Sebutkan pembagian wilayah pada masa pendudukan Jepang

Berdirinya Kota Tangerang tidak lepas dari sejarah perjuangan Kesultanan Banten melawan Kolonialisme Belanda. Nama “Tangerang” yang menunjuk kepada suatu daerah yang berada di bantaran sungai Cisadane, yang dahulu dikenal dengan nama Untung Jawa, lahir dari beberapa kejadian pada masa lampau hingga akhirnya resmi disebut “TANGERANG”.

Sejarah mencatat lahirnya Tangerang bermula dari sebutan kepada sebuah bangunan tugu berbahan dasar bambu yang didirikan oleh Pangerang Soegiri, putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten. Tugu tersebut terletak di bagian Barat Sungai Cisadane yang diyakini saat ini berada di wilayah kampung Gerendeng. Oleh masyarakat sekitar, bangunan tugu tersebut disebut "tengger" atau "tetengger" yang dalam bahasa sunda berarti tanda atau penanda.

Sesuai dengan julukannya, fungsi dari tugu tersebut memang sebagai penanda pembagian wilayah antara Kesultanan Banten dengan pihak VOC Belanda. Dimana, wilayah kesultanan Banten berada di sebelah barat dan wilayah yang di kuasai VOC di sebelah timur sungai Cisadane.

Hingga pada sekitar tahun 1652. Kala itu penguasa Banten mengangkat tiga orang maulana, yang diberi pangkat Aria. Ketiga maulana tersebut merupakan kerabat jauh Sang Sultan yang berasal dari Kerajaan Sumedang Larang, bernama Yudhanegara, Wangsakara dan Santika. Ketiganya diminta dan diutus untuk membantu perekonomian Kesultanan Banten dengan melakukan perlawanan terhadap  VOC yang semakin merugikan Kesultanan Banten dengan sistem monopoli dagang yang diterapkannya.

Pada perjuangannya ketiga maulana tersebut membangun benteng pertahanan hingga mendirikan pusat pemerintahan kemaulanaan yang menjadi pusat perlawanan terhadap VOC di daerah Tigaraksa. Namun, dalam pertempuran melawan VOC, ketiga maulana gugur satu demi satu. Aria Santika wafat pada tahun 1717 di Kebon Besar Kec. Batuceper, Aria Yudhanegara wafat pada tahun 1718 di Cikolol dan pada tahun yang sama Aria Wangsakara menutup usia di Ciledug dan di makamkan di Lengkong Kiai.

Daerah di sekitar benteng pertahanan yang dibangun oleh ketiga maulana disebut masyarakat sekitar dengan istilah daerah Benteng. Hal ini turut mendasari sebutan Kota Tangerang yang dikenal dengan sebutan Kota Benteng.

Beralih ke latar belakang berubahnya istilah "Tangeran" menjadi "Tangerang". Hal ini bermula pada tanggal 17 April 1684, pada saat ditandatanganinya perjanjian antara Sultan Haji atau Sultan Abunnashri Abdulkahar  putra Sultan Ageng Tirtayasa pewaris Kesultanan Banten dengan VOC. Pada salah satu pasal perjanjian tersebut menyebutkan bahwa wilayah yang kala itu dikenal dengan “Tangeran” sepenuhnya menjadi milik dan ditempati oleh VOC.

Dengan adanya perjanjian tersebut, daerah Tangerang seluruhnya masuk kekuasaan Belanda. Kala itu, tentara Belanda tidak hanya terdiri dari bangsa asli Belanda tetapi juga merekrut warga pribumi di antaranya dari Madura dan Makasar yang di antaranya ditempatkan di sekitar wilayah benteng. Tentara VOC yang berasal dari Makasar tidak mengenal huruf mati, dan terbiasa menyebut “Tangeran” dengan “Tangerang”. Kesalahan ejaan dan dialek inilah yang diwariskan dari generasi ke generasi bahkan hingga saat ini.

Berlanjut ke masa pemerintahan awal di Tangerang pasca ditandatanganinya perjanjian Banten dengan VOC. Kala itu, Pemerintah Belanda membentuk pemerintahan kabupaten yang lepas dari Kesultanan Banten di bawah pimpinan seorang bupati. Para bupati yang pernah memimpinan Tangerang di era pemerintahan Belanda pada periode tahun 1682-1809 adalah Kyai Aria Soetadilaga I-VII.

Setelah pemerintahan keturunan Aria Soetadilaga, Belanda menghapus pemerintahan ini dan memindahkannya ke Batavia. Kemudian Belanda membuat kebijakan, sebagian tanah di Tangerang dijual kepada orang-orang kaya di Batavia.

Nama wilayah Tangerang menjadi nama resmi pertama kali pada masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945. Pemerintah Jepang saat itu sempat melakukan pemindahan pusat pemerintahan Jakarta Ken (wilayah administratif setingkat Kabupaten) ke Tangerang yang dipimpin oleh Kentyo M. Atik Soeardi. Peristiwa ini berdasarkan kepada keputusan Gunseikanbu, yang merupakan pimpinan Departemen Militer Jepang, tanggal 9 boelan 11 hoen syoowa 18 (2603) Osamu Sienaishi 1834. Keputusan tersebut juga akhirnya menunjuk Atik Soeardi untuk menjabat pembantu Wakil Kepala Gunseibu Jawa Barat dan Raden Pandu Suradiningrat menjadi Bupati Tangerang (1943-1944).

Seiring berjalannya waktu, daerah Tangerang yang kala itu berbentuk Kabupaten Daerah Tingkat II mengalami perkembangan yang sangat pesat. Letaknya yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota menjadikan beberapa kecamatan yang berbatasan langsung menjadi pusat segala kegiatan baik Pemerintah, Ekonomi, industri dan Perdagangan, Politik, Sosial Budaya.

Hal tersebut mendasari pemerintah memandang perlu untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan secara khusus. Maka pada tanggal 28 Februari 1981 keluar Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1981 tentang Pembentukan Kota Administratif Tangerang, dengan demikian Kecamatan Tangerang, Kecamatan Batuceper, Kecamatan Ciledug, Kecamatan Benda dan Kecamatan Jatiuwung masuk ke dalam Wilayah Kota Administratif Tangerang.

Dalam perjalanan kurun waktu 12 Tahun Kota Administratif Tangerang kembali menunjukan perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat disegala bidang, baik dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Dinamika kehidupan perekonomian kota ditandai dengan berkembangnya unit-unit usaha dan perdagangan termasuk pertumbuhan jumlah penduduk yang mencapai 921.848 jiwa, dengan laju pertumbuhan mencapai 8,27 % yang diakibatkan derasnya arus urbanisasi yang pada akhirnya berpengaruh bagi kehidupan sosial - politik, budaya dan perekonomian masyarakat.

Perkembangan tersebut sejalan dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang Nomor 4 Tahun 1985 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota yang peruntukannya sebagai daerah industri, perumahan, perdagangan, dan jasa dalam skala lokal, regional, nasional dan internasional.

Dengan struktur Pemerintahan yang masih berbentuk Kota Administratif sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor : 650/SK-39-Pemda/1983 tanggal 14 Maret 1983 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Wilayah Kota Administratif Tangerang, mengalami berbagai kesulitan karena terbatasnya kewenangan pemerintah kota pada waktu itu.

Selanjutnya Surat Keputusan Gubernur tersebut dijabarkan melalui Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tangerang Nomor : 188.45/SK.40-HUK/1984 tanggal 17 Maret 1984 tentang Pelimpahan Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tangerang kepada Walikota Administratif Tangerang.

Dengan perubahan struktur Pemerintah Kota Administratif tetap tidak dapat mendukung dinamika pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat Kota Tangerang, terlebih lagi aparat Pemerintah Kota hanya berjumlah 737 orang yang terdiri dari 331 PNS dan 406 status magang/honor daerah. Untuk itulah dalam rangka menunjang pelaksanaan pembinaan dan pengelolaan Kota Administratif diperlukan struktur Pemerintahan yang lebih tinggi dari status Kota Administratif yaitu dengan membentuk daerah otonom Kotamadya Daerah Tingkat II yang mengatur rumah tangganya sendiri.

Adapun Walikota Administratif Tangerang yang telah menjabat mulai terbentuk Kota Administratif adalah :

  1. Periode 1982-1986   : Bapak KARSO PERMANA, BA
  2. Periode 1986-1990   : Bapak Drs. H. YITNO
  3. Periode 1990-1993   : Bapak Drs. H. DJAKARIA MACHMUD

Proses pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang diawali dengan adanya aspirasi sejumlah tokoh masyarakat yang disampaikan kepada Bpk. Drs. H. YITNO sebagai Walikota Administratif Tangerang kemudian direstui oleh Bapak H. TADJUS SOBIRIN sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tangerang pada waktu itu, selanjutnya diproses melalui DPRD Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang.

Proses pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang secara keseluruhan berlangsung selama 5 tahun 8 bulan 27 hari yaitu sejak tanggal 1 Juni 1987 sampai dengan 28 Februari 1993 dan secara resmi Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang menjadi Daerah Otonom Ke-25 di Jawa Barat dan Ke-312 se Indonesia. Selanjutnya  Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang diresmikan oleh Bapak Jenderal TNI (Pur) RUDINI (Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia) pada hari Minggu tanggal 28 Februari 1993 bertepatan dengan bulan Suci Ramadhan 1413 H sekaligus melantik Bapak Drs. H. DJAKARIA MACHMUD sebagai Pejabat Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Tangerang.

Satu tahun kemudian, berdasarkan hasil pemilihan DPRD Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang Bapak Drs. H. DJAKARIA MACHMUD terpilih sebagai Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Tangerang yang pertama. Adapun urutan Walikotamadya Kepala Derah Tingkat II Tangerang adalah sebagai berikut :

  1. Tahun 1993 – 1998   : Bpk Drs. H. DJAKARIA MACHMUD
  2. Tahun 1998 – 2003   : Bpk Drs. H. MOCH. THAMRIN
  3. Tahun 2003 – 2013   : Bpk Drs. H. WAHIDIN HALIM
  4. Tahun 2013 – Sekarang        : Bpk H. ARIEF R. WISMANSYAH, B.Sc., M.Kes. 

Demikian sejarah singkat berdirinya Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang dan sejalan dengan telah ditetapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka sebutan Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang menjadi Kota Tangerang.

Letak Geografis

Letak Kota Tangerang Secara gafis Kota Tangerang terletak pada posisi 106 36 - 106 42 Bujur Timur (BT) dan 6 6 - 6 Lintang Selatan (LS).

Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Teluk Naga dan Kecamatan Sepatan Kabupaten Tangerang, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Curug, Kecamatan Serpong dengan DKI Jakarta, sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Cikupa Kabupaten Tangerang.

Secara administratif luas wilayah Kota Tangerang dibagi dalam 13 kecamatan, yaitu Ciledug (8,769 Km2), Larangan (9,611 Km2), Karang Tengah (10,474Km2), Cipondoh ((17,91 Km2), Pinang (21,59 Km2), Tangerang (15,785 Km2), Karawaci (13,475 Km2), Jatiuwung (14,406 Km2), Cibodas (9,611 Km2), Periuk (9,543 Km2), Batuceper (11,583 Km2), Neglasari (16,077 Km2), dan Benda (5,919 Km2), serta meliputi 104 kelurahan dengan 981 rukun warga (RW) dan 4.900 rukun tetangga (RT).

Letak Kota Tangerang tersebut sangat strategis karena berada di antara Ibukota Negara DKI Jakarta dan Kabupaten Tangerang. Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976 tentang Pengembangan Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi), Kota Tangerang merupakan salah satu daerah penyangga Ibukota Negara DKI Jakarta.

Posisi Kota Tangerang tersebut menjadikan pertumbuhannya pesat. Pada satu sisi wilayah Kota Tangerang menjadi daerah limpahan berbagai kegiatan di Ibukota Negara DKI Jakarta. Di sisi lain Kota Tangerang dapat menjadi daerah kolektor pengembangan wilayah Kabupaten Tangerang sebagai daerah dengan sumber daya alam yang produktif.

Pesatnya pertumbuhan Kota Tangerang dipercepat pula dengan keberadaan Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang sebagian arealnya termasuk ke dalam wilayah administrasi Kota Tangerang. Gerbang perhubungan udara Indonesia tersebut telah membuka peluang bagi pengembangan kegiatan perdagangan dan jasa secara luas di Kota Tangerang.

Demografi Kota Tangerang

Tangerang juga memiliki jumlah komunitas Tionghoa yang cukup signifikan, banyak dari mereka adalah campuran Cina Benteng. Mereka didatangkan sebagai buruh oleh kolonial Belanda pada abad ke 18 dan 19, dan kebanyakan dari mereka tetap berprofesi sebagai buruh dan petani. Budaya mereka berbeda dengan komunitas Tionghoa lainnya di Tangerang: ketika hampir tidak satupun dari mereka yang berbicara dengan aksen Mandarin, mereka adalah pemeluk Taoisme yang kuat dan tetap menjaga tempat-tempat ibadah dan pusat-pusat komunitas mereka. Secara etnis, mereka tercampur, namun menyebut diri mereka sebagai Tionghoa. Banyak makam Tionghoa yang berlokasi di Tangerang, kebanyakan sekarang telah dikembangkan menjadi kawasan sub-urban seperti Lippo Village.

Kawasan pecinan Tangerang berlokasi di Pasar Lama, Benteng Makassar, Kapling dan Karawaci (bukan Lippo Village), dan Poris. Orang-orang dapat menemukan makanan dan barang-barang berkhas China. Lippo Village adalah lokasi permukiman baru. Kebanyakan penduduknya adalah pendatang, bukan asli Cina Benteng.

 

Kebudayaan

Lenggang Cisadane

Tari Lenggang Cisadane sendiri merupakan perpaduan unsur budaya yang ada di Kota Tangerang seperti budaya Sunda, Jawa, Betawi, Cina, Arab dan budaya Lainnya. Selain alat musik gamelan, didalamnya juga terdapat alat musik yang digunakan pada musik marawis, lengkap dengan lagu-lagu marawisnya. Tari Lenggang Cisadane ini merupakan proses pembentukan harmonisasi musik, tata busana dan gerak yang dipadukan menjadi suatu tarian yang indah dan mencirikan budaya Kota Tangerang. Tarian ini dibawakan 13 orang yang mencirikan jumlah kecamatan di Kota Tangerang. Seniman dan budayawan kota Tangerang ini menghasilkan sebuah seni tradisional khas Kota Tangerang dengan memadukan unsur musik, kostum dan tarian.

Gambang Kromong

Gambang kromong (atau ditulis gambang keromong) adalah sejenis orkes yang memadukan gamelan dengan alat-alat musik Tionghoa, seperti sukong, tehyan dan kongahyan. Disebut Gambang Kromong karena diadopsi dari nama dua buah alat perkusi yaitu gambang dan kromong. Awal mula terbentuknya orkes gambang kromong tidak lepas dari prakarsa seorang pemimpin komunitas Tionghoa yang diangkat Belanda (kapitan Cina) bernama Nie Hoe Kong pada masa jabatan 1736-1740. Bilahan gambang yang berjumlah 18 buah, biasa terbuat dari kayu suangking, huru batu, manggarawan atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Kromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah 10 buah (sepuluh pencon). Tangga nada yang digunakan dalam gambang kromong adalah tangga nada pentatonik Cina yang sering disebut salendro Cina atau salendro mandalungan. Instrumen pada gambang kromong terdiri atas gambang, kromong, gong, gendang, suling, kecrek dan sukong, tehyan atau kongahyan sebagai pembawa melodi.

Lenong

Lenong adalah kesenian teater tradisional atau sandiwara rakyat Betawi yang dibawakan dalam dialek Betawi yang berasal dari Jakarta, Indonesia. Kesenian tradisional ini diiringi musik gambang kromong dengan alat-alat musik seperti gambang, kromong, gong, kendang, kempor, suling dan kecrekan, serta alat musik unsur Tionghoa seperti tehyan, kongahyang dan sukong. Lakon atauskenario lenong umumnya mengandung pesan moral, yaitu menolong yang lemah, membenci kerakusan dan perbuatan tercela. Bahasa yang digunakan dalam lenong adalah bahasa Melayu (atau kini bahasa Indonesia) dialek Betawi. Lenong berkembang sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Kesenian teatrikal tersebut mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi ataskesenian serupa seperti komedi bangsawan dan teater stambul yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco, seniman Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari proses teaterisasi musik gambang kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak tahun 1920-an.

Barongsai

Kesenian yang berkembang di Kota Tangerang, terdiri dari beberapa jenis antara lain Kilin, Peking Say, Lang Say, Samujie. Kesenian yang menampilkan Singa Batu model dari Cieh Say ini ada bermacam macam, dimana yang utama mengikuti dua aliran, yaitu Aliran Utara dan Selatan yang dimaksud adalah sebelah Utara Sungai Yang Zi, bentuknya garang, badannya tetap, mulutnya persegi seperti yang kita lihat di kelompok Istana Kekaisaran di Beijing, sedangkan aliran selatan adalah terdapat di sebelah Selatan Sungai Yang Zi, bentuknya lebih bervariasi, lebih luwes, tapi kurang gagah. Aliran Selatan, pada umumnya berada di kelenteng-kelenteng Indonesia, khususnya di Kota Tangerang, termasuk bentuk singa ini, sama sekali tidak mirip dengan wujud singa sebenarnya, tetapi diambil dari Anjing Say yang pada waktu itu dipelihara Kaisar dan hanya di Istana saja, karena dianggap suci.

Silat Beksi

Silat Beksi merupakan hasil akulturasi budaya Tiongkok dan Betawi yang diciptakan oleh Lie Cheng Oek, warga keturunan Tiongkok yang tinggal di Tangerang. Silat ini bisa dikenali dari gerakan yang cepat dan banyak permainan tangan, dan sekilas jadi mirip dengan Aikido atau bela diri asal Jepang. Kata "Beksi" berasal dari bahasa Tiongkok, Bek berarti pertahanan, Si berarti empat, sehingga Beksi berarti empat pertahanan.

 

 Home  Bentuk dan Arti Lambang

Bentuk dan Arti Lambang

Sebutkan pembagian wilayah pada masa pendudukan Jepang

Sebutkan pembagian wilayah pada masa pendudukan Jepang

Lambang daerah berbentuk perisai dengan warna hijau

Motto "BHAKTI KARYA ADHI KERTARAHARJA", ARTINYA ADALAH SEMANGAT PENGABDIAN DALAM BENTUK Karya Pembangunan untuk kebesaran negeri dan kemakmuran serta kesejahteraan wilayah

Didalam lambang tersebut terdapat lukisan-lukisan yang merupakan unsur-unsur sebagai berikut :

# Bintang :

- Melambangkan keagamaan

- Melambangkan pula bahwa masyarakat Kotamadya Dati II Tangerang adalah agamis

#Roda Mesin :

- Melambangkan bahwa Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang adalah merupakan roda industri

# Landasan Pacu (Run Way) :

- Melambangkan adanya Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang sekaligus melambangkan semangat pacu untuk mencapai cita-cita Pembangunan yang luhur sebagai daerah penyangga Ibu Kota Negeri RI

# Riak Air :

- Melambangkan adanya Sungai Cisadane yang memberikan manfaat dan kesuburan bagi masyarakat Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang

# Gerigi Roda Besi, Padi dan Kapas :

- Melambangkan Tanggal, bulan dan Tahun Proklamasi Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dengan penjelasan sebagai berikut :

Tujuh belas gerigi roda besi melambangkan tanggal tujuh belas

Delapan Bunga Kapas melambangkan bulan delapan

Empat puluh lima butir padi melambangkan tahun empat lima

Dua Lingkaran didalam Roda Besi melambangkan tahun lahirnya Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang pada bulan Februari

# Jumlah Gelombang, Riak Air, Dua buah lingkaran dalam roda mesin, tanda batas landasan dan lampu landasan :

- Melambangkan tanggal, bulan dan tahun Hari Jadi Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang yaitu pada tanggal 28 Februari 1993 dengan penjelasan sebagai berikut :

Dua puluh delapan gelombak riak air melambangkan tanggal dua puluh delapan.

Dua buah lingkaran dalam roda mesin melambangkan bulan dua

Sembilan tanda batas di dalam Run Way segi tiga lampu landasan melambangkan tahun sembilan puluh tiga

# Arti warna dalam lambang daerah adalah :

Warna Hijau mempunyai arti kemakmuran dan kesuburan

Warna Kuning mempunyai arti keadilan, kekuasaan, kewibawaan dan keagungan

Warna Hitam mempunyai arti keteguhan dan ketabahan

Warna Biru mempunyai arti kesetiaan dan kebijaksanaan

Warna Putih mempunyai arti kesucian dan kebersihan

Warna Merah mempunyai arti keberanian

Unduh Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 1993 TentangLambang Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang

Bagaimana pembagian wilayah Indonesia pada masa pendudukan Jepang?

KOMPAS.com – Pada masa penjajahan Jepang di Indonesia tahun 1942, tentara Jepang sempat membagi Indonesia menjadi tiga wilayah. Pembagian tiga wilayah di Indonesia meliputi Sumatera, Jawa dan Madura, dan Kalimantan dan Indonesia Timur.

Pada masa pendudukan Jepang wilayah Indonesia dibagi menjadi 3 bagian sebut dan siapa yang memimpin daerah masing masing?

Saat Indonesia berada di bawah kekuasaan Jepang, pemerintahan militer dibagi ke dalam 3 wilayah kekuasaan antara lain:.
Pemerintahan Wilayah Sumatera, pusatnya adalah Bukittinggi. ... .
Pemerintahan Wilayah Jawa, pusatnya adalah Batavia. ... .
Pemerintahan Indonesia Wilayah Timur, pusatnya adalah Makassar..

Jepang membagi 3 wilayah militer di Hindia Belanda Sebutkan dan berpusat dimana?

Saat itu, Jepang membagi 3 daerah atau wilayah untuk dijadikan suatu area pertahanan dan militer di Indonesia, yaitu tentara ke-25 untuk wilayah Sumatera dan berpusat di Bukittinggi, tentara ke-16 untuk wilayah Jawa dan Madura dan berpusat di Jakarta, Armada selatan kedua untuk wilayah Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku ...

Mengapa sistem pemerintahan Jepang dibagi atas 3 kekuasaan jelaskan?

Pembentukan tigapemerintahan militer tersebut dilakukan dengan tujuan mempermudah pengawasan. Selain itu, agarpenduduk dapat terlibat dalam kegiatan militer dan pertahanan serta pengawasan di setiap daerah menjadi efisien.