Seorang laki-laki tidak diperbolehkan mengkhitbah wanita yang telah dikhitbah saudaranya sampai ia

Sebenarnya, ada perbedaan mendasar terkait khitbah dan tunangan menurut Islam

Dalam Islam, pernikahan adalah salah satu ibadah yang paling dianjurkan dan juga bagian dari sunnah nabi. Jika ada yang mengenal pertunangan sebagai jenjang menuju pelaminan, Islam mengenal khitbah sebagai jembatan menuju halal.

Meskipun tidak sama persis, namun Khitbah menjadi satu istilah yang paling mendekati dengan kata tunangan. Secara bahasa, Khitbah berarti meminta, meminang atau melamar seorang perempuan untuk dijadikan seorang istri.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), khitbah adalah upaya menuju ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara laki-laki dengan perempuan. Atau proses laki-laki dalam meminta perempuan untuk menjadi istrinya dengan menggunakan cara umum yang berlaku di tengah masyarakat.

Baca Juga: Mengenal Post-Engagement Anxiety, Keraguan untuk Menikah setelah Bertunangan

Landasan Hukum Khitbah

Seorang laki-laki tidak diperbolehkan mengkhitbah wanita yang telah dikhitbah saudaranya sampai ia

Foto: Indianexpress.com

Islam bukan hanya mengatur pernikahan termasuk juga khitbah di dalamnya. Dalam Alquran Allah SWT berfirman: ”Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.

Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf.

Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis idahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS Al-Baqarah: 235).

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda: “Nabi SAW melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang perempuan yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.”

Baca Juga: Benarkah Anda Sudah Siap Menikah?

Syarat dan Batasan Khitbah

Seorang laki-laki tidak diperbolehkan mengkhitbah wanita yang telah dikhitbah saudaranya sampai ia

Foto: Greytreestudios.com

Menurut sebagian besar ulama, khitbah dikategorikan sebagai pendahuluan atau persiapan sebelum menikah. Dan melakukan khitbah yang mengikat seorang perempuan sebelum menikah hukumnya adalah mubah atau boleh, selama syarat khitbah dipenuhi.

Khitbah diperbolehkan dalam Islam karena tujuannya hanyalah sekedar mengetahui kerelaan dari pihak perempuan yang dipinang, sekaligus sebagai janji bahwa pihak laki-laki serius dan akan menikahi perempuan tersebut.

Syarat untuk perempuan yang boleh untuk dikhitbah yakni:

  • Bisa dilakukan hanya pada perempuan yang masih perawan atau janda yang sudah habis masa iddahnya
  • Perempuan sedang tidak dalam masa iddah. Dalam Alquran Allah SWT berfirman: “Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.” (QS Al-Baqarah: 228).
  • Perempuan bukanlah mahrom dari laki-laki lain,
  • Perempuan sedang tidak dilamar oleh orang lain. Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah seseorang dari kamu meminang (perempuan) yang dipinang saudaranya, sehingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau telah mengizinkannya.” (HR Abu Hurairah).

Selain itu, khitbah merupakan salah satu tahapan sebelum pernikahan namun tidak termasuk dalam pernikahan. Sehingga, meskipun sudah khitbah, tetap ada batasan-batasan yang harus diketahui oleh calon pengantin tersebut.

  • Khitbah belum menjadi halal. Kedua belah pihak harus tetap dalam koridor syariat. Meski telah khitbah, namun harus tetap saling menjaga berbagai perbuatan yang dilarang oleh syariat dan saling menjauhkan diri dengan menjaga jarak antara pihak laki-laki dan perempuan.
  • Waktu khitbah tidak boleh terlalu lama. Waktu dari proses khitbah hingga menikah dianjurkan untuk tidak terlalu panjang. Menyegerakan pernikahan akan bermanfaat untuk menjauhkan fitnah dan berbagai potensi perbuatan yang kurang baik.

Baca Juga: Pentingnya Premarital Check Up, Persiapan Kehamilan 2 Bulan Sebelum Menikah

Tata Cara Khitbah

Seorang laki-laki tidak diperbolehkan mengkhitbah wanita yang telah dikhitbah saudaranya sampai ia

Foto: Zongorepublic.com

Dikutip dari Jurnal Ilmiah Syariah (Juris) hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep ta'aruf dalam Alquran mengacu pada pengenalan terhadap kepribadian, latar belakang sosial, budaya, pendidikan, keluarga, dan/atau agama.

Ta'aruf dan khitbah dalam Alquran menganjurkan untuk memprioritaskan aspek agama daripada faktor lainnya karena hanya agama yang dapat melanggengkan pernikahan. Sebaliknya, kekayaan, keturunan, kedudukan dan kecantikan akan luntur dan suatu saat akan hilang.

Selain itu, ada dua cara untuk menyampaikan khitbah, yaitu dengan enggunakan kata atau ucapan yang kurang jelas dan tidak terus terang. Atau juga menggunakan kata yang jelas dengan cara menyampaikan maksud tujuan secara langsung.

Ada juga beberapa hal yang harus diperhatikan baik oleh pihak laki-laki atau perempuan. Ini menjadi hal yang penting untuk bisa mendapatkan proses khitbah yang lancar hingga berujung menuju ke proses pernikahan yakni:

1. Mengetahui dan Melihat Calon Istri

Meskipun bukan kewajiban, namun ini sangat disarankan sebelum melakukan ke proses khitbah. Ini bertujuan untuk menghindari fitnah, keraguan dari pihak laki-laki ataupun masalah baru yang mungkin akan timbul nantinya.

Melihat di sini maksudnya adalah menilai bagimana perempuan yang akan dinikahi dalam pandangan aturan syar’i. Dalam riwat dari Anas bin Malik, ia berkata “Mughirah bin syu’bah berkeinginan untuk menikahi seorang perempuan. Lalu Rasulullah SAW bersabda:

‘Pergilah untuk melihat perempuan itu karena dengan melihat itu akan mebmerikan jalan untuk dapat lebih membina kerukunan antara kamu berdua’. Lalu ia mlihatnya, kemudian menikahi perempuan itu dan ia menceritakan kerukunannya dengan perempuan itu.” (HR Ibnu Majah).

Ini juga termasuk dalam syarat mustahsinah, yakni syarat yang menganjurkan pihak laki-laki untuk mencari tahu dulu perempuan yang akan dikhitbah. Pihak lelaki perlu melihat dulu sifat dan seperti apa penampilan perempuan yang akan dipinang.

Hal ini sesuai dengan anjuran Rasulullah SAW dalam sebuah hadits: “Perempuan dikawin karena empat hal, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, maka akan memelihara tanganmu.” (HR Abu Hurairah).

2. Calon Tidak Dalam Proses Dilamar Orang Lain

Sebelum khitbah, sangat penting bagi pihak laki-laki mencari tahu informasi dari perempuan yang akan dinikahinya. Jangan sampai sudah masuk dalam proses khitbah, namun ternyata perempuan tersebut sudah menjadi pinangan orang lain.

Dari Ibnu Umar RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah seseorang di antara kamu melamar seseorang yang sedang dilamar saudaranya, hingga pelamar pertama meninggalkan atau mengizinkannya.” (HR Muttafaq Alaihi).

3. Perempuan Berhak Memilih atau Menolak

Pihak perempuan memiliki hak untuk menolak ataupun menyetujui lamaran yang datang. Oleh karena itu, pada proses khitbah pihak perempuan harus ditanya dan ditunggu hingga ia memberikan jawabannya.

Selain itu, tidak dianjurkan untuk memberikan paksaan kepada pihak perempuan sesuai hadis saat Rasulullah SAW bersabda: “Janda lebih berhak atas dirinya dibanding walinya. Sedangkan gadis dimintai izin tentang urusan dirinya. Izinnya adalah diamnya,” (Mutaffaqun Alaih).

Islam tidak melarang pembatalan dari proses lamaran. Ini karena khitbah hanya merupakan proses menuju pernikahan saja dan bukan akad nikah. Meski begitu, diperlukan kehati-hatian jika hendak membatalkannya karena bisa menyakiti hati orang lain.

Jika pihak pria membatalkan khitbah, tidak dibenarkan untuk mengambil kembali pemberian yang berada dalam proses khitbah tersebut. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak halal bagi seseorang muslim memberi sesuatu kepada orang lain kemudian memintanya kembali, kecuali pemberian ayah kepada anaknya.” (HR Ahmad).

Karena khitbah adalah suatu proses untuk lancarnya pernikahan, segala syarat dan aturan harus dipenuhi agar mendapatkan hasil yang diinginkan dan mendapatkan kehidupan pernikahan yang bahagia.

  • https://www.researchgate.net/publication/330706311_TA'ARUF_DAN_KHITBAH_SEBELUM_PERKAWINAN
  • https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/khitbah-dalam-islam
  • https://www.islampos.com/hakikat-khitbah-dalam-islam-perhatikan-ini-134376/

Hidayatullah.com | PADA suatu hari, ada kejadian yang menyebutkan bahwa salah seorang ustadz yang juga tokoh masyarakat di ibu kota. Ia didatangi oleh seorang pemuda dengan maksud untuk melamar anak perempuannya yang belum menikah, ustadz tersebut menjawab, “Anak saya sudah ada yang melamar.“

Apakah jawaban tersebut menunjukkan bahwa seorang perempuan yang sudah dilamar oleh laki-laki, baik perempuan tersebut menerima, menolak, atau belum memberikan jawaban atas lamaran tersebut, pasti tidak boleh bagi laki-laki lain untuk melamarnya? Bolehkah melamar perempuan yang sudah dilamar?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu diketahui terlebih dahulu bahwa para ulama membagi perempuan yang telah dilamar seorang laki-laki, menjadi tiga keadaan.

Keadaan Pertama:

Perempuan tersebut sudah dilamar oleh laki-laki lain dan telah menerima lamarannya, maka tidak dibenarkan laki-laki lain datang untuk melamarnya, sampai laki-laki yang pertama membatalkan lamarannya atau mengijinkan orang lain untuk melamarnya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Nawawi di dalam Syarh Shohih Muslim,Kairo, Dar al-Bayan, 1407/1987, jilid 3, juz 9 : 197, begitu juga oleh Ibnu Qudamah, di dalam al-Mughni, 10/ 567.

Dalilnya adalah hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ وَلَا يَسُومُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ

“Janganlah meminang wanita yang telah dipinang saudaranya, dan janganlah menawar barang yang telah ditawar saudaranya.“ (HR: Muslim, no : 2519).

Di dalam riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata:

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَلَا يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ

“Nabi Muhammad ﷺ telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya. Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan yang lain hingga peminang sebelumnya meninggalkannya, atau ia telah diijinkan peminang sebelumnya.” (HR: Bukhari, no : 4746).

Hanya saja, para ulama berbeda di dalam menafsirkan larangan dalam hadits di atas. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa larangan tersebut menunjukkan keharaman, sedang sebagian yang lain berpendapat bahwa larangan tersebut menunjukkan makruh bukan haram.

Bahkan Ibnu Qasim dari Madzhab Malikiyah mengatakan: “Maksud dari larangan hadist di atas, yaitu jika orang yang sholeh melamar seorang perempuan, maka tidak boleh laki-laki sholeh yang lain melamarnya juga. Adapun jika pelamar yang pertama bukan laki-laki yang sholeh (orang fasik), maka dibolehkan bagi laki-laki sholeh untuk melamar perempuan tersebut.“ (Ibnu Rusydi, Bidayah al-Mujtahid, Beirut, Dar al Kutub al-Ilmiyah, 1988, cet ke – 10 , juz : 2 /3).

Apa hikmah di balik pelarangan tersebut?

Hikmahnya adalah supaya pelamar pertama tidak kecewa, karena lamarannya yang sudah menerimanya kok tiba-tiba membatalkannya hanya karena datang laki-laki lain, dan ini akan berpotensi terjadinya permusuhan, kebencian dan dendam antara satu dengan yang lain.

Bagaimana hukumnya jika laki-laki kedua bersikeras untuk melamarnya dan menikahinya?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :

  • Pendapat Pertama menyatakan bahwa laki-laki tersebut telah bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi status pernikahan antara keduanya tetap sah dan tidak boleh dibatalkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
  • Pendapat Kedua menyatakan bahwa penikahan keduanya harus dibatalkan. Ini adalah pendapat Daud dari Madzhab Dhohiriyah.
  • Pendapat Ketiga menyatakan jika keduanya belum melakukan hubungan seksual , maka pernikahannya dibatalkan, tetapi jika sudah melakukan hubungan seksual, maka tidak dibatalkan. Ini adalah pendapat sebagian pengikut Imam Malik.

Adapun Imam Malik sendiri mempunyai dua riwayat, yang satu menyatakan batal, sedang riwayat yang lain menyatakan tidak batal. (Ibnu Rusydi, Bidayah al-Mujtahid, juz : 2 /3).

Keadaan Kedua:

Perempuan tersebut sudah dilamar laki-laki lain, tetapi perempuan tersebut menolak lamaran itu atau belum memberikan jawaban. Di dalam Madzab Imam Syafi’i ada dua pendapat tentang masalah ini, yang paling benar dari dua pendapat tersebut adalah hukumnya boleh. (al-Khotib as-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Beirut, dar al Kutub al Ilmiyah, 1994, Cet ke – 1, Juz : 4/ 222).

Dalilnya adalah hadist Fatimah binti Qais yang telah dicerai suaminya Abu Amru bin Hafsh tiga kali, kemudian beliau datang kepada Rasulullah ﷺ mengadu: قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ “Dia (Fathimah binti Qais) berkata: “ Setelah masa iddahku selesai, kuberitahukan hal itu kepada beliau( Rasulullah saw ) bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Al Jahm telah melamarku, lantas Rasulullah saw bersabda: “Adapun Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya (suka memukul ), sedangkan Mu’awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid.” Namun saya tidak menyukainya, beliau tetap bersabda: “Nikahlah dengan Usamah.” Lalu saya menikah dengan Usamah, maka Allah telah memberikan limpahan kebaikan padanya, sehingga aku meras bahagia hidup dengannya.” (HR: Muslim, no : 2709). Berkata Imam Syafi’I menerangkan hadist di atas:

وقد أَعْلَمَتْ فَاطِمَةُ رَسُولَ اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم أَنَّ أَبَا جَهْمٍ وَمُعَاوِيَةَ خَطَبَاهَا وَلَا أَشُكُّ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ خِطْبَةَ أَحَدِهِمَا بَعْدَ خِطْبَةِ الْآخَرِ فلم يَنْهَهُمَا وَلَا وَاحِدًا مِنْهُمَا ولم نَعْلَمْهُ أنها أَذِنَتْ في وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَخَطَبَهَا على اسامة ولم يَكُنْ لِيَخْطُبَهَا في الْحَالِ التي نهى فيها عن الْخِطْبَةِ ولم أَعْلَمْهُ نهى مُعَاوِيَةَ وَلَا أَبَا جَهْمٍ عَمَّا صَنَعَا وَالْأَغْلَبُ أَنَّ أَحَدَهُمَا خَطَبَهَا بَعْدَ الْآخَرِ فإذا أَذِنَتْ الْمَخْطُوبَةُ في إنْكَاحِ رَجُلٍ بِعَيْنِهِ لم يَجُزْ خِطْبَتُهَا في تِلْكَ الْحَالِ