Mengapa Sriwijaya disebut sebagai pusat pendidikan agama Buddha terbesar di Indonesia

Dibaca 19198 kali

Mengapa Sriwijaya disebut sebagai pusat pendidikan agama Buddha terbesar di Indonesia

Friday 26, Feb 2016 05:10 AM / AW

Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan bahari, tetapi dikenal juga sebagai salah satu pusat penyebaran agama Buddha dan pengajaran bahasa Sansekerta. Karena itulah Sriwijaya banyak dikunjungi oleh para bhiksu dari mancanegara. Namun, akibat dari hubungan­nya dengan kerajaan lain, tidak mustahil di Sriwijaya juga ada kelompok masyarakat yang beragama lain (Hindu, Tantris, dan bahkan Islam).

Sriwijaya bukan saja menjadi pusat kekuasaan yang besar, melainkan menjadi pusat kebudayaan, peradaban, dan pusat ilmu pengetahuan agama Buddha. Para bhiksu yang melawat ke Sriwijaya mempunyai tempat yang khusus. Mereka sangat dihormati oleh para penguasa dan rakyat Sriwijaya. Bhiksu yang datang ke Sriwijaya bukan hanya untuk sekadar singgah untuk beberapa saat, melainkan mereka tinggal untuk waktu yang lama dan mempelajari agama Buddha.

Dalam agama Buddha terdapat bermacam-macam mazhab, antara lain Mahayana dan Hinayana. Sumber tertulis dan arca-arca yang ditemukan mengindika­sikan bahwa agama Buddha yang berkembang di Sriwijaya bermazhab Mahayana. Akan tetapi, para bhiksu Buddha yang mempelajari agama Buddha di Sriwijaya bukan saja mem­pelajari agama Buddha Mahayana saja, melainkan agama Buddha dari mazhab lain.

Pusat pengajaran agama Buddha yang terbesar pada masa itu adalah Nalanda. Namun, beberapa sumber Tiongkok juga menyebutkan bahwa di Sriwijaya juga terdapat suatu perguruan tinggi Buddha yang cukup baik. Mengenai perguruan tinggi Buddha di Sriwijaya, I-tsing memberitakan tentang kehidupan keagamaan di Sriwijaya dan banyaknya bhiksu di kota.

Dikenalnya Sriwijaya sebagai pusat agama Buddha tidak lain adalah peranan dari Dharmakrti, seorang bhiksu Buddha yang pengetahuannya cukup luas. Ia adalah salah seorang bhiksu tertinggi di Sriwijaya yang menyusun kritik atas isi kitab Abhisamayalamkara. Demikian dikenalnya hingga pada tahun 1011 hingga 1023 Masehi, seorang bhiksu dari Tibet yang bernama Atisa (Dipamkararsjñana) datang ke Swarnna­dwipa untuk belajar agama pada Dharmakrti.

Aktivitas keagamaan pada masyarakat di wilayah Kadatuan Sriwijaya bukan hanya agama Buddha Mahayana saja, agama lain juga berkesempatan untuk berkem­bang. Bukti-bukti arkeologis berupa arca batu yang mewakili agama Hindu dan Tantris, juga ditemukan di wilayah Kadatuan Sriwijaya. Sebuah berita Arab menyebutkan adanya surat menyurat antara Maharaja Sriwijaya dan Khalifah Umar bin Abdul Azis. Dalam surat itu disebutkan permintaan kepada Khalifah untukmengirimkan mubaligh ke Sriwijaya.

(BBU)


Diposting pada tanggal 3 Agustus 2021

Sejak jaman kerajaan Sriwijaya, tempat pendidikan Buddha telah ada. Bukan hanya ada di Nalanda, India, namun sekolah keagamaan sudah ada di Nusantara berawal dari kerajaan Sriwijaya.

Sama halnya dengan yang ada di situs kuno Nalanda India, Indonesia juga memiliki bangunan kuno. Bangunan tersebut berfungsi sebagai tempat belajar dan asrama bagi pendeta.

Sejak awal masehi, pusat pembelajaran di India telah muncul. Ini ditandai oleh adanya situs Piprahwa, situs Nagarjunakonda, situs Ganwaria, dan situ Nalanda pada pemerintahan Gupta.

Periode Pala abad 8 akhir hingga abad 11 akhir, terdapat tradisi Nalanda yang berperan penting. Saat Pala dalam masa kejayaan, Buddha menjadi praktik dan ajaran resmi kerajaan.

Pada periode ini, telah banyak didirikan vihara sebagai pusat pendidikan, dengan Nalanda sebagai acuan. Pusat-pusat itu pula yang memberikan pengaruh perubahan ajaran Buddha Nusantara.

Tempat Pendidikan Masa Sriwijaya

Menurut I-Tsing, seorang pengelana yang datang untuk belajar ke tanah Sriwijaya, menyatakan bahwa adanya tempat pendidikan Buddha sekitar wilayah kekuasaan Foshi. Tepatnya lokasi ini disebut dengan Suvarnadivipa atau bernama Sumatera.

Berdasarkan prasasti India, bahwa ditemukan hubungan bilateral Raja Pala dan keturunan dari Syailendra. Sriwijaya membangun vihara di Nalanda demi kepentingan pengembangan pendidikan Nusantara.

Setelah dilakukan pencarian, ditemukanlah situs Muaro Jambi. Diketahui, kawasan ini telah ada sejak 7-12 M bersamaan dengan keberadaan Sriwijaya dan Melayu Kuno di pulau Sumatera.

Dengan adanya situs ini, menunjukkan betapa ajaran Buddha telah berkembang di bumi Nusantara, bersamaan tempat belajar. Lokasi yang dipakai untuk pusat pendidikan, juga merupakan tempat tinggal para biksu.

Tempat Pendidikan Masa Sekarang

Perkembangan tempat pendidikan Buddha tidak berhenti di masa Kerajaan Sriwijaya. Hingga detik ini, terdapat beberapa lokasi belajar tersebut ada di Indonesia, terutama perguruan tinggi, yaitu:

  1. Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Bodhi Dharma Medan
  2. STAB Negeri Raden Wijaya
  3. STAB Negeri Sriwijaya
  4. STAB Kertarajasa
  5. STAB Maha Prajna
  6. STAB Maiteyawira
  7. STAB Dharma Widya
  8. STAB Samathabadra
  9. STAB Nalanda
  10. STAB Syailendra
  11. STIAB Jinarakkhita
  12. STIAB Smaratungga

Sekolah ini ada dua jenis, sekolah asrama dan tidak. Tujuan dibangunnya sekolah buddhis untuk menciptakan tenaga pendidik di Indonesia. Terutama pastinya selain Guru agama buddha yang kompeten, diharapkan tempat pendidikan Buddha bisa melahirkan generasi yang taat pada ajaran Buddha.

Versi cetak
#tempat pendidikan buddha

Artikel Terkait


Diposting pada tanggal 3 Agustus 2021

Sistem pendidikan agama buddha bermula dari kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini sendiri merupakan kerajaan Buddha terbesar di Indonesia. Mulai dari Raja, masyarakat dan kerajaan-kerajaan di bawah kekuasaan Sriwijaya, menganut ajaran Buddha.

Kerajaan Sriwijaya sangatlah terkenal. Selain karena kemaritiman dan angkatan perang, Perguruan Tingginya pun juga terkenal. Pendidikan pada masa itu yang paling menonjol adalah ketatanegaraan, agama dan budaya.

Sebelum tahun 700, telah ada Perguruan Tinggi termahsyur di Sriwijaya yang terkenal sampai India dan China. Banyak mahasiswa China dan Asia Tenggara datang hanya untuk belajar di Perguruan Tinggi tersebut.

Dua mahaguru, Syakyakirti dan Dharmapala datang dari India untuk memberikan ilmu agama Buddha di Sriwijaya. Selain mereka, mahaguru Vajrabodhi turut mengunjungi Palembang pada 717 lalu menyebarkan agama Buddha di China.

Sistem Asrama di Kerajaan Sriwijaya

Seorang yang ingin memperdalam pengetahuan tentang ilmu agama Buddha. Haruslah terlebih dahulu masuk asrama. Biasanya mereka dinamakan cantrik. Kepala cantrik akan dicukur gundul, lalu mereka wajib mengenakan pakaian jubah kuning.

Seorang cantrik harus hidup sederhana. Sebagai pelajar, mereka dilarang membawa uang atau harta benda lainnya dari luar. Selain itu, cantrik dituntut belajar keras serta menjaga kebersihan ruang belajar juga asrama.

Sistem seperti ini pula yang diterapkan pada sistem pendidikan agama Buddha di kerajaan Sriwijaya masa itu. Dengan sistem demikian, maka pendidikan agama di Sriwijaya pun terkenal sampai ke seluruh dunia.

Hingga sekarang, sistem pendidikan agama Buddha di kerajaan Sriwijaya masih digunakan bahkan untuk agama lain. Salah satu contohnya adalah pendidikan pesantren dengan siswa yang disebut sebagai santri.

Sistem Pendidikan Pancavidya

Sebagai pusat agama Buddha, pendidikan pada masa kerajaan Sriwijaya merupakan pendidikan dengan misi penyebaran agama dan ajaran kehidupan secara menyeluruh. Hal ini juga dikenal dengan nama Pancavidya.

Pancavidya sendiri adalah sebuah sistem pendidikan agama Buddha di kerajaan Sriwijaya selain dengan adanya sistem asrama. Pancavidya dikenal dengan penerapan lima aspek ilmu pengetahuan, yaitu:

  1. Śabdavidyā (tata bahasa)
  2. Hetuvidyā (logika)
  3. Cikitsāvidyā (pengetahuan pengobatan)
  4. Śilakarmasthānavidyā (kesenian dan kerajinan)
  5. Adhyātmavidyā (teknik dan pengetahuan spiritualitas)

Untuk mendukung kemajuan wilayah, kerajaan Sriwijaya mengutus siswa mereka untuk belajar di Nalanda. Semua fasilitas seperti biaya hidup dan tempat tinggal ditanggung oleh kerajaan Sriwijaya, disebut sebagai beasiswa di masa modern.

Warisan kerajaan ini tidak hilang begitu saja. Mulai dari asrama, berbagai pemahaman ilmu, beasiswa, merupakan sistem pendidikan agama Buddha yang masih digunakan sampai detik ini.

Versi cetak
#sistem pendidikan agama buddha

Artikel Terkait

tirto.id - Sejarah Kerajaan Sriwijaya menjadi bukti bahwa agama Buddha pernah besar di Indonesia. Selain sebagai kerajaan penganut Buddha pertama di Nusantara, Sriwijaya pernah menjadi pusat pengajaran ajaran yang dirintis oleh Sidharta Gautama ini. Selain itu, lokasi Kerajaan Sriwijaya juga masih kerap diperdebatkan.

Pada abad ke-7 Masehi, Kerajaan Sriwijaya muncul setelah adanya kota-kota perdagangan di wilayah Sumatera. Saat itu, wilayah pantai Sumatera terkenal dengan keramaiannya karena merupakan salah satu jalur perdagangan. Namun, lokasi tepatnya kerajaan ini belum diketahui kendati konon pernah berpusat di Palembang.

Paul Michel Munoz dalam Early Kingdoms of the Indonesian Archipelagoand the Malay Peninsula (2006) mengungkapkan, salah satu alasan mengapa keberadaan Sriwijaya sangat sulit dipastikan adalah karena banyaknya nama yang dikait-kaitkan dengan penyebutan kerajaan ini.

Terdapat beberapa penyebutan untuk Sriwijaya. Dalam bahasa Sanskerta disebut sebagai Yavadesh atau Javadeh. Lalu, bangsa Cina menyebutnya Shih-li-fo-shih, San-fo-ts’I, atau San Fo Qi. Adapun para saudagar Arab memanggilnya Zabaj.

Mengapa Sriwijaya disebut sebagai pusat pendidikan agama Buddha terbesar di Indonesia

Baca juga:

  • Kejamnya Sultan Samudera Pasai dan Serbuan Majapahit
  • Sejarah Kepemimpinan Ratu Shima di Kerajaan Kalingga
  • Ketika Serambi Mekkah Diperintah Para Sultanah

Melacak Jejak Kerajaan Sriwijaya

Salah satu petunjuk yang menguatkan keberadaan Sriwijaya adalah Prasasti Ligor. Prasasti ini berbahasa Sanskerta, ditulis pada 775 M, dan terdapat penghormatan terhadap raja-raja Sriwijaya, seperti Sriwijayendraraja, Sriwijayeswarabhupati, dan Sriwijayanrpati.

Petunjuk lain mengenai keberadaan Kerajaan Sriwijaya dapat ditelusuri dari catatan seorang pendeta dari Cina pada masa Dinasti Tang di abad ke-7 bernama I Tsing. Menurut penelitian Gabriel Ferrand bertajuk L’Empire Sumatranais de Crivijaya (1922), I Tsing menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.

Nia Kurnia dalam Kerajaan Sriwijaya: Pusat Pemerintahan dan Perkembangannya (1983) meyakini bahwa catatan I Tsing harus mendapat tempat sebagai sumber informasi terpenting tentang Kerajaan Sriwijaya.

Berangkat dari pendapat tersebut, ada salah satu catatan I Tsing mengenai Sriwijaya.

“Banyak raja dan kelapa suku di pulau-pulau Laut Selatan memuja dan percaya (pada Buddhisme), dan hati mereka penuh tekad menghimpun perbuatan baik. Di kota berbenteng Bhoga, bhiksu-bhiksu Buddhis berjumlah lebih dari seribu dan pikiran mereka terarah pada pengetahuan dan karya yang baik. Mereka meneliti dan mempelajari segala perkara yang sama seperti di Kerajaan Tengah (Tiongkok), peraturan dan upacara tidak jauh berbeda. Kalau seorang bhiksu Cina ingin pergi ke barat untuk mendengarkan (ajaran) dan membaca (teks asli) sebaiknya dia tinggal di sini satu dua tahun dan berlatih menjalankan peraturan yang tepat lalu meneruskan perjalanan ke India Tengah."

Masih ada lagi bukti yang menyatakan keberadaan Kerajaan Sriwijaya, yakni Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang. J.G. Casparis dalam Indonesian Palaeography (1975) mengungkapkan bahwa prasasti ini berangka tahun 682 atau masih dalam perjalanan abad ke-7 M.

Baca juga:

  • Benarkah Sejarah Kerajaan Sriwijaya Fiktif Macam Kata Ridwan Saidi?
  • Mengapa Negara Majapahit Bubar?
  • Ratu Pramodhawardani: Kawin Beda Agama, Menganjurkan Toleransi

Sriwijaya Pusat Agama Buddha

Kemaharajaan Sriwijaya dikenal sebagai negeri bahari juga merupakan pusat pembelajaran agama Buddha terbesar di Asia Tenggara. Saat itu, Sriwijaya banyak dikunjungi oleh para biksu dari berbagai negara. Prasasti Ligor merupakan tanda petilasan Buddha telah dibuat di wilayah Sriwijaya.

Agama Buddha memiliki dua mazhab, Mahayana dan Hinayana. Dalam beberapa sumber tertulis dan arca yang ditemukan menyebutkan bahwa ajaran Buddha yang berkembang di Sriwijaya adalah Buddha Mahayana.

Kerajaan Sriwijaya dapat dikatakan sebagai pusat kebudayaan, peradaban, dan ilmu pengetahuan agama Buddha. Para biksu dari berbagai penjuru datang dan tinggal di kerajaan ini dalam waktu yang lama untuk mempelajari ajaran Buddha.

Terkenalnya Sriwijaya sebagai pusat pembelajaran ajaran Buddha tidak lepas dari peran Dharmakrti. Ia adalah biksu tertinggi di Kerajaan Sriwijaya yang memiliki pengetahuan luas tentang ajaran Buddha. Bahkan, Dharmakrti pernah menyusun kritik terhadap isi kitab Abhisamayalamkara.

Baca juga:

  • Gajah Mada dan Kontroversi Dalang Pembunuhan Raja Majapahit
  • Sejarah Kerajaan Majapahit: Pemimpin Lemah, Negara Punah
  • Mengenal Kerajaan Sekala Brak sebagai Leluhur Lampung

Dikutip dari situs resmi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, keilmuan Dharmakrti yang tinggi membuat seorang biksu dari Tibet yang bernama Atisa (Dipamkararsjnana) datang ke Sriwijaya untuk berguru kepadanya pada 1011 hingga 1023 M.

Setelah menjadi kerajaan besar dan pusat ajaran Buddha selama puluhan bahkan ratusan tahun, Kerajaan Sriwijaya mulai mengalami kemunduran, salah satunya lantaran invasi Kerajaan Chola dari India Selatan pada 1025 M.

Selain itu, munculnya kerajaan-kerajaan besar di Nusantara dan sekitarnya seperti Siam (Thailand) dan Singasari (Jawa bagian timur) juga semakin menggerus kejayaan Sriwijaya. Hingga akhirnya, Sriwijaya hancur pada 1377 M seiring dengan kemunculan dan semakin besarnya Kerajaan Majapahit.

Baca juga artikel terkait KERAJAAN SRIWIJAYA atau tulisan menarik lainnya Yuda Prinada
(tirto.id - prd/isw)


Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya
Kontributor: Yuda Prinada

Array

Subscribe for updates Unsubscribe from updates