengan nama Moko. Menurut penelitian nekara hanya digunakan pada saat upacara-upacara ritual. 2. Bejana Perunggu Bejana perunggu berbentuk seperti periuk tetapi Langsing dan Gepeng. Bejana di temukan di Kerinci [Sumatra Barat] dan Madura. Keduanya memiliki hiasan ukiran yang serupa dan sangat indah berupa gambar-gambar geometri dan pilin-pilin mirip huruf “j”. Bejana yang di temukan di madura terdapat pula gambar merak dan rusa dalam Kotak Segi Tiga. Tidak diketahui secara pasti fungsi benda ini. 3. Arca Perunggu Bentuk arca [patung] beraneka ragam, seperti menggambarkan orang sedang menari, naik kuda, dan memegang busur panah. Daerah-daerah tempat penemuan arca seperti di daerah Bangkina [Riau], Lumajang, Bogor dan Palembang.4. Kapak Corong Kapak sepatu atau kapak corong adalah kapak yang terbuat dari perunggu yang bagian atas nya berbentuk corong. Kapak corong di sebut juga kapak sepatu karena bagian bentuk corong nya dipakai untuk tempat tangkai kayu yang bentuknya menyiku seperti bentuk kaki. Kapak corong banyak ditemukan di Sumatra Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Pulau Selayar, dan Daerah sekitar Danau Sentani, Papua. Jenis kapak corong bermacam-macam. Ada yang kecil dan bersahaja, ada yang besar dan memakai hiasan, ada yang pendek lebar, ada yang bulat, dan ada yang panjang suatu sisinya. Kapak corong yang panjang suatu sisinya di sebut candras. Tidak semua kapak tersebut di gunakan sebagai perkakas, tetapi ada juga yang di gunakan sebagai tanda kebesaran dan alat upacara.
1. Perhiasan Perunggu Video yang berhubungan |