Apabila karyawan memiliki hutang yang timbul karena aset ganti rugi

Pernahkan Anda bertanya-tanya apakah perusahaan dapat melakukan pemotongan upah terhadap pekerjanya ataupun melakukan penangguhan upah? Simak apa saja jenis pemotongan upah yang dapat dilakukan pengusaha dan syarat bagi pengusaha untuk melakukan penangguhan upah

APAKAH PERUSAHAAN DAPAT MELAKUKAN PENANGGUHAN UPAH?

TIdak. Penangguhan upah adalah bentuk pelanggaran upah. Pasal 88A ayat (3) Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) jo. Undang-undang No. 11 tahun 2020 (UU 11/2020) dan pasal 55 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 36 tahun 2021 tentang Pengupahan (UU 36/2021) menegaskan pengusaha wajib membayar upah sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja. Artinya tidak dapat dibayarkan terlambat, ditangguhkan, jumlahnya tidak sesuai dengan kesepakatan, dsb. Ketentuan selanjutnya yakni dalam pasal 88A ayat (6) UU 13/2003 jo. UU 11/2020 menyebut pelanggaran upah berupa penangguhan pembayaran dapat dijatuhi denda. Selain denda pasal 185 ayat (1) dan (2) UU 13/2003 jo. UU 11/2020 memberi sanksi pidana bagi pengusaha yang terlambat membayar upah.

Penangguhan pembayaran upah sebelumnya dikenal dalam pasal 90 ayat (2) UU 13/2003, upah yang dimaksud adalah upah minimum. Namun melalui UU 11/2020 , pasal ini telah dihapus, sehingga pengaturan mengenai penangguhan pembayaran upah minimum sudah tidak berlaku lagi.

APAKAH PERUSAHAAN DAPAT MELAKUKAN PEMOTONGAN UPAH? 

Ya. Pasal 58 ayat (1) PP 36/2021 menyebut dimungkinkan dilakukannya pemotongan upah pekerja, dengan ketentuan jumlah keseluruhan pemotongan upah adalah paling banyak 50% (lima puluh persen) dari setiap pembayaran upah yang diterima pekerja (pasal 65 PP 36/2021).

APA SAJA JENIS PEMOTONGAN UPAH YANG BISA DILAKUKAN PERUSAHAAN?

Pemotongan upah pekerja oleh pengusaha dapat dilakukan untuk pembayaran:

  1. Pemotongan pajak penghasilan sesuai ketentuan pasal 4 ayat (1) huruf a UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
  2. Pemotongan pembayaran iuran Jaminan Sosial: jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, dan jaminan kehilangan pekerjaan (pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional jo. UU 11/2020). Pemotongan upah pekerja untuk berbagai program jaminan ini ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, dimana terdapat kewajiban pembayaran oleh pekerja juga pengusaha. 
  3. Lain-lain, yakni diatur dalam Pasal 63 (1) PP 36/2021 yang menyebut pemotongan upah oleh pengusaha dapat dilakukan untuk pembayaran: denda, ganti rugi, uang muka upah, sewa rumah dan/atau sewa barang milik perusahaan yang disewakan oleh pengusaha kepada pekerja, utang atau cicilan utang pekerja, dan/atau kelebihan pembayaran upah. Dengan ketentuan:
  1. Pemotongan upah untuk pembayaran denda, ganti rugi, dan uang muka upah dilakukan sesuai dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. 
  2. Pemotongan upah untuk sewa rumah dan/atau sewa barang milik perusahaan harus dilakukan berdasarkan kesepakatan tertulis atau perjanjian tertulis. 
  3. Pemotongan upah untuk kelebihan pembayaran upah dilakukan tanpa persetujuan pekerja yang bersangkutan. 

APAKAH PERUSAHAAN DAPAT MELAKUKAN PEMOTONGAN UPAH ATAS PERMINTAAN PIHAK KETIGA, MISALNYA DALAM HAL PEKERJA MELALAIKAN HAK NAFKAHNYA KEPADA ANGGOTA KELUARGA YANG MERUPAKAN TANGGUNG JAWABNYA?

Ya. pasal 64 PP 36/2021 mengenal pemotongan upah pekerja oleh perusahaan (secara otomatis) untuk pihak ketiga misalnya untuk hak nafkah anggota keluarga yang dilalaikan oleh pekerja yang bersangkutan. Namun pemotongan tersebut hanya dapat dilakukan berdasarkan surat kuasa dari pekerja yang bersangkutan, yang setiap saat dapat ditariknya kembali.

Surat kuasa dari pekerja ini dikecualikan untuk semua kewajiban pembayaran terhadap negara atau iuran sebagai peserta pada badan yang menyelenggarakan jaminan sosial yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

APAKAH PERUSAHAAN DAPAT MEMOTONG UPAH SEBAGAI BENTUK SANKSI BAGI PEKERJA YANG MELANGGAR KEBIJAKAN PERUSAHAAN?

Ya. Pasal 88A ayat (7) UU 13/2003 jo UU 11/2020 jo. pasal 59 PP 36/2021 menyebut pekerja yang melakukan pelanggaran karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda dengan cara pemotongan upah. Namun demikian ketentuan jenis pelanggaran yang dapat dikenakan denda, besaran denda, dan penggunaan uang denda harus diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.

APAKAH PERUSAHAAN DAPAT MEMOTONG UPAH PEKERJA APABILA TIDAK HADIR?

Pada prinsipnya pengusaha tidak dilarang untuk tidak membayarkan upah pekerjanya yang tidak hadir di tempat kerja pada jam kerja atau artinya tidak melakukan pekerjaan (Pasal 93 ayat (1) UU 13/2003 jo. UU 11/2020). 

APAKAH PERUSAHAAN DAPAT MEMOTONG UPAH PEKERJA DIKARENAKAN PERUSAHAAN MERUGI ATAU TERDAMPAK COVID-19?

Merespon pandemi Covid-19, pada tanggal 13 Agustus 2021, Menteri Ketenagakerjaan RI menandatangani Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No. 104 tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Kerja Selama Masa Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid- 19) yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan hubungan kerja di perusahaan selama masa pandemi Covid19.

Kepmen menetapkan, bagi pengusaha yang secara finansial tidak mampu membayar upah yang biasa diterima pekerja karena terdampak pandemi Covid-l9 maka pengusaha dapat melakukan penyesuaian upah berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja yang dilakukan secara adil dan proporsional dengan memperhatikan kelangsungan hidup pekerja dan kelangsungan usaha.

Namun demikian harus diperhatikan bahwa pedoman dalam Kepmen seperti di atas HANYA bagi perusahaan yang terdampak Covid-19. Bagi perusahaan yang tidak terdampak tetap berlaku aturan pasal 88A ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menegaskan “Hak pekerja atas upah timbul pada saat terjadi hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha dan berakhir pada saat putusnya hubungan kerja.”

APAKAH PEKERJA DAPAT MENOLAK PENANGGUHAN ATAUPUN PEMOTONGAN UPAH?

Upah merupakan hak normatif pekerja atau hak yang timbul karena adanya peraturan perundang-undangan, maka wajib dilaksanakan oleh semua pihak khususnya perusahaan. Dan dalam hal terjadi pelanggaran upah termasuk penangguhan dan pemotongan upah sepihak, pekerja dapat melaporkan pengusaha kepada Pengawas Ketenagakerjaan pada Dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan di tingkat Kabupaten/Kota/Provinsi (sesuai lokasi perusahaan). 

Baca Juga:

Sumber:

  1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
  3. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
  4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial 
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang  Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja
  6. Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No. 104 tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Kerja Selama Masa Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid- 19)

Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul Bolehkah Memotong Gaji Karyawan karena Perusahaan Terdampak Virus Corona? dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 24 Maret 2020, dan pertama kali dimutakhirkan pada Jumat, 11 Desember 2020.

Alasan Pemotongan Upah yang Sah

Perlu Anda ketahui, dalam aturan ketenagakerjaan di Indonesia, istilah yang digunakan untuk menyebut gaji adalah upah. Adapun definisi upah sendiri menurut Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) adalah:

Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

Selanjutnya, komponen upah menurut Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”) terdiri atas:

  1. Upah tanpa tunjangan;
  2. Upah pokok dan tunjangan tetap;
  3. Upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap; atau
  4. Upah pokok dan tunjangan tidak tetap.

Berkaitan dengan pertanyaan Anda, PP Pengupahan memang mengatur adanya skema pemotongan upah oleh pengusaha, untuk pembayaran:[1]

  1. denda, ganti rugi, dan/atau uang muka upah yang dilakukan sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau peraturan kerja bersama;
  2. sewa rumah dan/atau sewa barang milik perusahaan yang disewakan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh, dan/atau utang atau cicilan utang pekerja/buruh yang harus dilakukan berdasarkan kesepakatan tertulis atau perjanjian tertulis; dan/atau
  3. kelebihan pembayaran upah yang dilakukan tanpa persetujuan pekerja/buruh.

Selain itu, terdapat juga pemotongan upah oleh pengusaha untuk pihak ketiga yang hanya dapat dilakukan apabila ada surat kuasa dari pekerja/buruh yang setiap saat dapat ditarik kembali.[2]

Surat kuasa tersebut dikecualikan untuk semua kewajiban pembayaran pekerja/buruh terhadap negara atau iuran sebagai peserta pada badan yang menyelenggarakan jaminan sosial yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.[3]

Patut digarisbawahi, jumlah keseluruhan pemotongan upah paling banyak 50% dari setiap pembayaran upah yang diterima pekerja/buruh.[4]

Sehingga berdasarkan penjelasan di atas, kami berpendapat bahwa alasan pemotongan upah karyawan akibat perusahaan merugi sebagai dampak wabah COVID-19 adalah tidak berdasarkan hukum dan dapat menimbulkan perselisihan hubungan industrial, yaitu perselisihan hak.

Penyelesaian Perselisihan Hak

Perselisihan hak berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU 2/2004”) memiliki arti sebagai berikut:

Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Setiap perselisihan hubungan industrial, termasuk yang disebabkan perselisihan hak, wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat yang harus diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulai perundingan.[5]

Apabila dalam jangka waktu 30 hari, salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.[6]

Dalam hal perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihan ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa perundingan bipartit telah dilakukan.[7]

Perselisihan hak yang telah dicatat itu selanjutnya diselesaikan melalui mediasi terlebih dahulu sebelum diajukan ke pengadilan hubungan industrial.[8]

Bila mediasi tidak mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian bersama, selanjutnya salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial.[9]

Perubahan Besaran dan Cara Pembayaran Gaji

Dulunya, pengusaha bisa mengajukan penangguhan pembayaran upah apabila tidak mampu membayar upah minimum, namun kini aturan tersebut telah dihapus berdasarkan Pasal 81 angka 27 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang menghapus Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.

Meski demikian, perusahaan Anda dapat mengacu kepada Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19 (“SE Menaker M/3/HK.04/III/2020”) yang khusus mengatur tentang pembayaran upah di masa pandemi COVID-19. 

Bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan COVID-19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruh tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.[10]

Selain itu, untuk industri padat karya tertentu, Menteri Ketenagakerjaan juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pengupahan Pada Industri Padat Karya Tertentu dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (“Permenaker 2/2021”).

Permenaker ini bertujuan untuk memberikan pelindungan dan mempertahankan kelangsungan bekerja pekerja/buruh serta menjaga kelangsungan usaha pada industri padat karya tertentu selama pemulihan ekonomi nasional pada masa pandemi COVID-19.[11]

Industri padat karya yang dimaksud memiliki kriteria pekerja/buruh minimal 200 orang dan persentase biaya tenaga kerja dalam biaya produksi minimal sebesar 15% meliputi:[12]

  1. industri makanan, minuman, dan tembakau;
  2. industri tekstil dan pakaian jadi;
  3. industri kulit dan barang kulit;
  4. industri alas kaki;
  5. industri mainan anak; dan
  6. industri furnitur.

Bagi perusahaan industri padat karya tertentu yang terdampak COVID-19 dapat melakukan penyesuaian besaran dan cara pembayaran upah berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.[13]

Adapun perusahaan yang terdampak COVID-19 merupakan perusahaan industri padat karya tertentu yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah dalam upaya pencegahan dan penanggulangan pandemi COVID-19, dan pembatasan itu mengakibatkan sebagian atau seluruh pekerja/buruh tidak masuk bekerja dan mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam membayar upah.[14]

Kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh dilakukan secara musyawarah yang dilandasi kekeluargaan, transparansi, dan itikad baik, serta dibuat secara tertulis dan minimal memuat:[15]

  1. besaran upah;
  2. cara pembayaran upah; dan
  3. jangka waktu berlakunya kesepakatan paling lama tanggal 31 Desember 2021.

Namun, perlu dicatat besaran upah yang disepakati tersebut tidak berlaku sebagai dasar perhitungan iuran dan manfaat jaminan sosial, kompensasi pemutusan hubungan kerja, dan hak-hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Upah yang jadi dasar perhitungan hak-hak pekerja/buruh yang kami sebutkan tersebut tetap menggunakan nilai upah sebelum penyesuaian upah berdasarkan kesepakatan.[16]

Sehingga kami berpendapat, alih-alih melakukan pemotongan gaji sebagaimana kami terangkan di atas, perusahaan Anda bisa menyepakati bersama dengan karyawan mengenai perubahan besaran maupun cara pembayaran gaji dalam hal perusahaan Anda terdampak oleh COVID-19, dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan atas.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

[1] Pasal 63 PP Pengupahan

[2] Pasal 64 ayat (1) dan (2) PP Pengupahan

[3] Pasal 64 ayat (3) PP Pengupahan

[4] Pasal 65 PP Pengupahan

[5] Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU 2/2004

[6] Pasal 3 ayat (3) UU 2/2004

[7] Pasal 4 ayat (1) UU 2/2004

[8] Penjelasan Umum Angka 6 UU 2/2004

[9] Penjelasan Umum Angka 7 UU 2/2004

[10] Poin II Angka 4 SE Menaker M/3/HK.04/III/2020

[11] Pasal 2 Permenaker 2/2021

[12] Pasal 3 Permenaker 2/2021

[13] Pasal 6 Permenaker 2/2021

[14] Pasal 5 Permenaker 2/2021

[15] Pasal 7 ayat (1) dan (2) Permenaker 2/2021

[16] Pasal 8 Permenaker 2/2021