Djafar, Zainuddin. Rethinking the Indonesian Crisis. Bandung: Pustaka Jaya, 2006. Gilley, Bruce, and Andrew O’Neil. “China’s Rise Through the Prism of Middle Powersâ€. Dalam Bruce Gilley and Andrew O’Neil (eds.), Middle Powers and the Rise of China. Washington DC: Georgetown University Press, 2014. Handel, Michael I. “Weak States in the International Systemâ€. London: Taylor and Francis, 1990. Luki, Svetlana Durdevic. Bringing The State Back: Strong versus Weak States, 2006. http://www.diplomacy.bg.ac.rs/mpro_sa06_1-2.htm#_ftn21. Diunduh 27 Maret 2015. Hong, Zhao. “China-Indonesia Economic Relations: Challenges and Prospectsâ€. ISEAS Perspective 42. Singapore: ISEAS (July 4, 2013). Beasley, Ryan K. Juliet Kaarbo, Jeffrey S. Lantis, Michael T. Snarr (ed.), Foreign Policy in Comparative Perspective: Domestic and International Influences on State Behavior. United Kingdom: CQ Press, 2014. Keohane, Robert O. “Lilliputians’s Dillemas: Small States in International Politicsâ€. International Organization. Vol 23 Issue 02 (Spring, 1969). Keppres Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/PRES.KAB/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 tentang penggantian istilah Tionghoa/Tiongkok menjadi Tjina. Lobell, Steven E., Neal G. Jesse, and Kristen P. Williams. “Why Secondary States Choose to Support, Follow or Challengeâ€. International Politics. Vol 52 No 2 (2005). Mares, David R. “Middle Powers under Regional Hegemony: To Challenge or Acquiesce in Hegemonic Enforcementâ€. International Studies Quarterly. Vol 32 No 4 (December, 1988). Wuryandari, Ganewati (ed.), Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Page 2
Setiap entitas negara yang berdaulat memiliki kebijakan yang mengatur hubungannya dengan dunia internasional, baik berupa negara maupun komunitas internasional lainnya. kebijakan tersebut merupakan pencerminan dari kepentingan nasionalnya. Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat juga menjalankan politik luar negeri yag senantiasa berkembang disesuaikan dengan kebutuhan dalam negeri dan perubahan situasi internasional. Politik luar negeri Indonesia telah memasuki masa enam dekade sejalan dengan usia negara Republik Indonesia. Selama enam puluh tahun itu pula perjalanan bangsa dan negara Indonesia mengalami dinamika dalam menjalankan politik domestik demi kesejahteraan rakyat, sekaligus mengukuhkan eksistensinya di dunia internasional, melalui politik luar negeri. Pergantian kepemimpinan mulai dari Presiden Soekarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandakan telah berlangsungnya proses demokrasi di Indonesia, meski dengan berbagai persoalan yang mengiringinya.[1] Dalam setiap periode pemerintahan juga terjadi pemaknaan yang bervariasi terhadap prinsip-prinsip yang menjadi landasan dalam perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. Perbedaan interpretasi tersebut diantaranya dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang terjadi di dalam negeri maupun luar negeri. Sementara itu, terdapat prinsip atau ladasan yang tetap dipertahankan, namun mengalami persoalan dalam relevansi dan dilema karena dianggap sudah tidak sesuai dengan perubahan dan perkembangan situasi yang demikian cepat. Tulisan yang menggunakan pendekatan deskriptif-formalistik ini akan membahas mengenai landasan dan prinsip yang dianut dalam pelaksanaan poltik luar negeri Indonesia pada enam periode kepemimpinan, yaitu mulai dari Presiden Soekarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Landasan Politik Luar Negeri Landasan konstitusional dalam pelaksanaan politik luar negeri indonesia adalah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.[2] Hal ini berarti, pasal-pasal UUD 1945 yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara memberikan garis-garis besar dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Dengan demikian, semakin jelas bahwa politik luar negeri Indonesia merupakan salah satu upaya untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia, yang termuat dalam UUD 1945. Sementara itu, Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia diposisikan sebagai landasan idiil dalam politik luar negeri Indonesia.[3] Mohammad Hatta menyebutnya sebagai salah satu faktor yang membentuk politik luar negeri Indonesia. Kelima sila yang termuat dalam Pancasila, berisi pedoman dasar bagi pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal dan mencakup seluruh sendi kehidupan manusia. Hatta lebih lanjut mengatakan, bahwa Pancasila merupakan salah satu faktor objektif yang berpengaruh atas politik liar negeri Indonesia. Hal ini karena Pancasila sebagai filsafah negara mengikat seluruh bangsa Indonesia, sehingga golongan atau partai politik manapun yang berkuasa di Indonesia tidak dapat menjalankan suatu politik negara yang menyimpang dari Pancasila.[4] Kemudian agar prinsip bebas aktif dapat dioperasionalisasikan dalam politik luar negeri Indonesia, maka setiap periode pemerintahan menetapkan landasan operasional politik luar negeri Indonesia yang senantiasa berubah sesuai dengan kepentingan nasional. Semasa Orde Lama, landasan operasional dari politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif sebagian besar dinyatakan melaui maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno. Beberapa saat setelah kemerdekaan, dikeluarkanlah Maklumat Politik Pemerintah tanggal 1 November 1945, yang diantaranya memuat hal-hal sebagai berikut:
Berdasarkan Maklumat tersebut, sesungguhnya telah jelas prinsip yang digunakan Indonesia dalam pelaksanaan politik luar negerinya, yaitu kebijakan hidup bertetangga baik dengan negara-negara di kawasan, kebijakan tidak turut campur tangan urusan domestik negara lain dan selalu mengacu pada Piagam PBB dalam melakukan hubungan dengan negara lain. Pada dasawarsa 1950-an landasan operasional dari prinsip bebas aktif mengalami perluaan makna. Hal ini diantaranya dinyatakan oleh Presiden Soekarno dalam pidatonya berjudul “Jalannya Revolusi Kita (Jarek)” pada 17 Agustus 1960, bahwa, “Pendirian kita yang bebas aktif itu, secara aktif pula harus dicerminkan dalam hubungan ekonomi dengan luar negeri, supaya tidak berat sebelah ke Barat atau ke Timur”.[5] Kemudian inti dari politik luar negeri Indonesia kembali dinyatakan oleh Presiden Soekarno dalam “Perincian Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia” sekaligus merupakan garis-garis besar politik luar negeri Indonesia dengan Keputusan Dewan Pertimbangan Agung No.2/ kpts/Sd/I/61 tanggal 19 Januari 1961. Inti kebijakan tersebut antara lain berisi tentang sifat politik luar negeri Republik Indonesia yang bebas aktif, anti imperalisme dan kolonialisme, dan memiliki tujuan sebagai berikut:[6]
Ketiga tujuan politik luar negeri tersebut pada kenyataannya tidak bisa dipisah-pisah satu dari yang lain, khususnya dalam perjuangannya untuk membengun dunia kembali yang aman, adil, dan sejahtera. Pada masa Orde Baru, landasan operasional politik luar negeri Indonesia kemudian semakin dipertegas dengan beberapa peraturan formal, diantaranya adalah sebagai berikut:[7] Ketetapan MPRS No. XII/ MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia. TAP MPRS ini menyatakan bahwa sifat politik luar negeri Indonesia adalah:
Ketetapan MPR tanggal 22 Maret 1973, yang berisi:
Petunjuk Presiden 11 April 1973 sebagai perincian ketetapan MPR tersebut diatas, dengan menjabarkan berbagai usaha yang perlu dilakukan untuk melaksanakan prinsip bebas aktif. Upaya-upaya yang perlu dilakukan, antara lain meliputi hal-hal berikut ini:
Selain berbagai ketentuan diatas, landasan operasional politik luar negeri indonesia juga dituangkan dalam TAP MPR tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yaitu:[8]
Seluruh ketetapan MPR diatas yang dijabarkan dalam Pola Uumum Pembangunan Jangka Panjang dan Pola Umum Pelita Dua hingga Enam, pada intinya menyebutkan bahwa: “Dalam bidang politik luar negeri yang bebas dan aktif diusahakan agar Indonesia dapat terus meningkatkan peranannya dalam memberikan sumbangannya untuk turut serta menciptakan perdamaian dunia yang abadi, adil dan sejahtera”.[9] Namun demikan, menarik untuk dicatat bahwa TAP MPR RI No. IV/ MPR/ 1973 berbeda dengan TAP MPRS tahun 1966. Perbedaan ini seiring dengan pergantian rezim dari Soekarno ke Soeharto, sehingga konsep perjuangan Indonesia yang selalu didengung-dengungkan oleh Soekarno sebagai anti-kolonialisme dan anti-imperialisme tidak lagi memunculkan dalam TAP MPR tahun 1973 diatas. Selain itu, sosok politik luar negeri Indonesia juga lebih difokuskan pada upaya pembangunan bidang ekonomi dan peningkatan kerjasama dengan dunia internasional. Selanjutnya TAP MPR RI No. IV/ MPR/ 1978, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia juga telah diperluas, yaitu ditujukan untuk kepentingan pembangunan di segala bidang. Realitas ini berbeda dengan TAP-TAP MPR sebelumnya, yang pada umumnya hanya mencakup satu aspek pembangunan saja, yaitu bidang ekonomi. Pada TAP MPR RI No. II/ MPR/ 1983, sasaran politik luar negeri indonesia dijelaskan secara lebih spesifik dan rinci. Perubahan ini menandakan bahwa indonesia sudah mulai mengikuti dinamika politik internasional yang berkembang saat itu. Pasca-Orde Baru terjadi pemerintahan secara cepat mulai dari B.J. Habibie sampai Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintahan pasca-Orde Baru ini setidaknya secara substansif dalam landasan politik luar negerinya dapat dilihat pada dua kabinet yang memerintah yaitu Kabinet Gotong Royong (2001-2004) dan Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009). Kabinet Gotong Royong mengopersionalkan politik luar negeri indonesia melalui: Ketetapan MPR No. IV/ MPR/ 1999 tanggal 19 Oktober 1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara dalam rangka mewujudkan tujuan nasional periode 1999-2004. GBHN ini menekankan pada faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya krisis ekonomi dan krisis nasional pada 1997, yang kemudian dapat mengancam integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Diantaranya adanya ketidakseimbangan dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi yang demokratis dan berkeadilan. Oleh karena itu, GBHN juga menekankan perlunya upaya reformasi di berbagai bidang. khususnya memberantas segala bentuk penyelewengan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme serta kejahatan ekonomi dan penyalahgunaan kekuasaan. Selanjutnya ketetapan ini juga menetapkan sasaran-sasaran yang harus dicapai dalam pelaksanaan politik dan hubungan luar negeri, yaitu:
Ketetapan MPR diatas, secara jelas menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, berorientasi untuk kepentingan nasional, menitikberatkan pada solidaritas antar-negara berkembang, mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa, menolak segala bentuk penjajahan serta meningkatkan kemandirian bengsa dan kerjasama internasional bagi kesejahteraan rakyat. UU No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri UU ini mengatur aspek penyelenggaraan hubungan luar negeri dan politik luar negeri yang meliputi: sarana, mekanisme pelaksanaan hubungan luar negeri, pelindungan terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri, termasuk aparatur pada perwakilan RI. Prinsip bebas aktif tertuang dalam pasal tiga UU tersebut, yang menyatakan bahwa politik luar negeri indonesia diabdikan untuk kepentingan nasional. Pada pasal selanjutnya juga ditegaskan bahwa politik luar negeri Indonesia dilaksanakan melalui diplomasi yang kreatif, aktif, dan antisipatif, tidak rutin dan kreatif, teguh dalam prinsip dan pendirian, serta rasional dan luwes dalam pendekatan. Selain itu UU ini juga mengatur keterlibatan pihak-pihak dalam lembaga negara dan lembaga pemerintahan di dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri. UU ini memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri. UU ini memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, serta merupakan penyempurnaan terhadap peraturan-peraturan yang ada mengenai beberapa aspek penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri. UU no.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. UU yang diundangkan pada 23Ooktober 2000 ini menekankan pada pentingnya menciptakan suatu kepastian hukum dalam perjanjian internasional, selain sebagai pedoman dalam mekanisme pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional. Sebelum UU ini muncul, selama ini pengaturan tentang pengesahan perjanjian internasional dilandaskan pada Surat Presiden Soekarno kepada DPRS No. 2826/ HK/ 1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang Pembuatan Perjanjian dengan Negara Lain. Surat presiden tersebut menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui Undang-Undang atau Keputusan Presiden, bergantung kepada materi yang diaturnya. Oleh karena, banyak penyimpangan dalam pelaksanaannya dan sudah tidak lagi sesuai dengan semangat reformasi, maka dibuatlah UU no. 24 tahun 2000 dengan dilandaskan pada Pasal 11 UUD 1945 dan UU no. 37 tahun 1999, yang berisi pokok-pokok materi sebagai berikut:
Di dalam Pasal 2 uu ini dinyatakan bahwa Menteri yang bertanggung jawab terhadap hubungan luar negeri, memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal yang menyangkut kepentingan publik. berdasarkan pasal ini, tampak jelas bahwa DPR mulai dilibatkan dalam proses perjanjian internasional, dimana hal tersebut tidak terjadi pada periode sebelumnya. Perubahan UUD 1945 Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI pada 19 Oktober 1999 berhasil melakukan perubahan pertama pada beberpa pasal dalam UUD 1945 yaitu pasal 5 ayat 1, pasal 7, pasal 9, pasal 13, pasal 14, pasal 15, pasal 17 ayat 2 dan 3, pasal 20 dan pasal 21. Khusus mengenai hubungan luar negeri, perubahan terjadi pada pasal 13, dimana pra amandemen menyebutkan bahwa:[10]
Bunyi ketentuan yang baru dari pasal tersebut menyebutkan bahwa:
Kabinet selanjutnya pada pasca Orde Baru yaitu Kabinet Indonesia Bersatu. Kabinet ini meletakkan landasan operasional politik luar negerinya dalam tiga program utama nasional kebijakan luar negeri, yang termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009, yaitu:
[1] Sejarah Politik Indonesia memperlihatkan bahwa tidak semua proses pergantian kepemimpinan dilakukan melalui pemilihan umum. Ketika sukses kepemimpinan dari Presiden Soeharto ke Presiden BJ. Habibie, misalnya, suksesi tersebut hanya berupa pemindahan kekuasaan. BJ. Habibie yang kala itu menjabat sebagai Wakil Presiden secara otomatis menerima penyerahan kekuasaan dari Presiden Soeharto yag berhasil didesak untuk turun dri jabatannya oleh rakyat Indonesia.
[4] Mohammad Hatta dikutip oleh Sabir, di Sabir, Politik Bebas…, hlm. 22.
[5] A. Hasnan habib, Kapita Selekta: Strategi dan Hubungan Internasional, CSIS, 1990, hlm.395.
[7] Balitbang Deplu RI, “Intisari Masalah Luar Negeri”, Penerbitan No. 07/IS/1977, Balitbang Deplu RI, November 1977, hlm,11
[8] Habib, Kapita Selekta:Strategi…,hlm. 397-403.
[9] Balitbang Deplu RI, “Restrukturisasi Departemen Luar Negeri ke Arah Peningkata Efektivitas Diplomasi Global di Abad XXI”, Jakarta, 1997, hlm.25.
[10] Lihat Pasal 13 UUD 1945. |