Apakah ayah yang tidak menafkahi anaknya bisa dituntut?

Seorang ayah merupakan orang yang berkewajiban dalam menafkahi keluarganya, karena status ayah dalam keluarga adalah seorang kepala keluarga. Menafkahi keluarga yaitu menafkahi istri dan anak-anaknya.

 

Kewajiban ayah dalam menafkahi anak maupun istrinya ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah

 

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنّ بِالْمَعْرُوفِ   

 

“Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.” (QS. Al-Baqarah: 33)


Menafkahi anak bagi orang tua merupakan kewajiban yang dibebankan oleh syara’ berdasarkan nilai kasih sayang, sehingga kewajiban ini meski sejatinya dikhususkan bagi ayah, namun kewajiban menafkahi menjadi gugur jika ibu atau orang lain terlebih dahulu memberikan kepada anak (tabarru’) keperluan dan kebutuhan sehari-harinya.


Kadar menafkahi anak tidak ditentukan dalam nominal uang atau ukuran makanan, sebab kebutuhan masing-masing anak berbeda-beda berdasarkan usia dan gaya hidupnya. Namun secara umum, komoditi yang diperlukan oleh anak biasanya meliputi makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal, serta kebutuhan-kebutuhan lain yang bersifat pokok. Selebihnya hanya bersifat sekunder yang hanya wajib jika anak membutuhkannya, seperti pelayan, barang elektronik dan kebutuhan lainnya (Taqiyuddin Abu Bakar al-Husni, Kifayah al-Akhyar, juz 2, hal. 115).


Perlu diketahui, dalam menafkahi anak yaitu batasan kapan orang tua tidak wajib lagi menafkahi anaknya.   

 

Salah satu alasan wajibnya menafkahi anak bagi orang tua adalah dikarenakan tidak mampunya anak dalam bekerja untuk menghasilkan uang atau karena anak sama sekali tidak memiliki simpanan uang yang cukup untuk biaya hidupnya. Sehingga ketika anak sudah beranjak baligh dan telah mampu untuk bekerja maka orang tua pada saat demikian sudah tidak wajib untuk menafkahinya, meskipun pada saat itu anaknya masih belum mendapatkan pekerjaan.   


Berbeda halnya ketika anak yang telah mampu untuk bekerja, namun sedang dalam tahap mencari ilmu, seperti belajar di pesantren atau institusi pendidikan yang lain, sekiranya jika pendidikannya ditempuh dengan sambil bekerja, maka pendidikannya akan terbengkalai. Dalam kondisi demikian orang tua tetap wajib untuk menafkahi anaknya.   

 

Hal lain yang menjadikan orang tua tidak wajib menafkahi anak adalah ketika anak telah memiliki simpanan uang yang banyak hingga bisa disebut sebagai orang kaya, misalnya ia memiliki harta dari hasil warisan, maka dalam keadaan demikian orang tua tidak terlalu wajib untuk menafkahi anaknya, meskipun sang anak masih kecil.  


Penjelasan di atas sesuai dengan keterangang yang terdapat dalam kitab Hasyiyah al-Baijuri:

 

   فالغني الصغير او الفقير الكبير لا تجب نفقته – إلى أن قال - وقد استفيد مما تقدم ان الولد القادر على الكسب اللائق به لا تجب نفقته بل يكلف الكسب بل قد يقال انه داخل في الغني المذكور. ويستثنى ما لو كان مشتغلا بعلم شرعي ويرجى منه النجابة والكسب يمنعه فتجب حينئذ ولا يكلف الكسب   

 

“Anak kecil yang kaya atau orang baligh yang fakir tidak wajib (bagi orang tua) menafkahi mereka. Dan dapat pahami bahwa anak yang mampu bekerja yang layak baginya tidak berhak lagi menerima nafkah, sebaliknya ia (justru) dituntut untuk bekerja. Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa anak yang mampu bekerja ini masuk kategori anak yang kaya. Dikecualikan ketika anak yang telah mampu bekerja ini sedang mencari ilmu syara’ dan diharapkan nantinya akan menghasilkan kemuliaan (dari ilmunya) sedangkan jika ia bekerja maka akan tercegah dari rutinitas mencari ilmu, maka dalam keadaan demikian ia tetap wajib untuk dinafkahi dan tidak diperkenankan untuk menuntutnya bekerja.” (Syekh Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, juz 2, hal. 187)   

 

Ketentuan di atas adalah ketentuan baku perihal batas menafkahi anak sesuai dengan rumusan para ulama’ yang kompeten, meski begitu alangkah baiknya dalam penerapannya, orang tua tetap mempertimbangkan kondisi anak tentang kesiapan mereka untuk hidup mandiri, jika memang secara mental anak belum siap, atau ia masih belum menemukan pekerjaan yang layak baginya, maka bijaknya orang tua dalam keadaan demikian tetap memberi nafkah pada anaknya, meskipun hal ini tidak wajib, hal ini mereka lakukan dengan tetap mendorong anak agar selalu berusaha hidup secara mandiri.


Editor: Abdul Manap

Pertanyaan (Gita, bukan nama sebenarnya):

Saya sudah besar dan ayah saya sudah pensiun, apakah saya masih wajib dinafkahi? Apakah ada batas waktu seorang ayah boleh tidak menafkahi anaknya?

Jawaban (Kiai Muhammad Hamdi):

Imam Nawawi menyatakan bahwa seorang anak yang memiliki ayah dan ibu, maka nafkah ditanggung oleh ayah. Jika ayah tidak ada, maka nafkah ditanggung oleh kakek (ayahnya ayah). 

Syarat seorang ayah memberi nafkah adalah mampu secara finansial. Parameternya adalah sekira ia masih memiliki sisa harta setelah ia memenuhi kebutuhan dirinya dan istrinya. Dalil kewajiban nafkah terhadap anak adalah firman Allah:

وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut (QS. Al-Baqarah [2]: 233).

Imam Ibnu Katsir menafsirkan kata ma’ruf (cara yang patut) dalam ayat di atas dengan sesuatu yang berlaku dalam adat sesama mereka dengan tanpa berlebihan dan tanpa mempersempit sesuai dengan kadar kemampuan ayahnya. 

Sementara itu, Imam Al-Qurthubi menafsirkannya dengan cara yang dikenal dalam ‘urf (tradisi) syariat dengan tanpa kekurangan dan tanpa berlebihan. 

Allah juga berfirman:

فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ

Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah upahnya kepada mereka (QS. Ath-Thalaq [65]: 6).

Terkait penafsiran ayat di atas, Syekh Al-Khathib Asy-Syirbini mengungkapkan bahwa konsekuensi dari kewajiban memberi upah menyusukan anak-anak adalah kewajiban membiayai kebutuhan mereka.

Syarat kewajiban menafkahi anak

Syekh Taqiyuddin Al-Husaini menyebutkan bahwa syarat kewajiban nafkah terhadap anak adalah ketika sang anak mempunyai salah satu dari tiga sifat berikut ini:

1. Fakir dan belum baligh

2. Fakir dan lumpuh

3. Fakir dan gila

Jika anak memiliki harta, maka orang tua tidak wajib menafkahinya, walaupun dalam keadaan sakit, lumpuh, atau gangguan jiwa. Jika anak telah baligh dan memiliki pekerjaan, maka ia tidak wajib dinafkahi. 

Sementara itu, jika ia tidak memiliki pekerjaan padahal ia mampu bekerja dengan pekerjaan yang layak, maka menurut Imam Rafi’i ia tetap wajib dinafkahi, tetapi menurut pendapat yang shahih dalam mazhab Syafii, ia juga tidak wajib dinafkahi, kecuali ia dalam kegiatan mencari ilmu, maka orang tua masih wajib menafkahinya. 

Kadar nafkah terhadap anak disesuaikan dengan kebutuhannya berdasarkan usia dan kegemarannya terhadap jenis makanan. Pemberian nafkah berupa makanan sehari-hari adalah sekira anak memiliki energi untuk melakukan aktifitasnya. Wajib pula memberikan pakaian yang layak, tempat tinggal, biaya kesehatan, dan upah pelayan jika dibutuhkan.

Kesimpulan

Ayah wajib menafkahi anaknya selama ia belum baligh, atau anaknya dalam kondisi lumpuh atau gila, atau sang anak fakir (tidak memiliki uang dan pekerjaan). Ketika sang anak melewati batas baligh dan mampu mencari pekerjaan, maka sejatinya kewajiban menafkahi juga selesai.

Namun, menurut Imam Rafi’i, ayah tetap wajib menafkahinya selama sang anak tidak punya pekerjaan. Ayah juga masih wajib menafkahi anaknya walaupun sudah baligh jika sang anak sedang menempuh pendidikannya.

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Referensi: An-Nawawi; Minhaj ath-Thalibin, Ibn Katsir; Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Al-Qurthubi; Al-Jami’ Liahkam al-Qur’an, Taqiyuddin Al-Husaini; Kifayah al-Akhyar, Sulaiman Al-Bujairami; Tuhfah al-Habib.

###

*Kamu punya pertanyaan lain seputar agama Islam yang mau dibahas lengkap? Coba share di kolom komentar ya, atau hubungi kami di sini: [email protected].

**Kalau kamu suka artikel di aplikasi KESAN, jangan lupa share ya! Semoga dapat menjadi amal jariyah bagi kita semua. Aamiin. Download atau update aplikasi KESAN di Android dan di iOS.

Apa hukum nya ayah yang tidak menafkahi anaknya?

Berdasarkan Pasal 76B Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa suami atau ayah yang lalai memberi nafkah pada anaknya akan dikenakan sanksi hukuman penjara selama 5 tahun dan atau denda sebanyak 100.000.000 rupiah.

Pidana tidak memberikan nafkah anak?

Tindakan suami anda yang tidak menafkahi Anda dan anak-anak bisa dikategorikan sebagai tindak pidana penelantaran dalam rumah tangga sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

Suami tidak memberi nafkah apakah bisa dituntut?

Jika Suami Tidak Mampu Menafkahi Maka, mengenai pemberian nafkah yang layak, sebenarnya sudah tersedia upaya hukumnya, yaitu gugatan untuk menuntut nafkah, dan tidak serta merta harus menempuh langkah perceraian. Langkah ini dapat ditempuh dalam proses mediasi di pengadilan sebelum putusan perceraian dilakukan.

Cara menuntut nafkah anak setelah cerai?

Pasca terjadinya perceraian, seorang anak berhak mendapat: - Nafkah Madhiyah Anak (nafkah lampau anak), adalah nafkah terdahulu yang dilalaikan atau tidak dilaksanakan oleh ayah (mantan suami) kepada anaknya sewaktu anak tersebut belum dewasa dan mandiri (berusia 21 tahun).