Jika istri yang menggugat cerai apakah dapat nafkah iddah?

Jika istri yang menggugat cerai apakah dapat nafkah iddah?
Sumarna

Oleh Sumarna

(Kepala KUA Kecamatan Karangkancana Kabupaten Kuningan)

DI dalam istilah fikih, nafkah berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang atau pihak yang berhak menerimanya. Nafkah utama yang diberikan itu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok kehidupan, yakni makanan, pakaian, dan tempat tinggal.

Salah satu kewajiban seorang suami terhadap istri adalah memberinya nafkah. Lalu, bagaimana jika istri dalam iddah karena berpisah dengan suami. Apakah ia masih dapat nafkah?

Iddah ialah masa tunggu (belum boleh menikah) bagi perempuan yang berpisah dengan suami, baik karena ditalak maupun bercerai mati.

Di dalam Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan, Bilamana perkawinan putus karena talak raj’i, maka mantan suami wajib untuk memberikan mut`ah yang layak kepada bekas istrinya (baik berupa uang atau benda), kecuali mantan istri tersebut qobla al dukhul alias belum disetubuhi.

Selain itu, mantan suami juga wajib untuk memberi nafkah, tempat tinggal dan pakaian kepada mantan istri selama dalam iddah, kecuali mantan istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz. Apabila suami belum melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, maka wajib baginya untuk melunasi hutang mahar tersebut setelah perceraian.

Selain itu, menurut Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyebutkan bahwa semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri yaitu berumur 21 tahun.

Jadi terdapat tiga bentuk nafkah pasca perceraian, yaitu: Mut’ah, baik berupa uang atau benda, Memberi nafkah kepada mantan istri selama dalam masa iddah (Nafkah Iddah), Menanggung semua biaya hadhanah dan nafkah anak sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (Nafkah Anak).

Nafkah iddah wajib diberikan oleh mantan suami kepada istri yang telah diceraikan. Hal ini merupakan suatu sikap yang sepatutnya dilakukan oleh suami karena nafkah iddah bisa sedikit meringankan beban hidup ketika menjalani masa iddah dan bisa menjadi pelipur lara bagi istri yang diceraikan.

Namun, bagaimana jika perceraian terjadi karena gugatan cerai dari pihak istri? KHI sendiri tidak menyebutkan secara eksplisit apakah mantan istri yang mengajukan gugat cerai dapat tetap mendapatkan nafkah. Hanya menyebutkan bahwa mantan istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari mantan suaminya, kecuali ia nusyuz (Pasal 152 KHI).

Pada kenyataannya, banyak perempuan yang melakukan gugat cerai tidak mendapatkan nafkah pasca perceraian. Padahal gugat cerai yang dilakukan oleh istri terhadap suaminya seringkali dikarenakan akibat perlakuan suami yang buruk dan menyakiti perasaan istri.

Nafkah iddah hanya berlaku pada perceraian suami-istri yang diproses di Pengadilan Agama. Nafkah Iddah hanya berlaku bagi perkara permohonan talak dimana suami yang menjatuhkan talak terhadap istri. Sedangkan perkara gugatan cerai yang diajukan istri kepada suami, nafkah iddah tidak berlaku.

Padahal, ketika merujuk kepada hukum asal diwajibkannya menafkahi istri setelah ditalak, (Qs. at-Talaq: 6) yang ditafsirkan oleh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili di dalam Tafsir Al-Wajiz, istri yang telah ditalak harus diperlakukan secara baik, ditempatkan di tempat yang baik, tidak disakiti dan dicukupi nafkahnya.

Maka, apalagi istri yang mengajukan gugatan cerai karena perlakuan suami yang sewenang-wenang, berlaku kasar dan menyakiti perasaannya, sehingga memutuskan untuk menggugat cerai walau dengan resiko harus kehilangan orang yang mencukupi nafkahnya.

Adil rasanya, ketika istri yang selama menikah mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari suaminya, setelah cerai, di masa iddahnya mendapatkan nafkah iddah dari mantan suaminya supaya bisa meringankan sebahagian beban hidupnya.

Salah seorang calon hakim agung, sebagaimana dikutif dari hukumonline.com, mengeluhkan belum diaturnya nafkah iddah dan nafkah mut’ah dalam praktik perkara perceraian yang diajukan istri (cerai gugat) baik dalam Undang-undang tentang Perkawinan maupun KHI. Seharusnya, dalam kasus-kasus tertentu perlu diberikan nafkah iddah dan nafkah mut’ah kepada istri yang mengajukan cerai gugat.

Keluhan ini disampaikan Sisva Yetti dalam sesi wawancara terbuka seleksi CHA 2016 di Auditorium Komisi Yudisial. Hakim Tinggi Pengadilan Tingga Agama Bandung ini mengaku belum pernah memutuskan nafkah iddah dan nafkah mut’ah dalam perkara cerai gugat, karena belum ada aturan atau yurisprudensinya.

Kendati demikian, dalam praktik peradilan agama, dalam kasus gugatan cerai, ada beberapa gugatan nafkah dari mantan istri juga dikabulkan oleh hakim.

Contoh kasusnya adalah Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 2615/Pdt.G/2011/PA.JS, sebagaimana diuraikan oleh Erwin Hikmatiar dalam artikel jurnal Mizan: Journal of Islamic Law – Fakultas Agama Islam Universitas Ibn Khaldun berjudul Nafkah Iddah pada Perkara Cerai Gugat,

Dalam kasus cerai gugat ini, hakim menjatuhkan putusan bahwa mantan suami sebagai tergugat wajib memberikan nafkah kepada mantan istrinya sebagai penggugat, yaitu (hal. 165): nafkah hadanah kepada penggugat setiap bulan minimal sejumlah Rp4 juta sampai anak tersebut dewasa dan mandiri atau berumur 21 tahun; nafkah iddah kepada penggugat selama tiga bulan sebesar Rp10 juta.

Hal ini dikonfirmasi pula oleh Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, di mana istri dalam perkara cerai gugat juga dapat diberikan nafkah madhiyah, nafkah idah, nafkah mutah, dan nafkah anak sepanjang tidak nusyuz (hal. 15).

Maka berdasarkan putusan dan edaran tersebut, tidak tertutup kemungkinan dalam perkara cerai gugat pihak penggugat (istri) dapat mengajukan tuntutan atas nafkah madhiyah, nafkah iddah, nafkah mutah, dan nafkah anak sepanjang tidak nusyuz. Wallahu A’lam.*** 

Jika istri yang menggugat cerai apakah dapat nafkah iddah?

Istri Yang menggungat, APA masih bisa dapat nafkah dari mantan Suami?

Jika istri yang menggugat cerai apakah dapat nafkah iddah?

Muara Teweh|pa-muarateweh.go.id

Dalam beberapa tahun terakhir dalam penyelesaian perkara di Peradilan Agama masih diduduki oleh kasus Cerai Gugat. Menurut Pasal 132 ayat (1) KHI, Cerai Gugatan adalah gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami.

Dari data-data pengadilan agama se-Indonesia, cerai gugat tetap menjadi perkara yang terbanyak/ di Pengadilan Agama Muara Teweh kasus cerai gugat mencapai 225 dari 464 perkara tahun ini sedangkan cerai thalak hanya 82 perkara saja. Di Pengadilan Agama Kabupaten Malang perkara cerai gugat mencapai 5085 perkara sedangkan cerai Talak 2094. Dari data cerai gugat dua Pengadilan Agama sudah bisa dibandingkan bahwa hampir lebih dari setengah perkara pertahun adalah kasus gugatan perceraian oleh istri.

Ada pertanyaan yang sering diutarakan oleh para istri yang menggugat, “Apa saya masih mendapat nafkah pasca perceraian kalau saya yang menceraikan?”. Diatur dalam surat edaran Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Nomor 1669/DJA/HK.00/5/2021 perihal Jaminan Perempuan Hak-Hak Perempuan dan Anak Pasca Perceraian, untuk perceraian gugat, hak-hak seorang istri mendapatkan :

  1. Berhak atas nafkah lampau, apabila selama perkawinan tersebut, suami tidak memberikan nafkah;
  2. Perempuan berhak atas Harta Bersama, dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam;
  3. Perempuan berhak untuk mendapatkan hak hadhanah bagi anak yang berumur 12 tahun.

Hak istri setelah menggungat cerai suami berupa nafkah idah bisa dianggap kewajiban dari mantan suami kepada istri yang telah diceraikan. Ini adalah suatu sikap yang sepatutnya dilakukan oleh suami karena nafkah idah bisa meringankan beban istri selama masa idahnya. Lampiran SEKMA MA RI Nomor 3 Tahun 2018, hak istri setelah menggugat cerai suami dapat berupa nafkah idah dan nafkah mut’ah. Namun tidak dipungkiri bahwa setiap nafkah seperi idah, mut’ah, anak, madhiyah tetap harus mempertimbangkan keadilan dan kepatutan dengan menggali fakta kemampuan ekonomi suami dan fakta kebutuhan dasar hidup istri dan/atau anak.(aes)

Jika istri yang menggugat cerai apakah dapat nafkah iddah?
Perceraian bagi yang beragama Islam yang diajukan di Pengadilan agama dapat diajukan oleh suami atau istri. Jika diajukan oleh suami dinamakan permohonan talak, sedang jika yang mengajukan adalah istri dinamakan cerai gugat. Dasar hukum perceraian ini antara lain Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Salah satu akibat dari adanya perceraian yakni pemberian nafkah mut’ah dan iddah oleh suami kepada bekas istri. Tapi dalam hukum perkawinan di Indonesia, pemberian Nafkah Mut’ah dan iddah hanya berlaku bagi perkara permohonan talak yang diajukan oleh pihak suami. Ketentuan ini tidak berlaku jika perceraian diakibatkan gugatan yang diajukan istri.

Nafkah mut’ah adalah pemberian dari bekas suami kepada istri yang ditalak berupa uang atau benda lainnya. Nafkah iddah adalah nafkah wajib yang diberikan kepada istri yang ditalak dan berlangsung 3-12 bulan tergantung kondisi haid istri yang dicerai.

Nafkah iddah dan mut’ah untuk istri yang ditalak ini diatur dalam Pasal 149 dan 158 Kompilasi Hukum Islam. (red)