Apakah penyakit TBC bisa menyebabkan kematian?

Apakah penyakit TBC bisa menyebabkan kematian?
Apakah penyakit TBC bisa menyebabkan kematian?

Menurut organisasi kesehatan dunia, (WHO), sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi bakteri penyebab tuberkulosis. Setiap detiknya, ada satu orang yang terinfeksi TBC. Data pada tahun 2019 menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ketiga sebagai negara dengan kasus tuberkulosis (TBC) terbanyak di dunia, setelah India dan Tiongkok. TBC di Indonesia memang masih menjadi momok yang menakutkan dan terus digalakkan pengendaliannya.

Mengetahui data dan fakta TBC di Indonesia bisa membantu Anda menjadi lebih waspada terhadap penyakit yang satu ini.

Berdasarkan data yang dikumpulkan dari Profil Kesehatan Indonesia tahun 2018 oleh Kementerian Kesehatan RI, berikut berbagai fakta seputar penyakit TBC di Indonesia yang menarik dan penting untuk Anda ketahui:

1. TBC adalah penyakit menular pembunuh nomor satu di Indonesia

Di Indonesia sendiri, TBC adalah infeksi penyebab kematian nomor satu dalam kategori penyakit menular. Namun, jika dilihat dari penyebab kematian umum, TBC menempati posisi ke-3 setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut di semua kalangan usia.

Jumlah kasus tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2018 adalah sekitar 566.000 kasus. Angka ini meningkat dari data penyakit tuberkulosis yang tercatat pada tahun 2017, yaitu di kisaran 446.00 kasus.

Sementara itu, jumlah kematian yang tercatat akibat penyakit TBC berdasarkan data WHO 2019 adalah 98.000 jiwa. Termasuk di antaranya adalah 5300 kematian dari pasien tuberkulosis yang menderita penyakit HIV/AIDS.

2. TBC paling banyak menyerang laki-laki usia produktif

Kasus tuberkulosis pada laki-laki 1,3 kali lebih banyak dibandingkan perempuan. Begitu pun pada data penyakit tuberkulosis pada masing-masing provinsi di seluruh Indonesia.

Kasus tuberkulosis terbanyak ditemukan pada kelompok usia 45-54 sebesar 14,2 %, diikuti kelompok usia produktif (25-34 tahun) yaitu sebesar 13,8%, dan pada kelompok umur 35-44 tahun sebesar 13,4 %.

Dari data tersebut dapat diartikan bahwa semua orang pada dasarnya bisa terjangkit tuberkulosis. Terutama untuk mereka yang memiliki faktor risiko penyebab TBC, seperti sistem imun lemah atau sering kontak dengan pasien.

3. Angka kejadian TBC di rutan dan lapas cukup tinggi

Kejadian penyakit TBC di Indonesia sangat tinggi terutama di perkotaan, tempat padat dan kumuh, serta lingkungan tempat kerja.

Namun, catatan WHO pada tahun 2014 menyebutkan bahwa kasus TBC di rutan dan lapas Indonesia bisa 11-81 kali lipat lebih tinggi daripada populasi umum. Pada tahun 2012 terdapat 1,9% populasi tahanan rutan Indonesia yang terinfeksi TB. Angka ini meningkat menjadi 4,3% pada tahun 2013 dan 4,7% pada tahun 2014.

Bakteri penyebab TBC bisa hidup tahan lama di ruangan berkondisi gelap, lembap, dingin, dan tidak memiliki ventilasi yang baik. Situasi inilah yang terjadi pada kebanyakan lapas dan rutan di Indonesia. Indonesia hanya memiliki 463 rutan yang cukup untuk menampung 105 ribu tahanan. Namun kenyataannya, lapas di Tanah Air diisi hingga 160 ribu orang, alias sangat melebihi kapasitas.

Para tahanan yang terduga TBC tidak dikarantina dalam ruangan khusus. Oleh karena itu, angka penularan TBC di lapas terus mengalami peningkatan.

4. DKI Jakarta menempati provinsi dengan kasus TBC terlapor tertinggi

Menurut Profil Kesehatan Kemenkes RI, DKI Jakarta adalah provinsi dengan jumlah total kasus terlapor TBC terbanyak pada tahun 2018. Setelah itu, disusul oleh Sulawesi Selatan dan Papua.

Sementara itu, kasus TBC paling rendah dimiliki oleh Nusa Tenggara Barat.

5. Tingkat keberhasilan kesembuhan TBC di Indonesia berubah-ubah

Angka keberhasilan pengobatan adalah indikator yang digunakan untuk mengevaluasi pengendalian TBC di suatu negara. Angka tersebut didapatkan dari jumlah semua kasus TBC yang sembuh dari pengobatan lengkap di antara semua kasus TBC yang mengikuti pengobatan.

Kemenkes menetapkan standar minimal persentase keberhasilan pengobatan TBC secara nasional sebesar 90%, tidak berbeda jauh dari WHO yang mematok angka di 85% untuk setiap negara dengan kasus TBC terbanyak. Pada tahun 2018, angka keberhasilan pengobatan TBC Indonesia telah mencapai hasil yang diharapkan.

Akan tetapi, tingkat keberhasilan pengobatan TBC sepanjang tahun 2008-2009 pernah mencapai 90%, dan terus turun serta berubah-ubah. Data terakhir, keberhasilan pengobatan TBC di Indonesia tercatat di angka 85 persen. Persentase kesembuhan TBC paling rendah pernah terjadi pada tahun 2013, yaitu sekitar 83 persen.

Sumatera Selatan menjadi provinsi yang memiliki tingkat keberhasilan tertinggi, yaitu sebesar 95% dan yang terendah sebesar 35,1% untuk provinsi Papua Barat. Sementara tingkat keberhasilan pengobatan di provinsi DKI Jakarta yang memegang kasus terlapor terbesar baru mencapai 81%.

Penyebab tingginya kasus TBC di Indonesia

Dilansir dari halaman Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan tingginya kasus TBC di Indonesia, yaitu:

1. Waktu pengobatan yang relatif lama

Sekitar 6-8 bulan menjadi penyebab orang dengan TBC menghentikan pengobatan di tengah jalan setelah merasa sehat padahal masa pengobatan belum selesai. Hal ini akan membuat bakteri tetap hidup dan terus menginfeksi tubuh serta orang terdekatnya.

2. Adanya peningkatan orang yang terinfeksi HIV/AIDS

Virus HIV dapat melemahkan kekebalan tubuh. Oleh karena itu, orang dengan HIV akan mudah terinfeksi penyakit lain termasuk TBC sehingga orang dengan HIV/AIDS atau ODHA dianjurkan untuk mengikuti tes TBC. Orang yang terinfeksi HIV/AIDS berisiko 20 sampai 30 kali lebih mungkin untuk terinfeksi TBC. Sekitar 400 ribu ODHA di dunia meninggal akibat TB pada tahun 2016, lapor WHO.

Selain ODHA, anak-anak, lansia, penderita kanker, diabetes, ginjal, dan penyakit autoimun lainnya berisiko lebih tinggi untuk terinfeksi TBC karena sistem imunnya tidak mampu melawan pertumbuhan bakteri TBC yang ganas.

3. Munculnya permasalahan resistansi/kebal obat antituberkulosis

Bakteri penyebab TBC bisa kebal terhadap beberapa jenis antibiotik sehingga menyulitkan proses penyembuhan. Salah satu penyebabnya adalah kelalaian mengikuti aturan pengobatan TBC. Kondisi ini dikenal juga dengan TBC resistan obat atau TB MDR. Jumlah kasus resistan obat tuberkulosis terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2018, terdapat lebih dari 8.000 kasus TB MDR.

Walaupun data dari situasi penyakit TBC di Indonesia selama 2018 bisa membuktikan bahwa penyakit ini bisa diobati, penyakit ini tetap memerlukan upaya pengendalian khusus dari pemerintah. Di Indonesia pencegahan penyakit TBC sedari dini bisa dilakukan melalui vaksin BCG. Pastikan pula Anda selalu menjaga kesehatan dan kebersihan diri.

Hello Health Group tidak menyediakan saran medis, diagnosis, atau perawatan.

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang menyerang sistem pernapasan tepatnya di paru-paru. Jika tidak menjalani pengobatan TBC, penyakit ini juga dapat menyebar ke bagian tubuh yang lainnya, seperti ginjal, tulang belakang, dan otak.

Penyebab penyakit TBC adalah infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini memiliki kekerabatan dekat spesies mikobakterial lainnya yang juga bisa menyebabkan tuberkulosis, yaitu M. bovis, M. africanum, M. microti, M. caprae, M. pinnipedii, M. canetti, dan M. mungi. Namun sebagian besar kasus tuberkolosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.

Kemunculan bakteri ini memang masih belum diketahui secara pasti, tapi diperkirakan berasal dari hewan-hewan ternak.

Penularan TBC terjadi ketika seseorang menghirup udara yang telah terkontaminasi Mycobacterium tuberculosis. Setelah masuk ke dalam tubuh, bakteri akan mulai menginfeksi paru-paru, tepatnya di bagian alveoli, yaitu kantong udara yang menjadi tempat pertukaran oksigen dan karbon dioksida.

Infeksi Mycobacterium tuberculosis

Saat masuk ke dalam tubuh, sebenarnya sebagian dari jumlah bakteri telah berkurang berkat perlawanan sel makfrofag, yakni bagian sel darah putih yang menjadi bagian dari sistem imun. Sebagian bakteri yang lolos dari perlawanan makrofag kemudian berkembang biak di alveoli paru.

Melansir penjelasan CDC, dalam waktu 2-8 minggu berikutnya sel-sel makrofag akan mengelilingi bakteri yang tersisa untuk membentuk granuloma atau dinding perekat. Granuloma berfungsi menjaga perkembangan Mycobacterium tuberculosis di paru-paru tetap terkendali. Dalam kondisi ini dapat dikatakan bakteri tidak aktif menginfeksi.

Ketika ada bakteri yang masuk ke dalam tubuh, tapi tidak aktif menginfeksi disebut dengan TB laten. Bakteri yang tidak dapat berkembang biak tidak merusak sel-sel sehat di paru. Itu sebabnya, penderita TB laten tidak mengalami gejala TBC. Mereka juga tidak dapat menyebarkan infeksi bakteri ke orang lain.

Apabila sistem imun tubuh ternyata tidak dapat menahan perkembangan bakteri, infeksi akan kembali aktif dan jumlah bakteri akan bertambah banyak dalam waktu cepat. Akibatnya, dinding granuloma akan runtuh dan bakteri akan menyebar dan merusak sel-sel sehat di paru-paru.

Pada tahap ini, penderita merasakan gejala TBC sehingga disebut juga dengan penyakit TB paru aktif. Penderita TB aktif dapat menularkan bakteri ke orang lain.

Jika jumlahnya terus bertambah, bakteri penyebab TBC bisa memasuki aliran darah atau sistem getah bening yang berada di seluruh tubuh. Ketika terbawa inilah, bakteri bisa mencapai organ-organ tubuh lainnya, seperti ginjal, otak, kelenjar getah bening, serta tulang. Infeksi Mycobacterium tuberculosis yang menyerang organ di luar paru-paru menyebabkan kondisi TB ekstra paru.

Bakteri penyebab TBC yang bermutasi (bisa disebabkan oleh tidak patuhnya pengobatan), juga bisa membuat tuberkulosis memburuk sehingga mengalami TBC resistan obat (TB MDR). TB MDR adalah kondisi di mana bakteri tuberkulosis yang ada di dalam tubuh kebal terhadap reaksi obat TBC. Bila TBC resisten obat terlambat dideteksi, hal ini menyebabkan penyakit semakin sulit untuk disembuhkan.