Ilustrasi Efek Rumah Kaca (wallpaperstock.net)
Ilustrasi Efek Rumah Kaca (wallpaperstock.net)
...ini pada bulan yang berakhiran `ber` beberapa tempat tidak terjadi hujan bahkan terjadi musim kemarau sehingga masyarakat sulit mencari air," Padang (ANTARA News) - Sebagian besar masyarakat dunia, khususnya di Indonesia tentu telah merasakan perubahan suhu dan cuaca yang terjadi sejak dua puluh tahun terakhir. Perubahan cuaca secara ekstrim terjadi akibat dampak pemanasan global yang lebih disebabkan faktor peningkatan emisi karbon akibat pembakaran bahan bakar fosil, menimbulkan kecenderungan terhadap efek gas rumah kaca. Negara-negara industri maju dan berkembang, dituntut untuk melakukan aksi nyata pengurangan emisi karbon dan kecenderungan peningkatan efek rumah kaca. Protokol Kyoto merupakan sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global. Negara-negara yang menyetujui untuk menerapkannya, dituntut berkomitmen untuk mengurangi emisi atau pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi yang telah dikaitkan dengan pemanasan global. Melalui Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02 derajat celcius dan 0,28 derajat celcius pada tahun 2050. Sementara, pemerintah Indonesia menargetkan hingga 2020 penurunan gas karbon dan emisi gas rumah kaca dapat mencapai 26 persen, guna menanggulangi penyebab kerusakan Ozon. Dari 26 persen upaya penurunan gas karbon dan emisi gas rumah kaca, 14 persen diantaranya dilakukan melalui reboisasi dan pencegahan menurunnya luas hutan secara signifikan. Selanjutnya, enam persen upaya penurunan gas karbon dan emisi gas rumah kaca, dilakukan melalui kebijakan untuk mengefesiensikan penggunaan energi yang tidak dapat terbarukan dengan konsep pembangunan rumah atau gedung yang banyak masuk cahaya, sehingga penggunaan listrik dapat dihemat. Enam persen lagi upaya penurunan dampak emisi gas karbon melalui pengolahan limbah domestik, limbah cair dan B3 (bahan berbahaya dan beracun). Menurut Guru Besar Ilmu Lingkungan Universitas Negeri Padang Prof. Dr. Eri Barlian, M.Si perubahan suhu secara kasat mata memang tidak dapat dilihat namun dapat dirasakan pengaruhnya terhadap lingkungan sekitar. "Suhu semakin panas, terik matahari di siang hari yang menyengat. Terkadang di siang hari sengatan matahari begitu terik, di sorenya tiba-tiba saja hujan lebat mengguyur. Inilah yang disebut dengan cuaca ekstrim, yang melanda sebagian besar belahan dunia, termasuk Indonesia yang merupakan efek rumah kaca tersebut," katanya di Padang, Minggu. Di Sumatera Barat yang 80 persen kawasannya adalah perbukitan dan hutan tropis, efek rumah kaca juga telah dirasakan sejak lima tahun terakhir. Ia menjelaskan, efek rumah kaca merupakan istilah atau dalam bahasa inggris disebut dengan "green house effect". Istilah itu berasal dari pengalaman para petani yang tinggal di daerah beriklim sedang, yang memanfaatkan rumah kaca untuk menanam sayuran dan juga bunga-bungaan. Mengapa para petani menanam sayuran di dalam rumah kaca? Karena di dalam rumah kaca suhunya lebih tinggi dari pada di luar rumah kaca, katanya. Suhu di dalam rumah kaca bisa lebih tinggi, karena cahaya matahari yang menembus kaca akan dipantulkan kembali oleh benda-benda di dalam rumah kaca sebagai gelombang panas yang terperangkap dan tidak bercampur dengan udara dingin di luar ruangan. "Dari pengalaman para petani itulah dikaitkan dengan apa yang terjadi pada bumi dan atmosfir, sehingga muncullah istilah efek rumah kaca," katanya. Lapisan atmosfir paling bawah (troposfir) adalah bagian yang terpenting dalam kasus efek rumah kaca. Sekitar 35 persen dari radiasi matahari tidak sampai ke bumi. Sisanya yang 65 persen masuk ke dalam troposfir. Dari 65 persen cahaya matahari yang ada di troposfir sekitar 51 persen radiasi sampai ke permukaan bumi. Radiasi yang diterima bumi, sebagian diserap oleh tumbuhan, tanah dan air laut dan sebagian dipantulkan. "Radiasi yang diserap dipancarkan kembali dalam bentuk sinar inframerah," katanya. Sinar inframerah yang dipantulkan bumi kemudian diserap oleh molekul gas yang antara lain berupa uap air atau H20, CO2, metan (CH4), dan ozon (O3). Sinar panas inframerah ini terperangkap dalam lapisan troposfir dan oleh karenanya suhu udara di troposfir dan permukaan bumi menjadi naik. "Dari kondisi itu maka terjadilah efek rumah kaca. Sementara gas yang menyerap sinar inframerah disebut Gas Rumah Kaca," katanya. Menurut dia, efek rumah kaca itu sangat penting karena jika tidak ada efek rumah kaca, maka suhu rata-rata bumi bisa mencapai minus 180 derajat celcius. Jadi dengan adanya efek rumah kaca menjadikan suhu bumi layak untuk kehidupan manusia. Suhu meningkat panas yang terjadi saat ini diakibatkan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca secara global akibat kegiatan manusia terutama yang berhubungan dengan pembakaran bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batubara) seperti pada pembangkitan tenaga listrik, kendaraan bermotor, AC, komputer, memasak termasuk pembakaran lahan dan hutan. "Hal tersebut merupakan penyebab dominan pemanasan global yang terjadi saat ini," katanya. Pengurangan dampak negatif Menurut Koordinator Pusat Studi Lingkungan Wilayah I Sumatera Prof Dr Ir Nasfryzal Carlo MSc, ancaman tersebut sudah dirasakan dengan fakta-fakta menunjukan bahwa, pertama, es di kutub utara dan selatan telah mencair sehingga menambah volume dan permukaan air laut yang akhirnya membawa dampak banjir rob tanpa turunnya hujan. "Fakta kedua, pola hujan berubah-ubah; dulu guru kita mengajarkan bahwa musim hujan dimulai pada September hingga Maret dan musim kemarau pada April-Agustus. Tetapi, kini pada bulan yang berakhiran `ber` beberapa tempat tidak terjadi hujan bahkan terjadi musim kemarau sehingga masyarakat sulit mencari air," katanya. Ia menyebutkan, dari hasil penelitian ditemukan bahwa musim kemarau mengalami percepatan 40 hari dan musim hujan mundur sampai 40 hari. Artinya, kemarau menjadi lebih lama 80 hari dan musim hujan berkurang 80 hari. Dengan demikian, prediksi kedatangan musim hujan ataupun kemarau sulit ditentukan, dan mengakibatkan kerugian bagi petani akibat tidak tepatnya dalam penentuan musim tanam. "Fakta ketiga, sering terjadinya gelombang El Nino dan La Nina," katanya. El Nino menyebabkan kekeringan dan suhu yang lebih panas dan terjadinya serangan gelombang panas. Sedangkan La Nina merangsang peningkatan curah hujan di atas normal, katanya. Fakta lain, lanjut dia, mencairnya gletser-gletser sebagai cadangan air dunia. Terakhir, perubahan iklim juga dituding sebagai penyebab berkembangnya serangga ulat bulu (desiciria inclusa) di Probolinggo yang juga sudah sampai di Sumbar. Menurut Nasfryzal Carlo yang juga Direktur Pascasarjana Universitas Bung Hatta Padang, ada enam gas yang dinyatakan sebagai gas rumah kaca dengan kondisi berbeda memerangkap panas dan meningkatkan suhu udara, samudera, dan permukaan bumi. Polutan pertama adalah karbondioksida (CO2) dari pembakaran batu bara untuk listrik dan pemanas, pembakaran produk dari fosil seperti bensin, solar, bahan bakar pesawat pada kegiatan transportasi dan industri. "CO2 juga berasal dari akibat perubahan tata guna lahan yang disebabkan karena kebakaran hutan, pembukaan hutan akibat eksplotasi dan eksplorasi dalam pertambangan," katanya. Penyebab kedua adalah metana yang dibuat manusia dari aktivitas pertanian, kotoran ternak, penanaman padi, dan dari limbah organik di tempat pembuangan sampah. "Jelaga atau karbon hitam yang berasal dari pembakaran kayu, kotoran hewan dan sisa-sisa tanaman pangan untuk memasak dan pabrik batu bata menjadi penyebab ketiga pemanasan global," katanya. Penyebab keempat, lanjut dia, berasal dari bahan-bahan kimia khloroflorokarbon (CFC) yang banyak dijumpai pada peralatan pendingin (kulkas, AC) dan tabung penyemprot parfum. Karbon monoksida dan senyawa organik yang mudah menguap volatile organic compound (VOC) merupakan penyebab pemanasan global kelima. Karbon monoksida, katanya, paling banyak dihasilkan dari knalpot mobil-mobil dan motor di jalan raya. VOC berasal dari proses-proses industri dunia. Penyebab terakhir adalah nirus oksida yang berasal dari proses pertanian yang mengandalkan pupuk nitrogen atau pupuk amonia yang berbahan dasar kimia.(ANT)COPYRIGHT © ANTARA 2011 Jakarta - Efek rumah kaca atau Green House Effect (GHE) terbentuk dari adanya gas-gas rumah kaca di atmosfer bumi. Efek rumah kaca juga diartikan sebagai proses pemanasan alami, yang terjadi apabila gas-gasnya terperangkap radiasi panas di bumi. Dikutip dari buku IPA SMP/MTs Kelas VII terbitan Kemendikbud yang ditulis oleh Wahono Widodo, dkk, pada atmosfer bumi terdapat beberapa gas-gas rumah kaca alami yang penting, seperti siklus air, uap air (H2O), karbon dioksida (CO2), Nitrous Oxide (N2O) , Methana (CH4), Ozon (O3), CFC, dan HFC. Tanpa adanya gas-gas tersebut, kehidupan di bumi tidak akan mungkin terjadi. Atas alasan tersebut, maka efek rumah kaca hanya dapat terjadi pada planet-planet yang memiliki lapisan atmosfer saja, seperti Bumi, Mars, Venus, dan satelit alami Saturnus. Detikers, coba kalian bayangkan apabila gas-gas rumah kaca tidak ada pada atmosfer bumi? Suhu bumi akan menjadi sangat dingin, seperti halnya juga yang terjadi pada planet Mars. Sebaliknya, jika jumlah gas-gas rumah kaca di atmosfer bumi semakin bertambah, maka suhu bumi akan terus meningkat. Para ilmuwan telah mempelajari efek rumah kaca sejak tahun 1824. Salah satu ilmuan bernama Joseph Fourier, mengatakan bahwa adanya gas-gas rumah kaca tersebutlah yang membuat iklim bumi layak huni. Tanpa efek rumah kaca, diperkirakan permukaan bumi akan berubah sekitar 60°F atau 15,6° C lebih dingin. Penamaan efek rumah kaca sendiri didasarkan, karena peristiwa yang terjadi sama dengan rumah kaca, di mana panas yang masuk akan terperangkap di dalamnya, dan tidak dapat menembus ke luar kaca. Hal itu tentunya akan membuat suhu di dalam seisi rumah kaca tersebut akan lebih tinggi dibandingkan di luarnya. Proses efek rumah kaca terjadi ketika radiasi sinar matahari mengenai atmosfer bumi. Radiasi panas yang dipantulkan oleh bumi akan terhalang, sehingga panas tersebut terperangkap ke bumi. Proses terperangkapnya panas itu, kemudian menyebabkan suhu bumi meningkat. Gas rumah kaca membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam bumi, namun gas tersebut tidak bisa memantulkannya kembali ke permukaan bumi. Penyebab Terjadinya Efek Rumah KacaMenurut modul Fisika Paket C Setara SMA/MA Kelas XI oleh Marga Surya Mudhari, Drs, MT, penyebab timbulnya efek rumah kaca adalah adanya panas yang ditimbulkan cahaya matahari dari kumpulan gas-gas di permukaan bumi yang terperangkap dalam atmosfer bumi. Beberapa aktivitas yang menjadi penyebab timbulnya efek rumah kaca di antaranya, sebagai berikut: -Hasil pembakaran bahas bakal fosil seperti minyak bumi, batu bara, asap pabrik, dan hasil pembakaran bahan bakar dari kendaraan bermotor. -Tingginya pemakaian pupuk kimia dalam bidang pertanian.-Adanya penebangan liar disertai dengan pembakaran hutan (Deforestation). -Penggunaan chlorofluorocarbons (CFCs) pada alat pendingin seperti AC, secara berlebihan. -Adanya emisi gas metana dari aktivitas lahan sawah pertanian, hewan, dan lain-lain. Dampak Efek Rumah KacaBeberapa dampak yang timbul akibat adanya efek rumah kaca adalah: -Adanya perubahan temperatur bumi yang semakin tinggi, menyebabkan perubahan iklim di berbagai daerah di dunia.-Kegagalan panen secara besar-besaran, akibat perubahan iklim yang drastis.-Mencairnya glasier (bongkahan es), sehingga menyebabkan naiknya kadar air laut.-Meningkatkan risiko kepunahan berbagai spesies makhluk hidup. Penelitian dalam majalah Nature, mengungkapkan peningkatan suhu dari adanya efek rumah kaca, dapat menyebabkan kepunahan lebih dari satu juta spesies. -Menipisnya lapisan ozon pada atmosfer, yang melindungi bumi dari bahaya radiasi sinar ultra violet (UV). Hilangnya terumbu karang yang ada di perairan laut. Nah, itu dia penjelasan mengenai efek rumah kaca. Semakin tinggi tingkat konsentrasi gas rumah kaca, maka semakin besar pula efek yang ditimbulkan. Simak Video "KLHK Targetkan Tahun 2030 Indonesia Capai Net Sink Sektor Kehutanan" (nwy/nwy) |