Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah seorang ulama yang berperan besar dalam penyebaran Islam pada abad ke-18. Syekh Arsyad Al-Banjari lahir pada tanggal 19 Maret 1710 M/1122 H di desa Lok Gabang, Martapura, Kalimantan Selatan. Meninggal pada tahun 1812 M. Nama asli Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah Sayyid Ja’far Al-Aydarus. Ia kemudian mendapat julukan Datu Kalampaian. Show Beliau menikah dengan Bajut, seorang wanita salihah di kampungnya. Ketika Bajut tengah mengandung anak pertama, waktu itu umur beliau sekitaran 30 tahun, terlintas di benak Arsyad untuk menuntut ilmu di Tanah Suci Mekkah. Sang istri tidak keberatan demi niat suci suami, meski dengan perasaan berat. Keinginan itu dikabulkan oleh pemerintah Kesultanan Banjar pada 1739. Setelah mendapat restu Sultan, Arsyad berangkat untuk mewujudkan cita-citanya. Baca Juga: Kiai Ṣāliḥ Darat dan Kitab Fayḍ al-Raḥmān Selama Muhammad Arsyad Al-Banjari belajar di Mekkah, ia berguru langsung kepada beberapa guru besar, seperti Syekh Hasan bin Ahmad Al-Yamani, Syekh Ahmad bin Abdul Mun’im ad-Damanhuri, dan Syekh Muhammad Murtadha bin Muhammad az-Zabidi. Sekembalinya beliau dari tanah suci pada tahun 1772, hal pertama yang ia lakukan adalah membuka tempat pengajian yang bernama Dalam Pagar. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari adalah pelopor pengajaran hukum Islam di Kalimantan Selatan. Dari bakat tulis menulisnya, lahir kitab-kitab yang menjadi pegangan umat. Kitab-kitab itulah yang ia wariskan setelah Syekh Muhammad Arsyad tutup usia pada 1812 M, di usia 102 tahun. Baca Juga: KH. HASYIM ASY’ARI, SANG ULAMA PEMIKIR DAN TELADAN UMAT Karya-karya beliau antara lain Sabilal Muhtadin, Tuhfatur Raghibiin, Al-Qaulul Mukhtashar. Di samping adanya kitab Ushuluddin, Tasawuf, Nikah, Faraidh, dan Hasyiyah Fathul Jawad. Karyanya paling terkenal adalah kitab Sabilal Muhtadin yang kemasyhurannya tidak sebatas di daerah Kalimantan dan Nusantara, tapi juga sampai ke Malaysia, Brunei, dan Pattani (Thailand Selatan). Karya-karya besar beliau masih terus dipakai hingga saat ini. Sumber: – kompas.com – republika.co.id Oleh : Indah Prissyla Arintia Pictured by pecihitam.org
Al 'Aalimul Al 'Allamah Al 'Aarif Billah Al Bahrul 'Uluum Al Waliyullah Al Quthb Akwaan Asy Syekh As Sayyid Al Habib Al Mukarram Maulana Syeikh Muhammad Arsyad Bin Habib Abdullah Al Hindi (17 Maret 1710 – 3 Oktober 1812) adalah ulama besar dunia bidang fiqih BerMazhab Syafi'i yang berasal dari kota serambi mekkah Martapura di Tanah Banjar (Kesultanan Banjar), Kalimantan Selatan. Beliau hidup pada masa tahun 1122-1227 hijriyah. Beliau disebut juga Tuan Haji Besar dan mendapat julukan anumerta dari Kesultanan Banjar.[1] Beliau adalah pengarang Kitab Fiqh Agung Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi rujukan bagi pemeluk Agama Islam bermadzhab Imam Syafi'i di Asia Tenggara, dan menjadi referensi keilmuan di Universitas Al Azhar Mesir serta pegangan ibadah umat Islam bermadzhab Imam Asy-Syafi'i seluruh dunia.[2][3][4] Hubungan dengan Kesultanan BanjarPada waktu ia berumur sekitar 30 tahun, Sultan mengabulkan keinginannya untuk belajar ke Mekkah demi memperdalam ilmunya. Segala perbelanjaanya ditanggung oleh Sultan. Lebih dari 30 tahun kemudian, yaitu setelah gurunya menyatakan telah cukup bekal ilmunya, barulah Syekh Muhammad Arsyad kembali pulang ke Banjarmasin. Akan tetapi, Sultan Tahlilullah seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah II yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya. Sultan inilah yang meminta kepada Syekh Muhammad Arsyad agar menulis sebuah Kitab Hukum Ibadat (Hukum Fiqh), yang kelak kemudian dikenal dengan nama Kitab Sabilal Muhtadin. Pengajaran dan bermasyarakatMakam Datu Kalampayan yang sering dikunjungi oleh peziarah dari berbagai daerah. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Sekembalinya ke kampung halaman dari Mekkah, hal pertama yang dikerjakannya ialah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar, yang kemudian lama-kelamaan menjadi sebuah kampung yang ramai tempat menuntut ilmu agama Islam. Ulama-ulama yang dikemudian hari menduduki tempat-tempat penting di seluruh Kerajaan Banjar, banyak yang merupakan didikan dari suraunya di Desa Dalam Pagar. Di samping mendidik, ia juga menulis beberapa kitab dan risalah untuk keperluan murid-muridnya serta keperluan kerajaan. Salah satu kitabnya yang terkenal adalah Kitab Sabilal Muhtadin yang merupakan kitab Hukum-Fiqh dan menjadi kitab-pegangan pada waktu itu, tidak saja di seluruh Kerajaan Banjar tetapi sampai ke-seluruh Nusantara dan bahkan dipakai pada perguruan-perguruan di luar Nusantara Dan juga dijadikan dasar Negara Brunai Darussalam. Karya-karyanyaKitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang paling terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau selengkapnya adalah Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang artinya dalam terjemahan bebas adalah "Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk mendalami urusan-urusan agama". Syekh Muhammad Arsyad telah menulis untuk keperluan pengajaran serta pendidikan, beberapa kitab serta risalah lainnya, di antaranya ialah:[5] Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yang langsung diajarkannya, oleh murid-muridnya kemudian dihimpun dan menjadi semacam Kitab Hukum Syarat, yaitu tentang syarat syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yang berhubungan dengan itu, dan untuk mana biasa disebut Kitab Parukunan. Sedangkan mengenai bidang Tasawuf, ia juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah. Zuriyat dan KeturunanMuhammad Arsyad Al Banjary menikah dengan 11 perempuan, yaitu :
Kekerabatan dengan Sultan BanjarKekerabatan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dengan Sultan Banjar.[8] Sultan yang memerintah saat itu, Sultan Tamjidillah I (1745-78), sangat menghormatinya, dan mengawinkannya dengan salah seorang kerabat dekatnya, Ratu Aminah, anak dari Pangeran Thaha, saudara sepupu Sultan Tamjidillah I, yang menjadikannya sebagai kerabat Kesultanan Banjar.[9]
|} Lihat pula
Referensi
Bacaan lanjutan
Pranala luarKembali kehalaman sebelumnya |