Faktor-faktor non sosial yang dapat menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan belajar adalah

Kesulitan belajar adalah hambatan/gangguan belajar pada anak dan remaja yang ditandai oleh adanya kesenjangan yang signifikan antara taraf intelegensi dan kemampuan akademik yang seharusnya dicapai seperti gangguan perkembangan bicara, membaca, menulis, pemahaman dan berhitung (Untario, 2004).

Para ahli seperti Cooney, Davis & Henderson (1975) telah mengidentifikasi beberapa faktor penyebab kesulitan tersebut, diantaranya :

Faktor Fisiologis

Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar ini berkait dengan kurang berfungsinya otak, susunan syaraf ataupun bagian-bagian tubuh lain. Para praktisi pendidikan harus menyadari bahwa hal yang paling berperan pada waktu belajar adalah kesiapan otak dan sistem syaraf dalam menerima, memproses, menyimpan ataupun memunculkan kembali informasi yang sudah disimpan. Kalau ada bagian yang tidak beres pada bagian tertentu dari otak, maka dengan sendirinya akan mengalami kesulitan belajar. Di samping itu, anak yang sakit-sakitan, tidak makan pagi, kurang baik pendengaran, penglihatan atau pengucapannya sedikit banyak akan menghadapi kesulitan belajar.

Untuk menghindari hal tersebut dan untuk membantu anak usia sekolah, hendaknya diperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan kesulitan ini. Seorang anak dengan pendengaran ataupun penglihatan yang kurang baik, sebaiknya menempati tempat di bagian depan. Untuk para orangtua, terutama ibu, makanan selama masa kehamilan akan sangat menetukan pertumbuhan dan perkembangan fisik anak. Makanan yang dapat membantu pertumbuhan otak dan sistem syaraf bayi yang masih di dalam kandungan haruslah menjadi perhatian para orangtua (Fajar, 2007)

Faktor Sosial

Faktor Sosial merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah jika orangtua dan masyarakat sekeliling sedikit banyak akan berpengaruh terhadap kegiatan belajar dan kecerdasan anak sebagaimana ada yang menyatakan bahwa sekolah adalah cerminan masyarakat dan anak adalah gambaran orangtuanya. Oleh karena itu ada beberapa faktor penyebab kesulitan belajar yang berkait dengan sikap dan keadaan keluarga serta masyarakat sekeliling yang kurang mendukung anak tersebut untuk belajar sepenuh hati. Sebagai contoh, orangtua yang sering menyatakan bahwa Bahasa Inggris adalah bahasa setan (karena sulit) akan dapat menurunkan kemauan anak untuk mempelajarinya. Kalau ia tidak menguasai bahan tersebut ia akan mengatakan “ Ah bapak saya juga tidak bisa”. Untuk itu, setiap guru tidak seharusnya menyatakan sulitnya mata pelajaran tertentu di depan anak didiknya. Tetangga yang mengatakan sekolah tidak penting karena banyak sarjana menganggur, masyarakat yang selalu minum-minuman keras dan melawan hukum, orangtua yang selalu marah, nonton TV setiap saat, tidak terbuka ataupun kurang menyayangi anak merupakan contoh dari beberapa faktor sosial yang menjadi penyebab kesulitan belajar.

Lingkungan sekitar harus dapat membantu mereka untuk belajar semaksimal mungkin selama mereka belajar di sekolah. Dengan cara seperti ini, lingkungan dan sekolah akan membantu para anak untuk berkembang dan bertumbuh menjadi lebih cerdas. Anak dengan kemampuan cukup seharusnya dapat dikembangkan menjadi anak berkemampuan baik, yang berkemampuan kurang dapat dikembangkan menjadi berkemampuan cukup. Karenanya peran orangtua dan guru dalam membentengi para anak dari pengaruh negatif masyarakat sekitar, di samping perannya dalam memotivasi para anak untuk tetap belajar menjadi sangat menentukan (Fajar, 2007)

Faktor Kejiwaan / Psikologis

Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar ini berkait dengan kurang mendukungnya perasaan hati (emosi) anak untuk belajar secara sungguh-sungguh. Sebagai contoh, ada anak yang tidak suka mata pelajaran tertentu karena ia selalu gagal mempelajari mata pelajaran tersebut. Jika hal ini terjadi, anak tersebut akan malas dan tidak tertarik lagi untuk mengikuti sehingga lama kelamaan akan ketingggalan pelajaran. Contoh lain adalah anak yang rendah diri, anak yang ditinggalkan orang yang paling disayangi dan menjadikannya sedih berkepanjangan akan mempengaruhi proses belajar dan dapat menjadi faktor penyebab kesulitan belajarnya.

Biasanya anak yang dapat mempelajari suatu mata pelajaran dengan baik akan menyenangi mata pelajaran tersebut. Begitu juga sebaliknya, anak yang tidak menyenangi suatu mata pelajaran biasanya tidak atau kurang berhasil mempelajari mata pelajaran tersebut. Karenanya, tugas utama yang sangat menentukan bagi seorang praktisi pendidikan adalah bagaimana membantu anak sehingga mereka dapat mempelajari setiap materi dengan baik.

Perlu mendapat perhatian juga, hukuman yang diberikan dapat menyebabkan anak lebih giat belajar jika hukuman yang diberikan sifatnya membangun jiwa anak, namun hukuman tersebut juga dapat juga menyebabkan mereka tidak menyukai mata pelajaran bahkan membenci sekali mata pelajaran yang diasuh guru tersebut, apabila hukuman yang diberikan tidak sesuai ataupun dapat menjatuhkan harga diri anak. Kalau hal seperti ini yang terjadi, tentunya akan sangat merugikan anak.

Peran guru memang sangat menentukan, seorang anak yang pada hari sebelumnya hanya mampu mengerjakan 3 dari 10 soal, lalu dua hari kemudian mampu mengerjakan 4 dari 10 soal, guru harus menghargai kemajuan tersebut. Hendaknya jangan melihat hasilnya saja, namun hendaknya menghargai usaha kerasnya. Dengan cara seperti ini, diharapkan anak akan lebih berusaha lagi.

Frandsen (1961) memberi perhatian khusus kepada faktor kejiwaan ini, karena faktor inilah yang mendorong seseorang untuk terus belajar. Frandsen mengatakan bahwa hal yang mendorong seseorang untuk belajar itu adalah sebagai berikut :

  1. Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas.
  2. Adanya sifat yang kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk selalu maju.
  3. Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orangtua, guru dan teman-teman.
  4. Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai pelajaran.
  5. Adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir daripada belajar.

Maslow (1961) mengemukakan motif-motif untuk belajar itu ialah adanya kebutuhan fisik, adanya kebutuhan akan rasa aman, bebas dari kekhawatiran, adanya kebutuhan akan kecintaan dan penerimaan dalam hubungan dengan orang lain, adanya kebutuhan untuk mendapat kehormatan dari masyarakat dan sesuai dengan sifat untuk mengemukakan atau mengetengahkan diri.

Fungsi kognisi (kejiwaan) ini menurut Baharuddin (2007) dibagi menjadi :

  1. Pengamatan

    Sebagai fungsi jiwa, pengamatan dapat diartikan sebagai unit organisasi dan interpretasi kesan-kesan yang timbul yang merupakan hasil pekerjaan indera, sehingga individu dapat menyadari kenyataan yang ada di sekitarnya. Dalam rumusan Prof A. Gazali (1970) dikatakan bahwa pengamatan adalah proses belajar mengenal benda-benda di sekitar kita dengan mempergunakan alat- alat indera. Pengamatan merupakan pintu gerbang untuk masuknya pengaruh dari luar, baik pengaruh dunia fisis, pengalaman maupun pendidikan. Dengan jalan mengamati anak didik belajar mengenal dunia sosial dan dunia nonsosial, dengan mengamati mereka menerima pelajaran-pelajaran.

    Pengamatan anak didik ini sangat penting dalam proses belajar, oleh karenanya perlu mengkaji pengamatan anak terhadap proses belajar yang sedang dialaminya. Apabila terdapat pengamatan yang salah akan dapat mempengaruhi proses belajar anak sehingga terjadi kesulitan belajar.

  2. Tanggapan

    Tanggapan merupakan salah satu fungsi jiwa yang dapat diperoleh individu setelah proses pengamatan selesai. Dengan demikian dapat diartikan bahwa tanggapan adalah gambaran yang tinggal di kesadaran kita sesudah mengamati atau dengan kata lain bahwa tanggapan merupakan kesan-kesan imaginatif individu sebagai akibat pengamatan.

    Tanggapan memainkan peranan penting dalam belajar anak, karena itu semestinya tanggapan tersebut dikembangkan dan dikontrol sebaik- baiknya. Apabila tanggapan anak positif terhadap keseluruhan proses belajar tentu anak akan dengan mudah menerima seluruh kegiatan yang menunjang belajar, tetapi sebaliknya jika tanggapan negatif tentu akan berpengaruh pula terhadap hasil belajarnya (Bahruddin, 2007)

  3. Fantasi

    Fantasi didefenisikan sebagai daya untuk membentuk tanggapan- tanggapan baru dengan pertolongan tanggapan-tanggapan yang sudah ada (Dakir, 1973). Fantasi pada anak usia sekolah bila dibandingkan dengan kemampuan jiwa yang lain ternyata bisa berakibat positif, misalnya dengan fantasi anak bisa menciptakan karya, bisa mengambil intisari dan mengikuti perjalanan sejarah dan bisa merintis kehidupan yang lebih baik. Sedangkan fantasi yang negatif misalnya berfantasi secara berlebihan karena tidak dapat mengikuti pelajaran bisa berakibat putus asa dan kecewa karena tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Dengan fantasi orang mudah berdusta karena dikuasai oleh fantasinya sendiri.

  4. Ingatan

    Ingatan adalah suatu aktivitas dimana manusia menyadari bahwa pengetahuannya berasal dari masa lampau (Verbeek, 1972). Dengan demikian apa yang diingat oleh individu berupa suatu kejadian merupakan kejadian yang pernah dialami dan dimasukkan dalam alam kesadaran, kemudian disimpan dan pada suatu ketika, kejadian itu ditimbulkan kembali di atas kesadaran. Secara teori dapat dibedakan adanya tiga aspek dalam berfungsinya ingatan yaitu mencamkan (menerima kesan), menyimpan kesan dan mereproduksi kesan (pengaktifan kembali kesan).

    Individu berbeda dalam kemampuannya mengingat, tetapi tiap orang dapat meningkatkan kemampuan mengingatnya dengan pengaturan kondisi yang lebih baik. Dalam proses belajar, pembagian waktu belajar dan penggunaan metode yang tepat dapat meningkatkan kemampuan mengingat.

  5. Pemikiran

    Pemikiran sebagai salah satu fungsi jiwa mempunyai keaktifan yaitu berpikir. Seseorang berpikir apabila menghadapi masalah yang harus dipecahkan. Jadi tugas pokok dari berpikir adalah memecahkan masalah. Dengan pemikiran, anak akan mampu bertingkah laku dan berakhlak mulia.

    Dalam proses berpikir, anak akan menghubungkan antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain untuk mendapatkan suatu kesimpulan. Para ahli psikologi mengemukakan adanya tiga proses yang harus dilalui dalam berpikir yakni membentuk pengertian, membentuk pendapat dan membentuk kesimpulan.

    Pemikiran sangat dibutuhkan dalam proses belajar. Apabila anak mampu berpikir dengan baik maka prestasi belajar akan baik. Dan bila anak tidak mampu berpikir dengan baik, tentu hasilnyapun kurang baik (Baharuddin, 2007)

Selain itu, anak yang mengalami kesulitan belajar dapat disebabkan oleh harga diri yang rendah pada anak, harga diri rendah yang ada pada anak disebabkan oleh tanggapannya terhadap diri sendiri yang didapat dari hasil pengamatannya (Videbeck, 2008). Akibat tanggapan yang salah terhadap dirinya maka timbul pemikiran-pemikiran negatif yang dapat mengakibatkan kesulitan belajar. Selain sebagai penyebab, harga diri rendah dapat juga sebagai akibat. Akibat terjadinya kesulitan belajar maka terjadi harga diri rendah pada anak.

Harga diri rendah dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri yang dapat diekspresikan secara langsung atau tidak langsung (Sasmita, 2007). Perkembangan harga diri anak sejalan dengan perkembangan konsep diri, dimana konsep diri seseorang menurut Stuart dan Sundeen (2005) tidak terbentuk dari lahir tetapi didapat dari hasil pengalaman anak terhadap dirinya sendiri, orang terdekat dan lingkungan sekitar.

Berdasarkan faktor psikologis, harga diri rendah pada anak sangat berhubungan dengan faktor komunikasi dalam keluarga, moral, kepribadian anak, pengalaman masa lalu, konsep diri, motivasi, pertahanan psikologi dan self control pada anak.

Tanda dan gejala harga diri rendah menurut NANDA (2005) ; Stuart & Sundeen (2005) meliputi pernyataan hal negatif tentang diri. Perilaku yang ditimbulkan berupa sikap malu/minder/rasa bersalah, kontak mata kurang, selalu mengatakan ketidakmampuan, bergantung pada orang lain, gangguan dalam berhubungan, tidak asertif, pasif, mudah tersinggung dan marah berlebihan. Perilaku-perilaku yang ditunjukkan tersebut akan menggangu tumbuh kembang pada anak usia sekolah dimana tugas perkembangan pada masa ini adalah mampu menyelesaikan tugas belajar yang diberikan.

Faktor Intelektual

Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar ini berkaitan dengan kurang sempurna atau kurang normalnya tingkat kecerdasan anak. Para praktisi pendidikan harus meyakini bahwa setiap anak mempunyai tingkat kecerdasan berbeda. Ada anak yang sangat sulit menghafal sesuatu, ada yang sangat lamban menguasai materi tertentu, ada yang sulit membayangkan dan bernalar. Hal-hal yang disebutkan tadi dapat menjadi faktor penyebab kesulitan belajar pada diri anak.

Faktor Kependidikan

Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar ini berkait dengan belum mantapnya lembaga pendidikan secara umum. Guru yang selalu meremehkan anak, guru yang tidak bisa memotivasi anak untuk belajar lebih giat, guru yang membiarkan anak didiknya melakukan hal-hal yang salah, guru yang tidak pernah memeriksa pekerjaan anak didik, sekolah yang membiarkan anak didik bolos tanpa ada sanksi tertentu, adalah contoh dari faktor-faktor penyebab kesulitan belajar dan pada akhirnya akan menyebabkan ketidakberhasilan anak tersebut.