Pandangan agama islam laki-laki yang tidak bertanggung jawab atas perbuatan menghamili orang

Opini

Penulis : Dr. Hj. Rusdaya Basri, Lc. M. Ag. (Ketua Prodi Ahwal al- Syakhsiyah Fakshi IAIN Parepare)

Fenomena pernikahan sedarah (incest taboo) yang terjadi di masyarakat meresahkan dan menggegerkan public. Di Garut, seorang ayah mencabuli anak kandungnya yang masih berusia 15 tahun hingga melahirkan. Di Sumatra Barat, seorang oknum caleg ditangkap setelah menjadi buron kasus pencabulan terhadap anak kandungnya selama 8 tahun. Ayah kandung cabuli anaknya selama 5 tahun di Demak. Seorang kakak nikahi adik kandungnya asal Bulukumba di perantauan Kalimantan timur yang bikin heboh. Begitupun di kecamatan Belopa Utara kabupaten Luwu Sulawesi Selatan seorang kakak tega memangsa adik kandungnya hingga Hamil.

14 abad yang lalu al-Quran sudah mewanti-wanti dan melarang keras hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang sedarah. Al-Qur’an sangat ketat dan jelas merinci siapa-siapa yang tidak boleh dinikahi. Orang-orang yang tidak boleh dinikahi setidaknya disebabkan oleh beberapa sebab. Sebab yang bersifat abadi atau selamanya (al-muharramat al-muabbadah), dan sebab yang bersifat sementara (al-muharramat al-muaqqatah).

Kategori yang termasuk bersifat abadi atau selamanya tidak boleh dinikahi adalah diharamkan karena adanya hubungan kekeluargaan (nasab). Hal ini dijelaskan dalam QS. al-Nisa’/4: 23. “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan…

Alasan atau ‘illah pengharaman ini tidak diketahui secara pasti, namun di antara ulama ada yang mencoba mengkajinya lebih jauh. Sehingga ada yang berpandangan bahwa pelarangan menikahi seorang wanita karena sebab kekeluargaan dilatarbelakangi oleh dampak yang dapat ditimbulkan dari hubungan tersebut, yaitu dapat melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan ruhani. Itulah sebabnya ‘Umar ibn al-Khattab mengingatkan untuk menikahi wanita asing (yang bukan keluarga) agar anak yang lahir dari hubungan tersebut tidak kurus dan lemah.

Ada juga yang berpandangan bahwa setiap orang diharuskan menjaga hubungan kekerabatan agar tidak menimbulkan perselisihan atau perceraian sebagaimana yang dapat terjadi antara suami isteri. Di sisi lain, ketujuh golongan yang disebutkan itu kesemuanya harus dilindungi dari rasa birahi. Sebagian ulama yang berpandangan larangan pernikahan antara kerabat sebagai upaya Al-Qur’an memperluas hubungan antar keluarga lain dalam rangka mengukuhkan satu masyarakat.

Pernikahan yang tidak boleh dilakukan dalam hukum positif di Indonesia tercantum pada UU No1 Tahun 1974 pasal 8 yaitu: Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antar saudara. Antrara seseorang dengan saudara tua dan antara seseorang dengan saudara neneknya. Sedangkan perkawinan-perkawinan yang dilarang dalam KHI tercantum pada pasal 39.

Dengan demikian baik secara hukum agama maupun secara hukum Negara, pernikahan sedarah (incest taboo) di tanah air kita tercinta, sama sekali tidak memberikan ruang. Oleh karena itu peran masyarakat dalam hal ini orang tua, pendidik, tokoh agama dan semua elemen-elemen masyarakat bertanggung jawab atas dekadensi moral yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Mellia Christia, psikolog dan juga staf pengajar bidang studi Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia mengemukakan bahwa salah satu penyebab pemicu insec. Perilaku sehari-hari di sebuah keluarga seperti, melihat anggota keluarganya yang telanjang, mandi dan tidur bersama, serta tidak ada pemahaman mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Oleh karena itu Rasulullah sudah mengingatkan kepada para orang tua agar memisahkan tempat tidur antara anak laki-laki dan anak perempuan ketika sudah berumur 7 tahun sehingga tidak dibolehkan anak laki-laki dan anak perempuan berkumpul disatu tempat tidur.

Islam melarang pria menikahi wanita hamil akibat perbuatan zina.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Zina menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perbuatan bersanggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat hubungan pernikahan.

Perbuatan bersanggama seorang laki-laki yang terikat pernikahan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya atau seorang perempuan yang terikat pernikahan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya. 

Ustadzah Aini Aryani Lc dalam buku "Halal-Haram Menikahi Wanita Berzina" dan Hamil terbitan Rumah Fiqih Publishing menjelaskan hukum menikahi wanita yang hamil dari hasil zina, dalam hal ini ada dua kemungkinan kasus. 

Ustadzah Aini menjelaskan, pertama, nikahnya wanita hamil hasil zina ini dengan laki-laki yang menzinainya. Kedua, nikahnya wanita hamil hasil zina ini dengan laki-laki lain yang bukan ayah dari bayinya.  

Pendapat Mazhab Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi'iyah menghalalkan pernikahan tersebut, baik dilakukan   laki-laki yang menjadi ayah dari si bayi atau laki-laki lain yang bukan ayah si bayi. 

Tapi penting untuk dijadikan catatan, meski kedua mazhab ini membolehkan terjadinya akad nikah, namun kebolehannya berhenti hanya sampai pada akadnya saja. Sedangkan hubungan seksual suami istri hukumnya haram dilakukan, sebagaimana dalil yang ada.  

Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah berpendapat bahwa menikahi wanita yang dalam keadaan hamil akibat berzina dengan laki-laki lain hukumnya haram. Keharaman ini berlaku mutlak untuk laki-laki yang menghamilinya atau ayah si bayi dan laki-laki lain. 

Dasar keharamannya adalah dalil-dalil berikut ini. Nabi Muhammad SAW bersabda: "لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ "Janganlah disetubuhi (dikawini) seorang wanita hamil (karena zina) hingga melahirkan." (HR. Abu Daud).  

Dari Said bin Al-Musayyab bahwa seseorang telah menikah dengan seorang wanita, namun baru ketahuan wanita itu dalam keadaan hamil. Maka kasus itu diangkat ke hadapan Rasulullah SAW dan beliau memisahkan antara keduanya. (HR Said bin Manshur).

Ustadzah Aini dalam kesimpulannya menjelaskan, wanita yang sedang hamil bukan dari hasil berzina maka halal bila dinikahi lagi oleh suaminya sendiri. Karena rujuk setelah talak bainunah shughra.  

Wanita yang hamil bukan dari berzina haram bila dinikahi lagi oleh suaminya sendiri karena tidak boleh rujuk setelah talak bainunah kubra. Wanita ini juga haram dinikahi laki-laki lain.  

Sementara, wanita yang sedang hamil dari hasil zina halal dinikahi laki-laki yang menghamilinya atau ayah bayi dalam kandungannya. Tapi haram dinikahi laki-laki yang bukan ayah dari bayi dalam kandungannya.

Mengapa dalam Islam seorang pria tidak boleh menikahi wanita yang hamil meskipun itu benihnya?

Pemahaman mengenai tidak sahnya pernikahan ketika hamil adalah berpedoman pada pertama, pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang menyatakan bahwa tidak boleh melangsungkan pernikahan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki sampai ia melahirkan kandungannya.

Apa hukum menghamili di luar nikah?

Sedangkan menurut Imam Ahmad Bin Hambal berpendapat bahwa perkawinan hamil di luar nikah dilakukan dengan laki-laki yang menghamilinya tidak boleh. Sedangkan perkawinan hamil di luar nikah dengan laki-laki yang bukan menghamilinya itu haram hukumnya.

Apakah anak hasil zina tanggung jawab siapa?

Islam mengatakan bahwa anak yang lahir di luar pernikahan maka ia hanya terhubung dengan ibunya. Bahkan menurut Imam Malik dan Imam Syafi'i, yang juga dikutip oleh ulama ulama lain bahwa anak yang lahir di luar perkawinan dianggap tidak memiliki pertalian darah dengan ayah biologisnya.

Bagaimana pandangan Islam tentang hamil diluar nikah?

Hamil di luar nikah dianggap sebagai aib dalam keluarga, dengan demikian wanita yang hamil harus segera dinikahi untuk menghapus aibnya. Dikutip dari Jurnal Hukum Perdata Islam, menurut pendapat Imam Syafi'i, perkawinan akibat hamil di luar nikah adalah sah hukumnya.