TERNATE, BRN - Warna air laut di perairan Pulau Makian, Halmahera Selatan, Maluku Utara, tiba-tiba menjadi merah. Fenomena itu sontak membuat warga di pulau setempat geger. Perubahan warna biru ke merah atau hijau kekuningan yang diserta ikan mati mendadak itu ada hubunganya dengan ledakan alga atau blooming alga. Ledakan alga atau istilah lainnya populasi fitoplankton ini yaitu tumbuhan yang hidupnya mengapung atau melayang di laut, biasanya terjadi perairan air laut atau danau. Akademisi Perikanan Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Azis Husen mengemukakan, blooming alga merupakan suatu peristiwa dimana jumlah alga yang berada diperairan membludak jumlahnya. Disisi lain, faktor lain penyebab air laut berubah adalah pembuangan limbah industri dan limbah rumah tangga. “Limbah yang mengalir sampai laut itu mengandung nutrient,nitrat dan ortofosfat yang bisa menstimulasi proses pembiakan alga,” kata Azis dalam keterangannya yang diterima brindonews.com, Selasa (25/22) pagi. Ledakan populasi alga adalah suatu kondisi dimana populasi alga (umumnya alga mikroskopis) di dalam ekosistem perairan mengalami peningkatan populasi dikarenakan perubahan kondisi lingkungan. Ledakan populasi alga dapat menyebabkan perubahan warna pada ekosistem perairan dengan warna sesuai dengan jenis alga. Misal warna hijau muda dapat disebabkan oleh cyanobacteria dan warna merah disebabkan oleh dinoflagellata. “Selain itu, ledakan alga juga terjadi ada pemanasan global atau naiknya suhu perairan laut. Kalau suhu naik, maka aktivitas metabolisme alga jadi terpicu dan pecah sehingga warna air laut berubah dan reproduksi alga secra berlangsung lebih cepat,” lanjut alumnus mengister perikanan Universitas Brawijaya Malang itu. Sementara warna yang muncul, kata dia, bergantung pada pigmen atau zat warna tubuh mikroalgae yang meledak. Biasanya kejadian seperti ini (blooming alga) sangat berbahaya, karena selain bisa merusak sumber daya perikanan, bahkan juga pada manusia.
“Ini
juga bisa memengaruhi arus laut sehingga pergerakan masa air tidak lagi normal,
lalu terjadi ledakan alga. Alga adalah hewan mikroskopik yang menyerupai
tumbuhan dan merupakan organisme yang umumnya terdapat di perairan disinari
cahaya matahari,” kata Azis.
Peneliti alga dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Boy Rahardjo Sidharta, mengatakan, ada dua kemungkinan terjadinya perubahan warna air laut. Kemungkinan pertama yaitu pencemaran kimiawi berupa zat warna, dan yang kedua adalah fenomena red tide.
Red tide merupakan perubahan air laut menjadi merah yang disebabkan oleh ledakan populasi alga merah, jenis alga yang sel-selnya kaya pigmen phycoerythrin. “Kalau jumlahnya sedikit, tidak kelihatan merah. Tapi, ketika terjadi blooming yang dalam 1 ml bisa berisi ribuan-jutaan sel, maka sangat jelas terlihat dengan mata telanjang,” kata Boy. Penyebab ledakan populasi alga bisa beragam, mulai dari melimpahnya nutrien di laut atau yang disebut eutrofikasi hingga pemanasan global. Suhu air laut yang meningkat akibat pemanasan global memicu peningkatan metabolisme sel alga. Akibatnya, kecepatan pembelahan atau reproduksi alga juga meningkat. “Kalau sudah membelah cepat, maka akan mendominasi dan perairan ‘berubah’ menjadi merah, atau hijau, coklat, atau lainnya,” kata Boy saat seperti dikutip dilaman kompas.com, Selasa sore.Belajar dari Kasus Teluk Ambon Kepala Pusat Penelitian Laut Dalam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI, Nugroho Dwi Hananto mengemukakan, penyebab ledakan populasi alga di Teluk Ambon, Maluku 2012 silan disebabkan Eutrofikasi. Eutrofikasi didefinisikan sebagai peningkatan unsur hara ke level yang sangat tinggi dan melampau batas yang dapat diterima oleh alam. Peningkatan unsur hara ini merangsang meledaknya populasi alga berbahaya (Harmful Blooming Algae/HABs). “Populasi alga yang tidak kasat mata ini dapat mempengaruhi aspek: ekonomi dan kehidupan masyarakat di ekosistem khususnya Teluk Ambon,” ungkap Nugroho seperti dilansir dilaman lipi.go.id Nugroho menjelaskan, Teluk Ambon merupakan perairan semi tertutup (semi-enclosed bay) yang dicirikan anatara teluk bagian dalam dan teluk luar dipisahkan oleh sebuah ambang (sill) yang sempit dan dangkal. Kondisi ini menyebabkan terhambatnya sirkulasi massa air di teluk bagian dalam. “ Retensi Teluk Ambon mencapai tujuh tahunan, menyebabkan sirkulasi massa air tidak berjalan keluar. Fenomena alam ini, akan tumbuh unsur hara berlebih dan berakibat pada ledakan pertumbuhan alga,” terangnya. Profesor riset dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Sam Wouthuyzen menjelaskan, akibat eutrofikasi menimbulkan beberapa kejadian marak alga dari jenis mikro alga berbahaya. Diantaranya Pyrodinium bahamense var. compressum dan Gymnodinium bahamense, yang menybebabkan kematian pada manusia.
“Ditengarai ada dua penyebab utama eutrofikasi. Pertama, terjadi peningkatan jumlah penduduk. Kedua, pembukaan lahan yang cepat namun tidak tertata baik dan tidak ramah lingkungan,” jelasnya. Peneliti Pusat Penelitian Laut Dalam LIPI, Hanung Agus Mulyadi mengatakan, kelambatan sirkulasi massa air tersebut disebabkan oleh perbedaan kedalaman penghubung yang relatif sempit dan dangkal serta kondisi pasang surut pasang surut harian ganda campuran. “Terjadi dua kali pasang dan dua kali surut secara simultan selama 24 jam. Kondisi semacam ini berdampak terjadinya penumpukan materi di dasar perairan yang diiringi dengan peningkatan unsur hara,” ungkap Hanung.
Di Ambon, rekam jejak fenomena HABs sudah tercatat setidaknya dekade 90-an.
Pada bulan Juli tahun 1994 terjadi blooming alga jenis Pyrodinium bahamense var compressum dan dilaporkan tiga orang meninggal dan puluhan orang harus dirawat
secara medis setelah mengkonsumsi biota laut. Kejadian kemudian berlanjut di
tahun 2012 dengan jenis yang sama. Ledakan populasi alga adalah suatu kondisi di mana populasi alga (umumnya alga mikroskopis) di dalam ekosistem perairan mengalami peningkatan populasi dikarenakan perubahan kondisi lingkungan. Umumnya spesies yang terlibat hanya sedikit. Ledakan populasi alga dapat menyebabkan perubahan warna pada ekosistem perairan dengan warna sesuai dengan jenis alga. Misal warna hijau muda dapat disebabkan oleh cyanobacteria dan warna merah disebabkan oleh dinoflagellata.
Tidak ada batasan populasi untuk mendefinisikan kasus ledakan populasi alga, namun konsentrasi ribuan sel per mililiter air sudah terlihat perbedaannya dengan ekosistem perairan normal. Pada kondisi yang parah, konsentrasi dapat mencapai jutaan sel per mililiter. Ledakan populasi alga dapat memberian dampak negatif bagi organisme lainnya dengan memproduksi toksin atau akibat dekomposisi alga. Ledakan populasi alga sering kali terkait dengan kematian organisme skala besar (misal kebinasaan ikan) dan keracunan kerang.[1] Alga, hewan mikroskopik yang menyerupai tumbuhan merupakan organisme yang umum terdapat di perairan yang disinari cahaya matahari. Organisme ini disebut fitoplankton dan merupakan dasar dari rantai makanan di perairan. Lebih dari 5000 spesies fitoplankton terdapat di seluruh dunia, dengan 2% diantaranya merupakan fitoplankton berbahaya atau beracun.[2] Ledakan populasi alga dari spesies yang membahayakan dapat memiliki berbagai dampak bagi ekosistem lautan, tergantung pada jenis spesiesnya, lingkungan, dan mekanisme biokimia alga dalam mempengaruhi lingkungan. Ledakan populasi alga dapat memiliki dampak yang membahayakan bagi berbagai jenis hewan laut. Kematian massal lumba-lumba hidung botol yang terjadi di Florida pada musim semi tahun 2004 dikarenakan konsumsi ikan dari genus Brevoortia dan Ethmidium yang mengakumulasi brevetoksin dari plankton dinoflagellata Karenia brevis.[3] Kematian massal manatee juga diakibatkan oleh brevetoksin, namun vektornya bukan ikan melainkan lamun Thalassia testudinium.[3] Mamalia laut lainnya, yaitu paus Eubalaena glacialis telah terpapar neurotoksin karena memakan zooplankton berbahaya.[4] Berbagai jenis dinoflagellata toksik seperti Alexandrium fundyense diketahui memiliki siklus ledakan populasi. Zooplankton copepod memakan plankton toksik dan toksik ini akan diteruskan dan diakumulasikan ke tingkatan trofik rantai makanan di atasnya. Toksik ini mengganggu kemampuan bernafas, perilaku memakan, dan kondisi reproduksi.[4] Brevetoksin juga telah meracuni spesies terancam penyu Caretta caretta. Brevetoksin melemahkan otot penyu sehingga akan mudah hanyut terbawa arus hingga ke pantai.[5] Boga bahari yang terkontaminasi toksin dari alga juga telah menyebabkan kematian bagi manusia.[6] Karena dampaknya bagi kesehatan dan sektor ekonomi, ledakan alga kini semakin sering dipantau.[7][8] Di Afrika Selatan, Alexandrium catanella menjadi makanan bagi kerang laut sehingga toksin terakumulasi dan tidak aman dikonsumsi oleh manusia.[9] Dinoflagellata Alexandrium fundyense diketahui memproduksi neurotoksin saksitoksin. Karenia brevis memproduksi brevetoksin. Diatom Pseudo-nitzschia memproduksi neurotoksin asam domoat. Penyebab ledakan populasi alga sering kali tidak bisa diniai apakah disebabkan oleh manusia atau merupakan kejadian alami.[10] Beberapa tampak jelas merupakan hasil aktivitas manusia.[11] Ledakan populasi alga dapat disebabkan oleh spesies yang berbeda dengan kebutuhan kondisi lingkungan yang berbeda pula. Ledakan populasi alga dapat dikaitkan dengan tingkat penggunaan pupuk yang digunakan oleh manusia di aktivitas pertanian, sedangkan pada kondisi lainnya ledakan alga dapat diprediksi melalui perubahan musim dan pergerakan arus air laut di kawasan pantai.[12] Pertumbuhan fitoplankton di lautan umumnya dibatasi oleh keberadaan jumlah nitrat dan fosfat serta jenisnya (amonia, urea, atau dalam bentuk ion), yang keduanya dapat berada di muara dekat pantai yang merupakan hasil limpasan dari lahan pertanian. Nutrisi lainnya yang dapat mempengaruhi yaitu keberadaan zat besi, silika, dan karbon juga berperan dalam ledakan populasi alga. Perubahan iklim meningkatkan temperatur dan keasaman air laut yang diperkirakan juga berperan bagi peningkatan populasi alga secara mendadak.[13] Beberapa faktor alami yang diperkirakan berperan dalam ledakan ppulasi alga yaitu debu yang kaya zat besi yang tertiup dari Sahara ke samudera Atlantik;[14] El Niño, dan abu dari erupsi gunung Eyjafjallajökull.[15] Ledakan alga di Teluk meksiko telah terlihat sejak zaman penjelajahan oleh Cabeza de Vaca,[16] namun belum diketahui apakah merupakan peran manusia atau terjadi secara alami karena pertanian sudah dilakukan oleh penduduk asli setempat. Dan masih belum terlalu jelas keterkaitan antara peningkatan ledakan populasi alga di berbagai tempat di dunia dengan aktivitas manusia atau karena teknologi observasi dan identifikasi semakin lebih baik.[17][18]
|